Jakarta – Anggota Komisi XI DPR-RI Said Abdullah memandang pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna mengenai 7 bank yang kurang diawasi dengan baik oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat menimbulkan kepanikan pasar keuangan di tengah pandemi Covid-19.
“Seharusnya BPK tidak mengumumkan 7 bank tersebut ke publik, karena ini bsa membuat panik pasar. Apalagi sekarang ini ditengah pandemi. BPK cukup mengaudit saja,” kata Said ketika dihubungi Infobanknews di Jakarta, Kamis 14 Mei 2020.
Menurutnya, industri keuangan khususnya perbankan sangat rentan dan memiliki efek domino ke berbagai sektor. Tak hanya itu, sektor keuangan sangat berpengaruh ke pasar keuangan nasional maupun global. Disituasi krisis saat ini, BPK dinilai sangat rawan mengumumkan 7 bank yang dianggap tak mematuhi ketentuan, karena salah-salah bisa memicu penarikan dana di bank-bank yang disebutkan.
“Harusnya tidak memberi highlight nama 7 bank yang bisa menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat. Apalagi, hasil audit itu tidak terjadi pada tahun 2020,” tambah Said yang juga Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI.
Said menilai, pengawasan bank bukan wewenang BPK, tapi OJK. Dirinya menyebut, laporan OJK ke komisi XI DPR terkait dengan perbankan, khususnya yang menyangkut bank insolvabel dilakukan dengan confidential. Langkah itu dilakukan untuk menghindari kepanikan publik. Dirinya menambahkan, sejauh ini kondisi perbankan masih baik, DPK masih tercatat tumbuh meskipun NPL ada kenaikan tipis.
“Bila kesehatan perbankan, jelas bukan domain BPK. Domain BPK hanya mengaudit keuangan perbankan. Terutama bank pemerintah termasuk bank milik Pemda terkait akuntabilitas, bukan terkait kesehatan bank. Jadi kita harus cermat melihat membedakan kewenangan kedua lembaga tersebut,” jelas Said.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna, masih tetap merasa tidak salah atas penyebutkan 7 nama bank, dan cenderung bertahan. ”Pemeriksaan yang kami lakukan terhadap OJK, tidak membatasi wewenang kami untuk mengungkat hasil kepada publik. Kami mengerti bagaimana cara menyampaikan hal-hal yang penting kepada public, dan tidak usah dipersoalkan dengan siapa pun,” ucap Agung belum lama ini.
Sebagai informasi saja, OJK mencatat stabilitas sektor jasa keuangan yang masih terjaga diidukung dengan tingkat permodalan yang tinggi. Pada Maret 2020, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) mengalami penurunan namun masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,72% dimana pada saat Desember 2019 sempat mencapai 23,31%.
Sedangkan untuk risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross sedikit meningkat namun masih terjaga di 2,77% dimana pada Desember 2019 mencapai 2,53%. Beberapa sektor pendorong tingginya NPL adalah sektor transportasi, pengolahan, perdagangan dan rumah tangga. (*)
Editor: Rezkiana Np