Jakarta – Namanya sangat Jawa. Mardiasmo. Karakternya juga njawani banget, ramah, suka merendah, dan penuh empati. Dia pribadi yang humble, dengan tiga bintang di tiga bidang yang digelutinya.
Lahir di Solo, Jawa Tengah, 61 tahun yang lalu, Mardiasmo adalah sebaik-baiknya teladan hidup. Menggeluti tiga profesi akademisi, akuntan, dan birokrat. Ketiganya berhasil dia daki sampai puncak. Bahkan hingga setinggi bintang.
Sebagai akademisi dia sudah sampai level pandhito. Pada usia 45 tahun, Universitas Gadjah Mada (UGM), almamaternya, mandaulatnya sebagai guru besar. Profesor. Gelar tertinggi dalam dunia akademik.
Profesor Dr. Mardiasmo. Prof Mo, begitu sapaan akrabnya.
Meski begitu, dia tetap merendah. Sangat rendah. “Itu gelar Prof di depan nama saya bukan profesor, tapi provokator,” selorohnya.
Dia bercengkerama hangat sebelum memberikan opening speech pada acara “3rd Indonesia Mortgage Forum 2019” yang digelar Infobank dan Indonesia Mortgage Bankers Association (IMBA) – Perbanas, di Shangri-La Hotel, Jakarta, Kamis, 17 Oktober 2019.
“Mardiasmo adalah mahasiswa terbaik di kelas akuntansi yang saya ajar,” kenang Prof. Bambang Sudibyo, Ketua Baznas, yang mantan Menkeu dan dosen di UGM itu.
Tak heran jika UGM mengukuhkannya sebagai Guru Besar Ilmu Akuntansi. Dan, sebagai akuntan profesional, dia juga berhasil menjadi bintang. Pada Kongres XII Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) tahun 2018 lalu dia kembali terpilih sebagai Ketua IAI untuk kali ketiga, sejak 2010.
Profesi sebagai akuntan profesional itulah yang mengantarkannya masuk birokrasi. Diawali sebagai staf ahli menkeu bidang pengeluaran negara tahun 2004. Saat itu menkeunya Prof. Boediono.
Sejak itu kariernya sebagai birokrat semakin tak terbendung. Berturut-turut dia kemudian menjabat sebagai Dirjen Perimbangan Keuangan, Plt. Dirjen Pajak, dan Kepala BPKP sebelum akhirnya dipercaya sebagai Wamenkeu oleh Presiden Jokowi pada 2014.
“Prof. Mardiasmo merupakan orang yang tepat untuk menjaga semangat agar birokrasi pemerintah lebih goal oriented daripada process oriented tanpa mengganggu akuntabilitas,” ujar Jokowi.
Jokowi menulis statemen tersebut pada Kata Pengantar buku “Pijar Sang Pembelajar: Percik Pemikiran Mardiasmo, Anak Kampung yang Menjadi Akademisi, Birokrat, Akuntan Profesional” yang diterbitkan awal Oktober 2019 lalu.
Tak hanya Jokowi, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, juga memberikan testimoni tentang sosok Mardiasmo.
Menurutnya, judul buku tersebut sangat tepat untuk menggambarkan kiprah Mardiasmo yang tak pernah berhenti belajar dan selalu memijarkan ilmu serta keahliannya untuk khalayak.
“Dia adalah teladan bawah kesuksesan dan pencapaian tertinggi dalam karier dan profesi dapat diraih dengan ketekunan untuk belajar dan ingin maju, konsistensi, keuletan, dan keinginan untuk membagi ilmunya kepada semua,” papar Sri Mulyani.
Benar, perjalanan hidup Mardiasmo memang diwarnai ketekunan dan keuletan. Meski ayahnya, Soemardi Yatmosoemarto, adalah anggota DPR di masanya, dia dilatih hidup “prihatin”.
Ibundanya, Soepasrin, juga menempa Mardiasmo dengan berbagai pelajaran dan filosofi hidup. Khususnya tentang arti pengabdian dan kesetiaan. Salah satu filosofi Jawa yang diajarkan Ibundanya adalah pesan untuk hidup “gemi”, “nastiti”, dan “ngati-ati”.
Pesan inilah yang membentuk Mardiasmo menjadi akuntan yang penuh integritas dan berkarakter.
Menurut Mardiasmo, profesi akuntan sangat strategis di suatu pemerintahan. Profesi ini menjadi bagian penting dan strategis dalam berkehidupan bernegara.
“Akuntan bekerja pada tataran mikro. Namun, kinerjanya berdampak secara makro,” ujar Mardiasmo.
Maka itu, dia wanti-wanti benar kepada siapa pun yang berprofesi sebagai akuntan. “Agar semua akuntan profesional selalu menggunakan ‘head’ dan ‘hearth’ dalam menjalankan profesinya,” sarannya.
Maksudnya, selain harus kompeten, seorang akuntan juga harus memiliki integritas. “Akuntan profesional harus selalu membela yang benar, bukan yang bayar, meski godaan dan risikonya besar,” tuturnya.
“Pak Mardiasmo memang sosok yang unik. Dengan latar belakang sebagai birokrat, akademisi, dan akuntan profesional, beliau mampu menggunakan semua atribut tersebut dalam menjalankan amanat dan tugas yang diberikan kepadanya,” tutup Jusuf Kala, Wapres RI, dalam kata pengantar buku. (Darto Wiryosukarto)