The Art of Leadership In Crisis, Tangan Dingin Agus Martowardojo Mengatasi Krisis

The Art of Leadership In Crisis, Tangan Dingin Agus Martowardojo Mengatasi Krisis

Jakarta – Sembilan pemimpin bisnis senior menceritakan pengalamannya dalam menyelesaikan krisis di perusahaan di buku The Art of Leadership in Crisis yang ditulis Karnoto Mohamad. Mereka adalah Mochtar Riady (memimpin BCA pada 1975), Dahlan Iskan (memimpin Jawa Pos pada 1982), Mu’min Ali Gunawan (memimpin PaninBank pada 1998), dan Djohan Emir Setijoso (memimpin BCA pada 1999).

Kemudian, Agus Martowardojo (memimpin krisis di Bank Mandiri pada 2005), Batara Sianturi (memimpin Citi Hungaria pada 2008), Elia Massa Manik (memimpin Elnusa pada 2011), Tigor Siahaan (memimpin Bank CIMB Niaga pada 2016), dan Ridha Wirakusumah (memimpin PermataBank pada 2017).

Salah satu yang menarik dari isi buku ini adalah sepak terjang Agus Martowardojo, yang sekarang menjadi Komisaris Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN). Agus dikenal sebagai figur dengan etos kerjanya sebagai professional begitu melegenda.

Sebelum menjadi Gubernur Bank Indonesia (2013-2018) dan Menteri Keuangan (2010-2013), Agus dikenal sebagai bankir bertengan dingin yang berhasil memimpin krisis di Bank Bumiputera pada 1996, menjadi Bank Export Impor yang dilanjutkan dengan menjadi tim inti merger Bank Mandiri pada 1998, dan memimpin merger PermataBank pada 2002.

Baca juga: The Art of Leadership in Crisis, Elia Massa Manik Tangan Midas Spesialis Perusahaan Rusak

Yang paling fenomenal adalah ketika pada 2005 dia ditugaskan memimpin Bank Mandiri yang sedang krisis karena NPL-nya mencapai 25 persen dan mental karyawannya terpuruk.

Salah satu langkah berani Agus dalam menyelesaikan kredit macet adalah dengan memburu 30 debitur kakap dengan mengumumkannya di media massa. Dia tidak hanya blak-blakan menyebut para debitur yang tidak punya iktikad baik membayar kewajibannya, tapi sekaligus mengkritik ulah sejumlah korporasi dengan utang triliunan rupiah dan macet di Bank Mandiri, tetapi gencar melakukan ekspansi usaha, baik di dalam maupun di luar negeri.

Salah satu debitur tersebut ada beberapa nama perusahaan BUMN yang bisa saja membuat Menteri BUMN marah kepada Agus yang berada di bawahnya. “Saya tetap umumkan. Saya nothing to loose. Saya sudah putuskan ini, daripada saya gagal menjalankan tugas, maka saya umumkan. Karena tidak ada cara lain menyelamatkan kredit,” ujar Agus.

Beruntung, pemerintah waktu itu mendukung upaya perbaikan yang dilakukan Agus. Lima perusahaan BUMN yang diketahui masuk dalam jajaran pengutang besar Bank Mandiri atau di atas Rp200 miliar malah mendapat teguran dari Menneg BUMN, Soegiharto, yang meminta BUMN bersikap kooperatif sehingga persoalan utang piutang dapat diselesaikan.

Langkah berani tersebut berhasil membuat kredit macet yang menggunung berangsur-angsur mengecil. NPL gross Bank Mandiri yang masih sebesar 24,6 persen per September 2006 menurun menjadi 17,08 persen pada akhir tahun, kemudian pada akhir 2007 menjadi 7,33 persen.

Secara nett, NPL Bank Mandiri sudah berada di bawah 5 persen sejak Maret 2007. Selain kualitas asetnya, Agus berhasil memperbaiki Bank Mandiri dari berbagai aspek lain seperti budaya good corporate governance, risk management, complience, pelayanan prima, hingga pembangunan manusia.

Agus D.W. Martowardojo memimpin Bank Mandiri dengan legacy yang jelas. Satu, mengubah Bank Mandiri dari kinerja yang merah dengan pelayanan lambat menjadi bank yang sehat dengan kinerja keuangan terbaik, disegani di pasar, serta budaya dan pelayanannya yang unggul menjadi benchmark bank-bank yang ingin membangun kultur dan memperbaiki pelayanannya.

Baca juga: Top 100 CEO 2023: Infobank Berikan Penghargaan Kepada 100 CEO Terbaik di Sektor Keuangan dan BUMN

Dua, menjadikan Bank Mandiri sebagai “universitas” yang mencetak bankir-bankir berkualitas. Dengan sistem pendidikan bankirnya, Bank Mandiri juga korporasi, baik di lingkungan swasta maupun BUMN, menjadi yang paling sukses melakukan succession planning hingga saat ini.

Agus mengimbau para pemimpin bisnis untuk terus mendidik generasi penerus. Sebab, membangun the next leader sama dengan membangun kemampuan perusahaan untuk menghadapi ketidakpastian dan perubahan di masa depan yang kalau tidak diantisipasi bisa menimbulkan krisis.

Kalaupun ada faktor eksternal di luar kendali manajemen, dengan memiliki orang-orang yang berkualifikasi leader in crisis, maka perusahaan akan lebih adaptif dan siap merespons kondisi terburuk.

“Pada situasi krisis, yang dibutuhkan adalah leader in crisis, dan dia harus siap menjadi big leader. Karena, big crisis membutuhkan big leader,” tutur Agus. (Redaksi)

Related Posts

News Update

Top News