Penyelesaian krisis membutuhkan pemimpin yang pengalamannya sangat teruji. Buku The Art of Leadership in Crisis yang mengisahkan praktik kepemimpinan sembilan corporate leaders senior penting dibaca para pemimpin bisnis yang akan terus menghadapi perubahan dan risiko krisis.
Oleh Jovian Tan
Setiap pemimpin harus mampu menyelesaikan masalah. Bahkan, keberadaan pemimpin justru dibutuhkan ketika masalah datang atau mengeluarkan organisasi yang dipimpinnya bersama anggotanya untuk keluar dari kesulitan atau lorong gelap karena krisis datang. Ambil contoh ketika ketidakpastian akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) atau gelombang inflasi yang diperangi dengan kenaikan suku bunga kemudian menimbulkan banyak tantangan dan kesulitan. Ada perusahaan yang dengan cepat beradaptasi, tapi ada pula perusahaan yang menjadi sangat kesulitan. Semua sangat dipengaruhi kapasitas kepemimpinan di perusahaan-perusahaan tersebut, selain juga paradigma pemegang saham dalam mendukung perusahaan.
Para chief executive officer (CEO) bersama executive management yang ada sekarang sebagian besar telah mengarungi krisis yang belum pernah dirasakan, yaitu dampak pandemi COVID-19. Di antara mereka bahkan ikut menjadi bagian dari manajemen yang menghadapi gelombang krisis keuangan global 2008. Masa sulit yang pernah dilalui tersebut memberi kesempatan para CEO untuk mempraktikkan kepemimpinan krisis.
Pengalaman mengatasi krisis sangat penting karena peranan seorang pemimpin justru lebih dibutuhkan dalam menghadapi masa sulit dan menyelesaikan masalah. Kendati tak semua CEO yang ada di dunia korporasi Indonesia memiliki pengalaman langsung dengan menjadi orang nomor satu dalam mengatasi krisis, tapi semuanya pastinya telah meniti karier profesional yang dalam perjalanannya pasti menghadapi masalah di bidang pekerjaannya dan berusaha mengatasinya (problem solving).
Menariknya, cara penyelesaian krisis maupun problem solving sering kali tidak ditemukan di buku-buku kepemimpinan atau manajemen, melainkan melalui seni kepemimpinan dari orang-orang yang telah mengarungi perjalanan panjang sehingga memiliki pengalaman panjang yang teruji dan menjadi bekal penting untuk menyelesaikan krisis. Menyelesaikan krisis dengan gradasi yang tinggi membutuhkan lebih dari sekadar ilmu dalam text book, melainkan praktik lapangan dengan seni kepemimpinan (the art of leadership) seperti dikisahkan sembilan pemimpin bisnis kaliber dalam buku The Art of Leadership in Crisis yang ditulis Karnoto Mohamad.
Baca juga: The Art of Leadership In Crisis, Tangan Dingin Agus Martowardojo Mengatasi Krisis
Buku setebal 248 halaman yang diterbitkan Infobank Publishing ini menceritakan praktik kepemimpinan dalam krisis dari sembilan pemimpin bisnis senior, mulai dari Mochtar Riady, Mu’min Ali Gunawan, Dahlan Iskan, Djohan Emir Setijoso, Agus D.W. Martowardojo, Batara Sianturi, Elia Massa Manik, Ridha D.M. Wirakusumah, dan Tigor M. Siahaan. Mereka adalah figur-figur pemimpin bisnis yang menorehkan pengalaman sukses dalam menyelesaikan krisis.
Krisis yang dialami sejumlah perusahaan umumnya disebabkan masalah kompetensi (incompetency), selain integritas. Maka, yang menyelesaikan krisis haruslah orang yang kompetensi dan pengalamannya sudah teruji. Contohnya, Mochtar Riady yang berhasil menakhodai bank yang dipimpinnya melewati krisis dahsyat pada 1965-1966 serta berhasil membuat Bank Central Asia (BCA) bangkit dari kondisi sangat terpuruk pada 1975 menjadi bank swasta terbesar yang penuh inovasi dalam bidang teknologi elektronik. Karena keberhasilannya waktu itu, Mochtar dikenal sebagai bankir yang tekun, pekerja keras, dan sangat pandai mengidentifikasi pasar hingga mendapatkan julukan “The Magic of Banking Marketing”.
Demikian juga dengan Agus Martowardojo yang pernah berhasil membangkitkan Bank Bumiputera dari lubang krisis pada 1995 dan memimpin merger lima bank berapor merah menjadi PermataBank pada 2002. Karena pengalaman yang sudah teruji, dia pun mendapatkan kepercayaan untuk mengatasi krisis di Bank Mandiri yang pada 1995 terbakar non performing loan (NPL) hingga 25%. Agus tak hanya berhasil menyelesaikan kredit macet bank terbesar itu, tapi juga meninggalkan dua legacy ketika pada 2010 diangkat menjadi menteri keuangan.
Satu, mengubah Bank Mandiri dari kinerja yang merah legam dengan pelayanan lambat menjadi bank yang sehat dengan kinerja keuangan terbaik, disegani di pasar, dan dengan budaya serta pelayanan yang unggul menjadi benchmark bank-bank yang ingin membangun kultur dan memperbaiki pelayanan primanya. Dua, menjadikan Bank Mandiri sebagai “universitas” yang mencetak bankir-bankir berkualitas sekaligus berhasil menjadi yang paling sukses melakukan succession planning hingga saat ini.
Leaders in crisis juga merupakan pemimpin yang sangat bertanggung jawab. Contohnya, Mu’min Ali Gunawan yang berhasil meloloskan PaninBank dari badai krisis moneter yang menumbangkan puluhan bank. PaninBank tercatat sebagai satu-satunya bank papan atas yang selamat dari krisis tanpa bantuan pemerintah, baik bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) maupun obligasi rekap.
