Jakarta – Dalam proses pemeriksaan pajak, ada dinamakan proses pembahasan akhir, untuk membahas dan menyanggah temuan yang ditemukan pemeriksa. Wajib Pajak (WP) bisa membahas darimana perhitungan dan dasar hukumnya. Objek yang diperiksa bisa dilakukan untuk satu jenis pajak saja, atau bisa seluruh jenis pajak.
Kasubdit Perencanaan Pemeriksaan, Ditjen Pajak RI, Iis Mazhuri menjelaskan, bagi WP, jika kedatangan petugas pemeriksa pajak, sebaiknya pertama-tama perlu meminta surat pemberitahuan pemeriksaan, apakah lapangan atau kantor? Adakah tanda pengenal? pemeriksa (biru) penyidik (hitam). Lalu surat pemberitahuan berisi nama tim pemeriksa.
“Dalam pertemuan dengan pemeriksa, juga perlu dipastikan apa saja kewajiban dan hak mereka. Ada juga kewajiban merahasiakan atas apa yang diperoleh pada saat pemeriksaan,” ujar Iis Mazhuri dalam diskusi pelatihan pajak yang digelar Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Kamis, 25 Maret 2021.
Adapun kewajiban WP dalam pemeriksaan adalah memperlihatkan/meminjamkan dokumen/data dan catatan harus membatu. Apabila tidak membantu dapat dibuatkan berita acara dan juga langkah penyegelan. Metode pemeriksaan tidak langsung biasanya akan meminta dokumentasi transaksi bank, sumber dan penggunaan dana, penghitungan rasio, satuan dan/atau volume, penghitungan biaya hidup, dan penambahan kekayaan bersih.
Menurutnya, prosedur dalam pemeriksaaan pajak harus mempunyai bukti jika memang SPT yang dilaporkan WP tidak benar, dan auditor akan melakukan penghitungan berbeda dengan WP, yaitu perhitungan menurut auditor. Dalam proses pemeriksaan, WP boleh menunjukkan ketidakpuasaan (quality assurance) yang membahas mengenai prosedur pemeriksaan yang keliru menurut auditor.
“Semua auditor pajak sudah dapat pelatihan teknis, cermat dan seksama, jujur dan bersih dan taat pada perundang-undangan. Standar pelaporan disusun singat, ringkas, jelas, Indonesia, memuat dasar penugasan pemeriksaan (identitas yg diperiksa),” ucapnya.
Jika dibagi dalam kriteria pemeriksaan, ada yang berupa pemeriksaan rutin (dilakukan dalam periode tertentu) untuk menentukan apakah kewajiban perpajakan sudah dilakukan benar oleh WP (terhadap SPT Lebih Bayar maupun Kurang Bayar pun pasti diperiksa). Sementara, ada juga pemeriksaan khusus yang dilakukan berdasarkan analisis risiko (yaitu memetakan kewajiban yang dilakukan oleh WP selama tahun-tahun sebelumnya dan meneliti objek pajak yang belum dilapor, pajak yang terlambat disetor, dan informasi lainnya yang didapatkan dari pihak ketiga).
“Jenis pemeriksaan bisa dilakukan di kantor (pemeriksa tidak perlu ke toko/pabrik/tempat usaha), atau di lapangan dengan memeriksa asset, stok dagangan, dan lain-lain Ada juga pemeriksaan untuk tujuan lain seperti penghapusan NPWP, menutup badan usaha untuk mencabut NPWP dan PKP, serta untuk menghitung piutang pajak,” paparnya.
Kebijakan umum mengenai pemeriksaan perpajakan di era reformasi sudah ada sejak tahun 1983 yang melahirkan UU KUP. Setelah itu, kebijakan ini diperbaharui sehingga ada UU KUP yang baru yaitu pada tahun 1994. Sampai dengan UU KUP 2007, lahirlah sunset policy. Sunset policy merupakan kebijakan yang memberikan insetif selayaknya tax amnesty pada tahun 2016. (*)