Jakarta – Proyek reklamasi di wilayah DKI Jakarta tengah ramai diperbincangkan. Kisruh mengenai peraturan membuat proyek reklamasi dihentikan sementara. Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta berencana akan membangun 17 pulau buatan di Jakarta, dan saat ini delapan pulau telah menerima izin dan proses kontruksi juga sempat dilaksanakan.
Menurut analisa Lamudi, bagi para pengembang, proyek reklamasi ini tentu merupakan berkah tersendiri, karena seperti kita ketahui permintaan hunian di Jakarta khususnya untuk pasar menengah ke atas tumbuh subur di kota ini. Sementara keterbatasan lahan menjadi masalah bagi mereka untuk membangun proyek perumahan baru. Berdasarkan informasi dari The Wall Street Journal, properti di Jakarta digambarkan sebagai “properti mewah terpanas dunia”.
Namun, untuk membangun proyek reklamasi di teluk Jakarta ini, tentu tidak semudah yang dibayangkan, Lamudi mencatat ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya, adalah masalah lingkungan.
Banyak pengamat mengatakan, proyek reklamasi di Teluk Jakarta akan berbahaya bagi lingkungan. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan merembesnya sedimen beracun ke teluk selama proses kontruksi berlangsung.
Pengembangan reklamasi lahan ini juga mempengaruhi penghasilan nelayan lokal, berdasarkan laporan rata-rata pemasukan nelayan di Jakarta telah menurun dari Rp 300.000 menjadi Rp 30.000 per hari.
Masalah lingkungan ini ternyata juga dialami oleh Singapura ketika menjalankan reklamasi lahan. Sejak tahun 1986, 65% terumbu karang di negara itu rusak, demikian juga dengan keberadaan hutan bakau yang mengalami penyusutan.
Proyek reklamasi sejatinya bukan sesuatu yang baru di Asia. Di kawasan Asia ini, Jakarta ternyata bukan negara yang pertama mengembangkan proyek reklamasi. Bahkan di Cina, proyek ini telah mulai dilakukan sejak Dinasti Qing (1644-1911). Saat itu banyak sungai-sungai di sana dibuat lahan baru untuk kepentingan lahan pertanian dan perikanan. Sementara di Hongkong, reklamasi lahan sudah mulai dilakukan sejak tahun 1860, banyak kota di Cina saat ini sedang menciptakan lahan baru untuk mendukung urbanisasi.
Di Singapura, dengan keterbatasan lahan yang ada, maka pengoptimalisasian lahan selalu menjadi hal yang penting. Proyek reklamasi dalam beberapa dekade terakhir memungkinkan Singapura menambah area negaranya dari 580 menjadi 680 meter persegi. Tahun 2030 yang akan datang, direncanakan lahan seluas 50 kilometer akan ditambahkan, sehingga negara ini bisa menjadi lebih luas, yaitu seperempat dari luas total ukuran aslinya.
Di negara lain, seperti Belgia, Belanda, Dubai dan beberapa negara Teluk telah memulai proyek reklamasi yang lebih luas.(*)