Seperti ahli nujum yang bisa meramalkan bahwa akan datang badai krisis moneter pada medio 1997, Mu’min Ali dengan intuisi yang sangat tajam terlebih dulu melakukan rights issue untuk memperkuat kuda-kuda PaninBank. Sebagai rasa tanggung jawab kepada bank yang dimilikinya, Mu’min kembali merogoh kantong untuk memperkuat permodalan pada 1998 ketika pemilik dan pengurus bank lain sibuk menyiapkan rencana bisnis untuk mendapatkan kucuran BLBI.
Sifat lain yang dimiliki leaders in crisis adalah menyukai tantangan. Contohnya, Batara Sianturi yang setelah delapan tahun berhasil memimpin Citi Hungaria di tengah krisis keuangan global sejak 2008, Batara meminta kepada head office untuk memimpin Citi dengan portofolio yang lebih besar di negara lain. Pada 2012, dia pun memimpin Citi Filipina yang membawahkan 8.000 karyawan, atau empat kali lebih besar dari orang yang dipimpinnya di Eropa Timur.
Begitu pula dengan Tigor M. Siahaan yang berhasil memperbaiki Bank CIMB Niaga selama kepemimpinannya hampir tujuh tahun, pada akhir 2021 dia mengundurkan diri dan memilih membesarkan Bank Fama menjadi Superbank. Setelah 20 tahun bersama Citibank yang bisnisnya mengglobal di lebih dari 150 negara, ditambah hampir tujuh tahun bersama Bank CIMB Niaga sebagai regional bank, membangun Superbank dari nol memberikan tantangan yang memacu adrenalin bagi bankir sekaliber Tigor Siahaan.
Leaders in crisis adalah pemimpin yang independen, tidak memiliki kepentingan pribadi, bahkan siap mendedikasikan dirinya dengan penuh pengorbanan. Contohnya, Mochtar Riady yang pada 1966 pernah mengaku hanya tidur tiga jam per malam selama beberapa minggu karena harus pontang-panting mengunjungi nasabah untuk mengembalikan sebagian kreditnya. Begitu juga dengan Agus Martowardojo yang biasa bekerja maupun rapat dengan timnya hingga dini hari untuk menyelesaikan masalah yang membelit lembaga yang dipimpinnya, seperti krisis di Bank Mandiri.
Yang lebih dramatis lagi adalah Elia Massa Manik. Ketika dia memimpin Elnusa, cash flow perusahaan tersebut dalam kondisi minus Rp200 miliar. Untuk membangkitkan perusahaan yang secara teknis sudah bangkrut, Massa Manik harus melakukan sejumlah langkah yang tak biasa. Untuk mengejar efisiensi, dia memilih mengganti mobil operasional dari Mercedes ke Toyota Camry, membayar keperluan kantor dengan kartu kredit pribadi, hingga mengajukan pemotongan gaji dirinya kepada dewan komisarisnya. Karena contoh yang diberikannya, direksi lain sampai rela tidur berdua di hotel demi menghemat pengeluaran. Untuk menyelesaikan piutang yang menumpuk, dia bersama direksi lain mendatangi kantor klien untuk menagih utang.
Baca juga: The Art of Leadership in Crisis, Elia Massa Manik Tangan Midas Spesialis Perusahaan Rusak
Leaders in crisis juga memiliki sifat kemanusiaan yang tinggi dan memiliki arahan yang jelas. Misalnya, Djohan Emir Setijoso, saat dia ditugaskan memimpin BCA yang berada di bibir jurang krisis 1998. Dikisahkan di buku ini, Setijoso berusaha membangkitkan mental para karyawan yang terpuruk dan meyakinkan mereka bahwa tidak akan terjadi pengurangan karyawan, termasuk perubahan posisi mereka. Namun, bankir yang rendah hati ini secara tegas mengatakan bahwa kehadirannya adalah untuk membangkitkan BCA dari keterpurukan dan memberikan pilihan kepada orang-orang BCA. Yang mau tetap bertahan, ikuti apa yang dia atur. Jika tidak setuju, boleh meninggalkan BCA.
Contoh lain ditunjukkan Ridha Wirakusumah ketika memperbaiki PermataBank yang merugi Rp6,48 triliun pada 2016. Pada bulan pertama memimpin, komisaris memanggil dan meminta Ridha mengambil jalan pintas dengan memotong 50% karyawan agar biaya dan profitabilitas bisa diraih. Ridha menolak, dan kalau mau memilih cara itu maka pemegang saham tidak perlu mengundang dirinya untuk memperbaiki PermataBank. Tanpa quick win strategy dan lebih memikirkan long term sustainability, Ridha berhasil mengembalikan kilau PermataBank yang memudar.
Sembilan leaders in crisis yang berhasil tersebut umumnya memiliki sifat the great leader yang menjalankan esensi kepemimpinan, yaitu menyiapkan pemimpin berikutnya yang lebih baik. Seperti apa yang dikatakan Tom Peters, penulis dan konsultan asal Amerika Serikat, “Leaders don’t create followers, they create more leaders.”
Penulis adalah analis The Asian Post Institute.
DATA BUKU
JUDUL: THE ART OF LEADERSHIP IN CRISIS: KISAH 9 CORPORATE LEADERS YANG BERHASIL MENYELESAIKAN KRISIS
PENULIS: KARNOTO MOHAMAD
JUMLAH HALAMAN: 248
UKURAN: 15 CM X 23 CM
PENERBIT: INFOBANK PUBLISHING
ISBN: 978-979-8338-23-6