Oleh Eko Ariantoro, Praktisi Jasa Keuangan
ERA disrupsi teknologi mendukung pengembangan sektor jasa keuangan ke arah digitalisasi, bahkan hingga kebutuhan dasar masyarakat atas jasa keuangan yaitu tabungan dan pinjaman. Hanya dengan beberapa tahap yang dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun, masyarakat dapat dengan mudah menikmati layanan sektor jasa keuangan. Di satu sisi, perkembangan teknologi mendorong inovasi untuk memberikan kemudahan bertransaksi bagi masyarakat. Namun, di lain sisi, terdapat tantangan besar berupa edukasi masyarakat agar lebih bijak memanfaatkan kemudahan layanan serta kebutuhan akan perlindungan konsumen yang lebih kompleks.
Isu Terkini di Masyarakat: Pinjol Ilegal dan Asuransi Unit Link
Layanan pinjaman kini dapat dinikmati dengan mudah oleh masyarakat melalui pinjaman online (selanjutnya disebut pinjol) dengan berbagai skema, misalnya peer to peer (P2P) lending. Masyarakat bisa dengan cepat mendapatkan pinjaman bahkan tanpa jaminan. Dengan berbagai iming-iming, seperti kemudahan persyaratan dan rendahnya suku bunga, sontak masyarakat yang kini terdampak pandemi COVID-19 akan mudah tergiur untuk mengambil pinjol.
Hal yang masih menjadi ganjalan adalah, apakah masyarakat sudah memahami bahwa pinjol yang dinikmati merupakan pinjol legal atau ilegal, mengingat digitalisasi menjadikan pinjol ilegal sulit untuk dibedakan oleh masyarakat umum. Terlebih, pinjol baik legal maupun ilegal dapat diakses dengan sangat mudah melalui mobile app yang dapat diunduh oleh siapa pun melalui Play Store. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan daftar pinjol legal serta ilegal dan juga aplikasi pinjol legal mencantumkan logo terdaftar/dalam pengawasan OJK, namun masih banyak masyarakat sulit memahami hal tersebut.
Ketidakmampuan dalam membedakan ini menjadikan banyak masyarakat terjebak dalam pinjol ilegal, berkedok pada pinjaman yang terlihat murah namun kenyataannya memiliki suku bunga yang mencekik leher serta praktik-praktik penagihan yang tidak etis.
Isu berikutnya yang belakangan marak adalah praktik mis-selling dan overpromise produk asuransi unit link, suatu jasa yang memberikan manfaat ganda berupa proteksi sekaligus investasi dalam satu produk. Unit link terbukti mempunyai daya tarik yang luar biasa. Terlihat dari catatan OJK terhadap pertumbuhan transaksi penjualan unit link yang meningkat 100 kali lipat dalam satu dasawarsa terakhir dibandingkan dengan penjualan asuransi berupa proteksi saja yang hanya meningkat 3,8 kali lipat.
Unit link memberikan manfaat tambahan berupa investasi yang dapat dimanfaatkan oleh nasabah di saat membutuhkan nilai tunai di masa depan serta keberlangsungan proteksi apabila nasabah sedang berhalangan untuk membayar premi secara rutin; pembayaran premi dapat diambil dari nilai tunai yang terdapat dalam investasi. Dalam praktiknya, agen penjual maupun perusahaan asuransi sering kali tidak menyampaikan dengan jelas atas biaya-biaya unit link yang timbul serta memberikan gambaran yang tidak realistis atas pertumbuhan nilai investasi (overpromise atas yield dan pokok). Pada saat terjadi krisis, seperti saat pandemi COVID-19 ini, nilai investasi mengalami penurunan tajam akibatnya nasabah merasa dirugikan.
Selain itu, nasabah dijanjikan untuk tidak perlu lagi membayar premi setelah jangka waktu tertentu tanpa mendapatkan pemahaman bahwa premi asuransi tetap wajib dibayarkan agar manfaat proteksi tetap diperoleh (mis-selling). Premi tersebut apabila tidak dibayar lagi oleh nasabah akan diambil dari nilai tunai yang terdapat di investasi unit link sehingga mengakibatkan berkurangnya nilai investasi; lagi-lagi nasabah merasa dirugikan karena nilai investasi terlihat menurun, tidak sebanding dengan besarnya pembayaran yang telah dilakukan.
Edukasi sebagai Bentuk Perlindungan kepada Masyarakat atas Pinjol Ilegal
Pemangku kepentingan, khususnya pemerintah dan OJK, perlu memberikan edukasi kepada masyarakat atas keberadaan penyedia jasa keuangan pinjol. Daftar penyedia jasa legal dan ilegal harus dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh masyarakat (one click away) secara daring, misalnya web portal atau mobile app, agar masyarakat dapat dengan mudah mengenali mana saja penyedia jasa legal dan menghindari penyedia jasa ilegal.
