Selama pertumbuhan ekonomi nasional masih dapat tumbuh di atas 4%, maka dapat ditegaskan bahwa perbankan nasional belum akan terganggu atas dampak dari pelemahan rupiah. Rezkiana Nisaputra
Jakarta – Nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dianggap belum berpengaruh signifikan kepada perbankan nasional. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menilai, ditengah rupiah yang mengalami kelesuan, kondisi perbankan dirasa masih relatif kuat untuk mengantisipasi potensi buruk di kemudian hari.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Fauzi Ichsan, saat ini jika dilihat kondisi perbankan nasional masih cukup aman, hal tersebut tercermin pada rasio kecukupan modal bank (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang dianggap masih baik yakni berada di kisaran 20%. Sedangkan jika dilihat dari risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) masih berada di level 2,5%.
Sementara jika dibandingkan dengan kondisi perbankan saat krisis di 2008-2009, rasio kecukupan modal bank berada dibawah level saat ini, yakni dikisaran 17%, dan untuk rasio kredit bermasalah berada di atas level 2,5%. Sehingga, lanjut dia, jika rupiahnya terus mengalami pelemahan terhadap dolar AS, perbankan nasional dianggap masih relatif kuat untuk menghadapi kondisi tersebut.
“Untungnya kalau kita melihat kondisi perbankan saat ini, masih baik jika dibanding dengan tahun 2008-2009, kondisi perbankan ini relatif kuat. Kalau kita melihat saat ini CAR dilevel 20%, kita lihat NPL 2,5%. Nah Kalau kita bandingkan dengan tahun 2008-2009 CAR masih di 17%,” ujar Fauzi di Jakarta, Rabu, 29 Juli 2015.
Dia juga mengungkapkan, selama pertumbuhan ekonomi nasional masih dapat tumbuh atau di atas 4%, maka dapat ditegaskan bahwa perbankan nasional belum akan terganggu. Dalam arti, gangguan atas kondisi yang saat ini terjadi baik pada rupiah yang mengalami tekanan terhadap dolar AS, maupun ekonomi yang menunjukkan perlambatan. Sehingga disimpulkan bank-bank nasional masih relatif aman dari dampak-dampak tersebut.
“Perbankan masih relatif aman, karena jika kalau kita melihat pertumbuhan ekonomi kitakan 4,71%, nah kalau kita bandingkan kita lihat ekonomi dunia itu 3%. Dan saya rasa selama kita masih ada pertumbuhan ekonomi, selama masih tumbuh diatas 4%, masih ada ruang bagi perbankan untuk dapat mencetak marjin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM),” ucap Fauzi.
Sementara ditempat terpisah, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara menegaskan, bahwa kondisi nilai tukar saat ini berbeda dengan saat krisis moneter 1998. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibanding 1998, dikarenakan fundamental ekonomi Indonesia sudah di uji coba saat krisis 1998 silam.
“1998 itu kan ada krisis politik, fundamental Ekonomi kita kan juga berapa, data utang luar negeri enggak punya, perbankannya dikelola oleh pengusaha yang enggak prudent. Sekarang kan beda,” tukas Mirza.
Sebelumnya, Direktur PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Danamon), Vera Eve Lim juga sempat mengatakan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS tidak banyak berpengaruh pada kinerja perbankan secara aktiva. Namun demikian, bisnis perbankan akan berpengaruh jika kondisi ekonomi mengalami kelesuan, dimana hal tersebut telah berdampak kepada pertumbuhan kredit bank.
“Dampak ke ekonomi keseluruhan kami cermati. Depresiasi rupiah kami lihat dampaknya ke industri perbankan, kalau ke aktiva dolar enggak pengaruh tapi ke ekonomi iya. Kalau ekonomi melambat tentu ini pertumbuhan kredit iku berpengaruh,” tambahnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri secara rutin terus melakukan stress test terhadap semua bank. Stress Test selalu dilakukan setiap enam bulan sekali agar dapat mengetahui daya tahan bank terhadap kondisi makroekonomi saat ini. “Stress test banyak skenario, modal perbankan masih sangat tinggi di regional, industri secara keseluruhan juga,” tegas Vera (*)
—-