Oleh Fathan Subchi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) sedang menggodok adanya fatwa haram atau halal bagi pinjaman online (pinjol) atau financial technology (fintech) P2P. MUI merasa perlu merespon banyaknya keluhan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh pinjol, selain bisa saja MUI mengambil inisiatif sendiri atas perkembangan kondisi yang meresahkan atau merugikan masyarakat.
Menurut saya, fatwa pinjol bisa dibentuk atas praktiknya yang justru memberi mudharat bagi masyarakat peminjam dana. Ada tiga yang perlu diperhatikan. Satu, besarnya suku bunga yang dibebankan pinjol kepada peminjam lebih besar dari bank tradisional. Dua, cara penagihan pinjol yang terkadang dilakukan dengan intimidasi dan menjatuhkan martabat manusia. Tiga, pencairan pinjol yang tidak memperhatikan kondisi keuangan peminjam seperti halnya rentenir. Berbeda dengan bank tradisional yang mengetatkan persyaratan pencairan kredit dan pencairannya sesuai kemampuan keuangan peminjam agar tidak memberatkan maupun mencegah risiko macet di tengah jalan.
Jadi, masalahnya bukan hanya soal bunga tinggi saja. Namun penyedia pinjol legal maupun ilegal tidak peduli berapa disposible income yang dimiliki peminjam sebagai indikator dia mampu membayar angsurannya dan masih mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting lainnya. Baik pinjol legal maupun ilegal sama-sama mengumbar kemudahan dan kecepatan. Yang penting cepat cair dan kalau peminjam macet di tengah jalan tinggal dikejar oleh collectornya. Alhasil, kemudahan cara mengambil utang dengan adanya pinjol justru menjadi bumerang bagi masyarakat yang kondisi keuangannya sudah pas-pasan dan semakin sulit ketika harus membayar kewajibannya.
Keberadaan pinjol baik legal maupun ilegal seolah-olah menjadi solusi bagi masyarakat dalam meraih pendanaan secara cepat. Tapi, dalam kondisi di mana masyarakat mengalami penurunan penghasilan bahkan sebagian kehilangan pendapatan karena dampak pandemi COVID-19, membuat mereka justru terjebak dalam kondisi utang yang diluar kemampuannya. Ditambah lagi, guyuran kemudahan mengambil utang secara online muncul di masyarakat yang secara literasi dan edukasi masih rendah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sebaiknya tidak hanya melihat pertumbuhan industri fintech yang mencapai 25% di tengah pandemi COVID-19 sebagai sebuah prestasi. Sebab, kalau pertumbuhan pembiayaan tidak diiringi oleh literasi keuangan yang memadai maka masyarakat hanya menjadi obyek dari fintech P2P yang pastinya berpikir pragmatis sebagai lembaga bisnis. Sejauh ini fintech P2P hanya giat melakukan promosi dan iklan digital namun tidak mengambil peranan dalam meningkatkan literasi masyarakat.
Jadi yang diperlukan masyarakat dalam masa krisis adalah bukanlah kemudahan mengambil utang, namun bantuan sosial atau bantuan produktif dan kalaupun itu bersifat pinjaman tingkat bunganya harus lunak. Makanya, pemerintah melalui APBN sudah mengalokasikan anggaran untuk bantuan sosial untuk masyarakat papan bawah dan bantuan modal untul pelaku usaha mikro. Untuk pinjaman atau kredit kepada para pengusaha kecil pemerintah pun mengintensifkan pengucuran kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga 6%.
Sedangkan pinjaman komersial oleh lembaga keuangan seperti perbankan tetap menawarkan kredit dengan prinsip kehati-hatian dengan cermat mengkalkulasi kemampuan keuangannya agar bank tidak menuai kredit macet dan meminjam tidak malah mendapatkan mudharat. Dan pinjol kalau hanya mengambil kesempatan meraih keuntungan di tengah banyaknya masyarakat yang literasinya rendah dan butuh uang cepat (BUC) di tengah masa sulit bisa saja hanya membawa mudharat sehingga MUI mempertimbangkan mengeluarkan fatwa haram pinjol. (*)