Masyarakat perlu diberikan edukasi agar memiliki literasi yang memadai untuk memahami skema produk pinjaman yang wajar, termasuk di dalamnya kewajaran besarnya pokok pinjaman, tingkat suku bunga, tenor maupun besaran angsuran. Pemahaman ini dapat membekali masyarakat dalam mengidentifikasi penawaran yang tidak wajar sehingga dapat terhindar dari pinjaman ilegal yang mencekik leher.
Selain itu, mengingat pinjol ilegal memanfaatkan mobile app dalam berinteraksi dengan calon konsumennya, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan modus apa saja yang acap kali dipakai untuk mengakses data pribadi secara tidak sah. Umumnya, mobile app pinjaman ilegal saat proses instalasi meminta akses penuh ke smartphone storage (untuk mengambil foto-foto pribadi yang dapat digunakan untuk melakukan penagihan secara tidak etis) maupun akses penuh ke kontak telepon (untuk menyebarluaskan pesan penagihan ke siapa pun yang ada di kontak). Masyarakat perlu dapat segera mengenali permintaan akses ke storage dan kontak telepon ini dan membatalkan instalasi mobile app apabila permintaan tersebut muncul.
Mempertimbangkan hal-hal di atas, edukasi menjadi tantangan berat, karena dalam waktu yang bersamaan perlu memberikan edukasi dari aspek keberadaan pinjol legal yang sulit untuk dibedakan dengan penyedia pinjol ilegal, pemahaman akan skema produk pinjol yang wajar serta pemahaman akan penggunaan teknologi. Tantangan ini dapat dihadapi apabila seluruh pemangku kepentingan melakukan edukasi secara proaktif dan komprehensif langsung kepada masyarakat melalui berbagai media, tidak hanya melalui kanal aduan.
Penguatan Market Conduct untuk Mencegah Praktik Mis-selling dan Overpromise Unit Link
Market conduct merupakan pola tingkah laku lembaga jasa keuangan (LJK) dalam melakukan aktivitas komersialnya kepada konsumen. Pola ini dalam banyak kesempatan menimbulkan terjadinya benturan kepentingan antara kebutuhan LJK maupun tenaga penjualnya agar produk yang ditawarkan LJK dapat dijual dengan mudah dan cepat, berhadapan dengan kebutuhan dan hak konsumen untuk mendapatkan pemahaman secara utuh atas produk yang dibelinya. Benturan kepentingan ini sejatinya tidak perlu terjadi karena kepuasan konsumen dalam jangka panjang justru akan menguntungkan LJK. Namun, tuntutan bisnis jangka pendek acap kali membuat LJK atau tenaga penjualnya mengambil jalan pintas, mengesampingkan kebutuhan dan hak konsumen atas pemahaman produk yang akan dibelinya.
Penguatan market conduct LJK perlu dilakukan agar konsumen terlindungi dari praktik mis-selling dan overpromise serta dalam waktu bersamaan juga dapat melindungi LJK dari praktik-praktik yang dalam jangka panjang dapat berbalik merugikan LJK itu sendiri maupun industri jasa keuangan secara umum. Penguatan dapat diprioritaskan pada titik-titik tempat konsumen berpotensi mengalami kerugian atas kesalahan atau kurang pahamnya konsumen saat memilih dan membeli produk.
Dalam konteks unit link, konsumen perlu memahami bahwa investasi unit link memiliki risiko penurunan nilai yang signifikan, terutama saat terjadi krisis ekonomi. Pemahaman ini juga perlu dimiliki oleh tenaga penjual, mengingat dalam banyak kasus tingkat pemahaman tenaga penjual akan risiko investasi sangat tidak memadai. OJK sebagai lembaga yang berwenang mengawasi perusahaan asuransi harus mewajibkan perusahaan asuransi penyedia unit link untuk mencantumkan secara lengkap dan transparan risiko terburuk atas investasi unit link.
Selanjutnya, tidak memperbolehkan perusahaan asuransi untuk mencantumkan ilustrasi proyeksi pertumbuhan nilai investasi unit link di masa depan dalam penawaran produknya. Ilustrasi masa depan ini notabene dapat disalahartikan oleh konsumen awam sebagai kepastian pendapatan investasi atau berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan atau tenaga penjualnya sebagai janji keuntungan investasi.
Dari segi peraturan, saat ini aturan mengenai market conduct LJK belumlah memadai. OJK perlu menerbitkan peraturan yang komprehensif sebagai acuan bagi perusahaan asuransi, maupun LJK secara umum, dalam menjalankan market conduct. Untuk memastikan terlaksananya peraturan tersebut, OJK perlu memperluas peran pengawasannya, tidak hanya fokus pada pengawasan aspek prudensial tetapi juga aspek market conduct. Selain itu, perangkat organisasi OJK, khususnya sinergi antara bidang pengawas LJK dan bidang perlindungan konsumen, perlu diperkuat agar pengawasan market conduct dapat berjalan secara efektif.
*) Penulis mengawali karier di Bank Indonesia hingga menduduki posisi terakhir di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan. Saat ini penulis menjabat sebagai Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana di Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).