Pernah Disehatkan IDB pada 98, Kini Siapa bisa Sehatkan Muamalat?

Pernah Disehatkan IDB pada 98, Kini Siapa bisa Sehatkan Muamalat?

Jakarta – Ketika krisis moneter menumbangkan sejumlah bank-bank di Indonesia pada tahun 1998, ada beberapa bank yang masih mampu bertahan. Bahkan tanpa bantuan uang negara sepeserpun. Salah satunya adalah Bank Muamalat.

Sistem syariah digadang-gadang menjadi penyebab Bank Muamalat mampu lebih tahan guncangan di tengah krisis. Padahal Bank syariah pertama di Indonesia bukannya tidak terdampak krisis. Pada saat krisis 1998 terjadi, rasio pembiayaan bermasalah (nonperforming finance/NPF) perusahaan sempat tembus 65,61 persen dari total pembiayaan sebesar Rp462,10 miliar. 

Akibatnya, modal perusahaan tergerus hingga tersisa sepertiganya, yaitu Rp39 miliar. Tak cuma itu, perusahaan juga mencatatkan kerugian hingga sebesar Rp75,5 miliar.

Pada saat itulah, Islamic Development Bank (IDB) bersama pemodal asing lain seperti Boubyan Bank dan Saudi Arabian Atwill Holdings Limited hadir sebagai penyelamat Bank Muamalat. Boubyan Bank dan Saudi Arabian Atwill Holdings Limited masing-masing menguasai 24,9 persen. Sementara IDB menggenggam 32 persen. Selebihnya dipegang oleh publik.

Sepuluh tahun pasca krisis, kinerja Bank Muamalat tumbuh mentereng. Asetnya tumbuh 2.529 persen menjadi Rp12,59 triliun dari  hanya Rp479,10 miliar pada 1998. Kualitas aset juga mengalami perbaikan signifikan dengan rasio NPF net hanya 3,85 persen. Perusahaan pun memperoleh laba sebesar Rp207,21 miliar atau naik 42,58 persen dari tahun sebelumnya.

Ironisnya, sepuluh tahun kemudian yakni pada 2018 kinerja Bank Muamalat kembali goyang. Pembiayaannya merosot menjadi Rp33,55 triliun dari 41,29 triliun di 2017. Labanya pun tergerus menjadi hanya Rp46 miliar. Dengan rasio kecukupan modal atau CAR sebesar 12,34 persen Bank Muamalat butuh tambahan modal agar dapat terus berkspansi,namun kali ini IDB tidak bisa membantu banyak lantaran terbentur peraturan internal.

Hingga kini, saham Bank Muamalat masih didominasi oleh perusahaan asing. Maka, bank ini pun berstatus bank syariah swasta yang dimiliki oleh investor asing. 32,74 persen saham Muamalat dimiliki oleh IDB, 22 persen dimiliki Bank Boubyan asal Kuwait, 17,91 persen dimiliki Atwill Holdings Limited, dan 8,45 persen dimiliki National Bank of Kuwait. Lalu, sisanya dimiliki oleh pemegang saham minoritas dengan kepemilikan masing-masing di bawah 5 persen.

Bank Muamalat terus berupaya mencari dana segar. Untuk memperkuat modal, pada 8 November 2019 lalu Bank Muamalat Indonesia atau BMI telah melayangkan keterbukaan informasi kepada pemegang saham dalam rangka penawaran umum terbatas VI (PUT) dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) alias rights issue.

Rencananya, pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), BMI akan meminta restu untuk melakukan rights issue dengan angka perkiraan mencapai Rp 3,29 triliun. Namun hingga saat ini proses penambahan modla tersebut belum juga dilakukan. Metode penyelamatan lain yang juga sempat berkembang adalah dengan melibatkan bank BUMN. Namun hal tersebut dibantah Menteri BUMN Erick Thohir.  Selain itu penyelamatan Bank Muamalat melalui bank BUMN dinilai bukan langkah yang tepat. 

Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE), Piter Abdullah punmengungkapkan, penyelamatan Bank Muamalat dengan melibatkan bank-bank BUMN bukanlah langkah yang tepat. “Biarkan mekanisme pasar berjalan. Apabila Bank Muamalat masih memiliki prospek akan ada investor yg masuk. Kalau tidak ada jangan dipaksakan,” jelasnya kepada Infobanknews.

Di. tengah berbagai isu penyelamatan BMI yang tak kunjung selesai ini, OJK sebagai badan pengawas keuangan didesak untuk segera mencari solusi agar permasalahan yang menimpa BMI tidak berlarut larut.

Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI Fathan Subchi menyatakan, bahwa pihaknya akan memberikan batas waktu atau deadline terhadap OJK untuk segera memutuskan solusi terbaik terkait permasalahan Bank Muamalat. Menurutnya, penyelesaian kasus seperti ini tidak boleh dibiarkan belarut-larut karena pasti akan mengganggu sistem keuangan yang ada.

“Kita tidak akan membiarkan kasus ini berlarut-larut tanpa penyelesaian. Jadi memang kehati-hatian itu perlu, tapi jangan terlalu lama, karena ini dampaknya bisa sistemik kalau dibiarkan terus,” tegasnya beberapa waktu lalu. (*) Dicky F Maulana

Related Posts

News Update

Top News