Jakarta – Rata-rata konsumsi per kapita di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan adanya kenaikan sebesar 3,6% dari Rp1,28 juta per bulan pada September 2021 menjadi Rp1,33 juta pada Maret 2022.
Turut melakukan survei kepada lebih dari 700 responden Indonesia dari berbagai kelas pemasukan pada November 2022, DBS Group Research mendapati peningkatan konsumsi masyarakat terhadap produk makanan menjadi 50,1% pada 2022 dari yang sebelumnya 49,2% pada 2020. Kenaikan tersebut ditengarai berkat adanya himbauan masyarakat untuk stay at home guna mencegah penyebaran Covid-19.
Riset ini pun meneliti bagaimana inflasi dan ancaman resesi mengubah pola pengeluaran dan konsumsi masyarakat yang tidak hanya terjadi pada saat pandemi dari 2020-2022, namun juga terlihat pada saat inflasi 2013-2015. Peningkatan inflasi 8% pada Juli 2013 dan Desember 2014 dipicu oleh kenaikan harga Premium dan Diesel pada Juni 2013 dan November 2014. Ini disertai dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga dari 5,75% pada Januari 2013 menjadi 7,5% pada Desember 2015.
Akibatnya, pengeluaran konsumsi rumah tangga Indonesia menurun dari 5,7% pada awal 2013 menjadi 4,9% pada akhir 2015. Setelah itu, pola konsumsi bergeser ke produk non-makanan yang meningkat masing-masing menjadi 50% dan 52,5% pada tahun 2014 dan 2015, dari 49,3% di 2013. Hal ini terjadi atas dasar tingginya pengeluaran untuk perabotan rumah tangga.
Tahun 2023 diprediksi menjadi tahun yang gelap karena adanya ancaman inflasi dan resesi yang sudah terdengar sejak penghujung tahun 2022. Dalam risetnya pula, DBS Group Research memprediksi pola konsumsi Indonesia pada 2023 dan 2024.
Pertama, ditemukan bahwa ekonomi makro masih tergolong kuat di tengah tingginya angka inflasi. Hal ini berkat adanya relaksasi pembatasan mobilisasi masyarakat di tengah menurunnya angka Covid-19. Ekonomi Indonesia meningkat menjadi 5,7% secara tahunan pada kuartal ketiga 2022 dibandingkan dengan 5,4% pada kuartal sebelumnya. Pencapaian ini dipicu oleh pertumbuhan angka investasi, dorongan siklus dari harga komoditas yang tinggi, serta peningkatan permintaan akan restock dan dimulainya kembali kegiatan dalam sektor jasa.
Hal ini membantu mengimbangi dampak penurunan pendapatan riil dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah juga memperluas subsidi angkutan umum daerah untuk meredam dampak kenaikan harga bahan bakar terhadap daya beli dan memberikan bantuan keuangan bagi rumah tangga berpemasukan menengah ke bawah.
Kedua, ditemukan pula bahwa konsumsi akan melambat di 2023 karena meningkatnya angka inflasi, bercermin dari pola inflasi pada 2013-2015 dan hasil survei konsumen Bank DBS Indonesia.
Pada periode 2013-2015 terjadi kenaikan tajam harga BBM dan inflasi yang menyebabkan penurunan konsumsi dengan jeda sekitar enam bulan. Hal serupa diprediksi akan terjadi dimana Ekonom DBS Group Research Radhika Rao memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2023 akan bertahan di 5%, lebih rendah dari 5,4% pada 2022 lalu.
Ketiga, konsumen masih memiliki kekhawatiran terkait inflasi walaupun sudah mengalami penurunan. DBS Group Research mendapati bahwa kekhawatiran tersebut didasari atas ketakutan akan meningkatnya harga barang dan jasa, terutama harga BBM dan bahan pokok rumah tangga.
“Walaupun angka inflasi sudah mengalami penurunan menjadi 5,42% secara tahunan pada November, dari 5,95% dan 5,71% secara tahunan pada bulan September dan Oktober, setengah dari responden mengatakan bahwa kenaikan harga tersebut menambah pengeluaran mereka sebanyak lebih dari 10%,” ujar Cheria Christi Widjaja selaku analis di DBS Group Research, seperti dikutip Kamis, 23 Februari 2023.
Lalu, mayoritas responden merasa tren inflasi akan berlangsung sampai enam bulan ke depan bahkan lebih. Menyikapi hal tersebut, masyarakat akan menyesuaikan kebiasaan pengeluaran mereka dengan kondisi ini. Untuk menjawab efek dari naiknya angka inflasi, kebanyakan dari responden lebih memilih untuk menabung atau mengurangi pengeluaran (save more, spend less) dan mencari alternatif barang yang lebih murah. Apabila hal ini terjadi, maka perlambatan konsumsi rumah tangga di 2023 tak bisa dihindari.
Terakhir, adanya pergeseran tren konsumsi Indonesia di 2023 dan 2024 karena adanya inflasi. Dalam mengubah pola konsumsinya, mayoritas responden memiliki kecenderungan untuk mendahulukan pengeluaran harian seperti belanja bulanan dan BBM, juga keperluan rumah tangga dibanding berlibur atau membeli baju.
“Selain itu, responden memilih alternatif produk yang lebih murah dalam kategori pengeluaran harian dan mengurangi frekuensi konsumsi pengeluaran non-pokok seperti rekreasi, makan di luar, dan pakaian,” tutur Cheria. (*) Steven Widjaja