Jakarta–Merosotnya populasi sapi dalam negeri saat ini dituding menjadi salah satu penyebab tingginya harga daging sapi saat ini. Berbagai kebijakan pemerintah belum efektif mestabilkan harga daging sapi di kisaran Rp75 ribu hingga Rp80 ribu seperti keinginan Presiden Joko Widodo.
“Masalah utamanya itu di hulu bukan di hilir, segera lakukan perbaikan pembibitan nasional,” ujar Pengamat Peternakan IPB Yeka Hendra Fatika dalam forum diskusi ekonomi Forum Komunikasi Wartawan Ekonomi Makro (Forkem), di Jakarta, Jumat, 29 Juli 2016.
Founder Bincang-Bincang Agribisnis (BBA) ini mengatakan, dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi yang mengatur Peraturan Pemerintah (PP) No.4/2016 tentang pemasukan hewan dan produk ternak berbasis zona, kemudian pencabutan kuota impor, hingga pemasukan barang sampah produk ternak semisal jeroan hanya membuat pelaku usaha sapi dalam negeri gundah gulana. “Seharusnya regulasi pemerintah bisa menenteramkan, bukan sebaliknya,” ucap Yeka.
Yeka menyatakan, persoalan tingginya harga daging sapi nasional harus dicermati secara bijak oleh pemerintah khususnya Kementerian Pertanian. Kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih doyan membeli daging sapi segar, menyebaban gelontoran daging impor beku dari luar negeri tidak begitu diminati dan kurang berpengaruh terhadap penurunan harga daging. “Sekarang yang terjadi justru barang lebih banyak, namun harga daging sapi tetap tinggi,” imbuh Yeka.
Ia menilai, kenaikan harga daging sapi juga tidak bisa distabilkan dengan jeroan impor. Konsumsi jeroan seperti hati hanya agak besar pada menjelang lebaran. Artinya, jika impor jeroan yang dibuka, maka kita kembali mengalami kemunduran dan membuktikan rakyat kita diminta makan jeroan karena tidk mampu beli daging.
Harga Rp80 ribu per kilogram seperti yang diminta Presiden, sejatinya sangat mungkin terjadi. Ini karena harga secondary cut daging dari Australia saja rata rata USD5 per kg, kurang lebih Rp66 ribu per kg.
Sudah 2 tahun terakhir ini yang diperbolehkan untuk mengimpor daging secondary cut hanya BUMN, dalam hal ini Bulog. Importir umum pun hanya memperoleh izin manufacturing yang dagingnya hanya untuk keperluan industri. Fungsi Bulog sebagai penyangga dan penstabil harga artinya juga tidak berjalan sebagaimana mestinya walaupun sudah diberikan izin khusus.
Data menyebutkan, dari bulan Januari hingga Mei 2016, Bulog hanya mengimpor 5 kontainer secondary cut, padahal seharusnya bisa mengantisipasi dengan mengimpor secondary cut dengan jumlah lebih besar dalam rangka bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Alhasil, jika sudah memasuki bulan Ramadhan Bulog baru mulai beli barang, maka harga sudah terlanjur naik dari negara asalnya dan barang sudah terlanjur kosong di pasaran.
Hal yang kemudian menjadi pertanyaan lagi adalah pembukaan sumber India sebagai sumber baru apakah sudah tepat? Apakah sudah ada jaminan kesehatan dan kehalalan? Jangan hanya karena ingin menekan harga lalu mengesampingkan faktor lain.
Kemudian, jika daging India dibuka dan dijual dengan harga di bawah HPP sapi lokal hari ini, bagaimana dengan peternak lokal? “Anggaplah Bulog dapat mendistribusikan dengan baik daging India, lalu bagaimana dengan sapi lokal, apa mereka harus merugi dan kita akan dibuat ketergantungan dengan negara India?,” tuturnya.
Seharusnya yang diselesaikan adalah bagaimana agar harga HPP sapi lokal kita bisa setara dengan India. Ini karena jika kita membuka keran impor secara besar besaran, tidak menjamin masalah selesai. Bahkan peternakan lokal yang tadinya mulai dilirik karena mulai menghasilkan, akan kembali ditinggalkan dan swasembada daging akan semakin jauh.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menambahkan, paska dibukanya kran impor daging sapi beku dari luar negeri, pihaknya sudah melakukan kordinasi lintas sektoral.
“Asal lengkap semua syarat dan perizinannya, sekarang sudah tidak ada lagi kontainer yang kami tahan, silahkan cek di lapangan,” ungknya.
Apalagi, untuk memangkas waktu proses bongkar muat di pelabuhan, Ditjen Bea Cukai mulai menerapkan konsep Indonesia Single Risk Management (ISRM) atau pemeriksaan fisik hanya dilakukan oleh satu instansi. “Sekarang bongkar muat sudah di angka 2,50 hari dari sebelumnya 5 hari lebih,” ujarnya. (*)
Editor: Paulus Yoga