Jakarta – Beberapa waktu lalu Menteri BUMN, Erick Thohir mengemukakan usulan bunga kredit 0% bagi usaha mikro yang telah dibicarakan dengan Bank Indonesia (BI), dan juga sudah mengantongi persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Terkait hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku belum melakukan pembicaraan lebih lanjut bersama Menteri BUMN soal konsep dasar atau skema dari kredit 0% tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa dari sisi perbankan sendiri yang merupakan badan usaha perlu mendapatkan keuntungan, karena penyaluran kredit kepada debitur tersebut berasal dari dana masyarakat yang harus dibayarkan oleh bank.
“Jadi dana masyarakat itu kan harus dibayar oleh bank, nah kemudian bank baru menyalurkan kepada debitur sehingga memang harus ada spread keuntungan, tetapi kalau yang dimaksud adalah subsidi ya itu selama ini juga kita tahu misalnya kredit usaha rakyat yang masih aktif dilakukan pemerintah ada subsidi dari pemerintah berbeda-beda memang tetapi intinya subsidi,” ucap Dian dalam RDKB OJK periode Maret.
Kemudian, ia menambahkan bahwa jika nantinya kredit 0% tersebut terealisasi melalui skema subsidi tetap, harus ada bunga yang dibayar. Namun, dalam hal ini yang berkewajiban membayar bunga tersebut adalah pemerintah, bukan debitur.
“Saya terus terang belum bisa menyimak nanti mungkin harus ada konsultasi saya dengan pak Erick Thohir untuk bisa mengklarifikasi mengenai hal ini karena kan UMKM ini tentu kebanyakan juga diberikan oleh BPR begitu juga ada bank BUMN ada bank swasta dan lain sebagiannya yang notabene secara keseluruhannya adalah dana masyarakat,” imbuhnya.
Menyikapi hal ini, Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menilai bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam skema bunga kredit 0% tersebut, karena usulan tersebut memiliki risiko tinggi yang berpotensi menimbulkan moral hazard.
“Pertama, kredit bisa dianggap hibah, akhirnya amblas, kedua, nanti bank bisa “mengalihkan” kredit bermasalah ke kredit khusus itu supaya pencadangannya lebih kecil dan performa kreditnya lebih hijau, dan ketiga, kreditnya bisa tercecer ke usaha mikro atau kecil binaan usaha besar yang masuk dalam rantai pasok perusahaan itu akhirnya tidak merata,” ucap Herry kepada Infobanknews dikutip, 3 Maret 2023.
Menurutnya, sudah ada program yang mirip dengan skema kredit bunga 0% tersebut, seperti kebijakan PKBL (Program Kemitraan Bina Lingkungan) yang dijalankan oleh BUMN dan jika dari sisi efektifitasnya baik akan memicu daya dorong usaha mikro sangat tinggi.
“Sebaiknya ini dievaluasi, apakah sudah berjalan benar atau tidak. Karena sama dengan yang diusulkan dengan kredit 0%. Hanya penyalurnya beda yang satu perbankan, satunya lagi BUMN,” imbuhnya.
Di samping itu, ia juga menjelaskan bahwa pemerintah saat ini telah memiliki kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga yang sangat kecil sebesar 3%, namun menurutnya, penyaluran KUR tersebut perlu ditinjau efektifitasnya, hal ini karena masih banyaknya usaha mikro yang mencari pinjaman dari lembaga keuangan non bank lainnya.
“Sebab menurut data BPS, masih banyak usaha mikro yang cari pinjaman dari lembaga keuangan non bank atau bahkan ke orang, bisa rentenir, bisa bukan. Menurut saya, seharusnya pemerintah prioritaskan fasilitasi IKM (Industri Kecil Menengah), karena sifatnya produksi dan pengolahan, maka efek bergandanya sangat besar, termasuk pada penyerapan tenaga kerja,” ujar Herry.
Lalu, Pengamat BUMN Universitas Indonesia (UI), Toto Pranoto, pun menilai bahwa kredit dengan bunga 0% bagi usaha mikro adalah pekerjaan yang tidak mudah, pasalnya untuk Bank BRI dan Bank Mandiri yang mencetak laba bank only masing-masing Rp47,83 triliun dan Rp31,88 triliun didorong oleh pendapatan bunga.
“Dari pendapatan bunga yang NIM (Net Interest Margin) 7,4% (Bank BRI), demikian pula Bank Mandiri NIM sekitar 5%. NIM adalah indikator yang mengukur perbedaan lending dan borrowing rate, makin tinggi NIM berarti cost of money debitur juga makin mahal,” ucap Toto kepada Infobanknews.
Padahal menurutnya, DBS Singapore sebagai bank terbesar di Asia Tenggara mampu menekan angka NIM-nya pada tahun 2022 di level 2,1%.
“Dengan portofolio sebagian bank besar yang mengandalkan pendapatan bunga tinggi, maka permintaan Menteri BUMN itu hanya bisa efektif kalo bersifat order yang mandatory. Artinya ada perintah dari pemerintah kepada perbankan untuk terapkan 0% kredit ke sektor mikro. Kalo himbauan saja menurut saya tidak akan efektif,” imbuhnya.
Meski begitu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa usulan kebijakan bunga kredit 0% ke usaha mikro tersebut baik dan perlu diperluas ke sektor produktif pertanian hingga industri skala kecil rumahan.
“Tren kenaikan suku bunga kredit perbankan tentu menyulitkan usaha mikro untuk ekspansi, oleh karena itu butuh intervensi dari pemerintah lewat subsidi bunga,” ucap Bhima kepada Infobanknews.
Namun menurutnya, masalah yang terjadi di sektor mikro harus diikuti dengan pendampingan intens dari lembaga keuangan yang diharapkan dapat mendukung usaha mikro, dapat masuk ke rantai pasok BUMN atau usaha menengah atas dan perlu diimbangi dengan upaya percepatan digitalisasi usaha mikro.
Bhima menjelaskan bahwa terkait dengan manajemen risiko dan asesmen kredit mikro sebaiknya seimbang antara mencegah tingginya kredit macet, tetapi tidak juga mempersulit proses pengajuan pinjaman. Sehingga, harus dibedakan manajemen risikonya dengan penyaluran kredit bank pada umumnya. (*)
Editor: Rezkiana Nisaputra