Oleh Awaldi : Direktur Operasional Bank Muamalat Indonesia, penulis buku berjudul Karyawan Galau Nasabah Selingkuh.
KEINDAHAN dalam “bermain” terletak pada kegembiraan pada saat bermain maupun kegembiraan yang tetap dibawa setelah permainan itu sendiri usai. Ingatlah pada waktu kita masih “suka bermain” dulu waktu masih anak-anak, suasana hati selalu menyenangkan. Hampir setiap saat kita menghabiskan waktu dalam bermain. Ketemu anak sebaya, kita pun mengajak bermain boneka, mobil-mobilan. Bermain lebih menyenangkan lagi untuk yang “banyak gerakan”-nya seperti petak umpet, tukak lele, perang-perangan, main bola kasti. Rasanya dunia alangkah indahnya.
Dalam setiap permainan kita sering bertukar peran dengan senang hati. Kadang jadi dokter kadang jadi pasiennya, kadang jadi yang mencari kadang yang dicari, kadang jadi tentara kadang jadi musuhnya, kadang menang kadang kalah. Kita senang saja memainkan peran apa saja. Kita pun tahu bahwa sebentar lagi peran kita diganti; tak apa-apa, tak masalah. Semua happy aja.
Sayangnya pada waktu kita menginjak dewasa, kita lebih serius dalam hidup dan kurang banyak bersenang-senang. Sedikit pekerjaan tidak serius (aka permainan) yang tersisa dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua kegiatan berbau penting, urgent, dan rasanya kehadiran kita tidak tergantikan supaya banyak “urusan bisnis” selesai.
Hanya sekali-sekali kita berhenti dalam “kegiatan yang rutin dan serius” ini. Biasanya week-end. Waktu untuk kumpul dengan teman-teman melakukan kegiatan berolah raga. Ada yang hobby olahraga bulu tangkis, ada yang maen tennis, ada yang golf, futsal, ada juga sepedaan gowes.
Saya biasanya maen tennis dengan teman-teman yan sudah satu club sejak lama sekali. Ada teman yang sudah dikenal sejak mahasiswa dulu, ada juga teman yang sesama satu kantor di tempat pertama kali bekerja. Rasanya merindukan datang week-end untuk ketemu teman-teman bermain tennis nggak pernah sabar. Maunya cepet-cepet hari Sabtu. Kalaupun ada tugas keluar kota, diusahakan supaya Jumat udah sampe di Jakarta; mau pulang tengah malam pun dijabani. Bahkan pernah saya balik lagi ke Jakarta pagi-pagi subuh dari perjalanan dinas ke luar kota, hanya untuk mengejar supaya “bermain bersama” dengan teman-teman tidak ketinggalan di week-end yang indah.
Kalau sudah “bermain” di week end itu, udah kita diselimuti kesenangan luar biasa. Ketawa-ketiwi, sambil ngeledek yang lain. Mukul sana mukul sini dengan hati yang super bahagia. Kerjaan sulit di kantor terlupakan. Indahnya setiap permainan adalah kita senang kalau kita menang, akan tetapi kita juga paling mesem dikit aja kalau kalah, habis itu kita ketawa-ketawa sambil memegang pundak kawan kita yang jadi “lawan”. Kita tahu bahwa kadang kita menang, tapi kadang juga bisa kalah. Itu biasa saja. Menang tidak selamanya, dan kalah juga tidak selamanya. Roda berputar begitu istilahnya. Dalam permainan kita tahu bahwa kita bersenang-senang, tidak ada yang abadi, kita menerima posisi dan peran yang berobah-robah dengan lapang dada.
Sayangnya banyak orang melihat bahwa “hidup itu super serius”. Banyak yang tidak paham bahwa hidup juga sebenarnya permainan. Padahal sudah sering kita dengar ceramah ustadz di mesjid-mesjid yang mengatakan bahwa dunia ini dunia fana, bukan dunia abadi, bukan dunia yang sebenarnya. Dunia ini hanya tempat persinggahan, sebentar saja. Ada juga lagu yang sangat populer mengingatkan kita bahwa “dunia ini adalah panggung sandiwara”. Hidup itu kalau sudah dianggap serius, maka kesenangan kita berkurang, banyak kerut di dahi, senyum diganti dengan nyeri di dada, keindahan hilang dari mata kita. Kebahagiaan menjadi barang mahal, yang susah di dapat. Kita tidak bisa menikmati indahnya kehidupan ciptaan Tuhan.
Kadang kita terlalu mengganggap diri super penting, saking seriusnya hidup. Tanpa kehadiran kita rasanya bisnis tidak akan berjalan, kantor akan tutup, pekerjaan tidak ada yang bisa menggantikan.
Padahal pengalaman sudah menunjukkan, hari ini kita resign dari kantor yang sekarang, besok sudah cepat ada saja penggantinya, dan pekerjaan berjalan mulus-mulus aja. Hari ini kita meninggal; sehari, seminggu, paling lama sebulan ada kegaduhan dan kerusuhan sanak saudara yang ditinggalkan. Setelah itu kehidupan berjalan seperti biasa. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Dunia tetap berputar mengelilingi matahari. Burung-burung tetap bernyanyi di pagi hari. Pelangi tetap muncul setelah hujan panas.
Pekerjaan kita di kantor “juga adalah permainan”. Jangan dianggap terlalu serius. Jabatan kita sebagai Head, Kepala atau Chief, adalah jabatan sementara. Kebetulan saja “permainan” sekarang memerankan kita dalam posisi itu. Jadi jangan angkuh, sebaliknya biasa saja kalau posisi itu dipindahkan perannya kepada orang lain. Jalani seperti biasa saja. Sebagai anak buah merasa biasa saja kalau atasan kita marah-marah, karena semua itu “permainan saja”, yang sedang menuntut mereka untuk naik darah dan berkelakuan kurang baik. Anggap saja sandiwara, karena semua itu hanya permainan. Tidak perlu serius menanggapinya; suatu saat peran dalam permainan itu akan berakhir.
Kehidupan di kantor dan kehidupan dunia sejatinya adalah permainan. Skenario yang berjalan di dalamnya dan yang sedang di perankan oleh masing-masing orang, jangan dianggap serius. Jangan dibawa ke hati.
Termasuk kekuasaan dalam pemerintahan. Bagian dalam permainan hidup di dunia. Bagian dari “permainan kekuasaan”. Dalam permainan itu sekarang yang memainkan akting sebagai Presiden adalah pak Jokowi, sebagai pemenang pemilihan presiden baru-baru ini. Memang beliau yang saat ini ditakdirkan untuk berlakon sebagai Presiden dalam “skenario permainan” Pemerintahan Indonesia. Biasa saja, berikan kesempatan. Dan kita mari memainkan peran sebagai warga negara yang baik. Tidak menganggapnya terlalu serius, sehingga kita tidak perlu sakit hati dan terlalu kecewa dengan caranya memerintah dan menjalankan kekuasaan yang belum tentu sesuai dengan harapan kita. Tetaplah berbahagia. (*)