Perbankan terus meningkatkan coverage ratio untuk mengantisipasi kenaikan kredit bermasalah. Ria Martati
Jakarta–Tertahannya penyaluran kredit di tengah pelambatan ekonomi serta meningkatnya rasio kredit bermasalah mendorong perbankan untuk memupuk pencadangan daripada mengejar pertumbuhan profit.
Terlihat dari kinerja keuangan beberapa perbankan pada semester pertama 2015 ini. Tiga bank besar milik Pemerintah misalnya yaitu PT Bank Mandiri, Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk yang rajin memperbesar Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan mengorbankan perolehan laba.
Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan hingga akhir tahun nanti, Perseroan hanya menargetkan pertumbuhan laba single digit atau hanya menjadi sekitar Rp20 triliun tak banyak bergerak dari perolehan labanya tahun lalu yang mencapai Rp19,9 triliun.
“Kita sih kasih guidance laba pertumbuhannya single digit, karena tergantung juga terhadap pertumbuhan cadangan. Kebijakan Mandiri kalau ada income mending kita taruh di cadangan untuk ketika ada kesulitan ke depan,” kata Budi usai paparan kinerja semester pertama 2015 di Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis malam.
Perolehan laba sepanjang semester pertama ini pun menunjukkan tren melambat. Pada triwulan pertama, laba Bank Mandiri tercatat Rp5,1 triliun atau tumbuh 4,3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara per Juni lalu, laba yang dikantongi Mandiri Rp9,9 triliun sepanjang semester pertama 2015. Angka itu naik tipis 3,5% dibanding Juni tahun lalu.
Manajemen beralasan, perolehan laba banyak dialihkan untuk memupuk cadangan sebagai antisipasi peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL) yang diperkirakan masih akan meningkat hingga akhir tahun. Semester pertama ini NPL gross Mandiri tercatat 2,43% naik dibanding Juni tahun lalu yang 2,23%. Sementara secara nett, rasio kredit bermasalah Bank Mandiri pada semester I-2015 sebesar 1,01%, meningkat dari periode sama 2014 yang masih sebesar 0,81%.
Pada 2014 coverage ratio Bank Mandiri sempat mencapai 200%, lalu tergerus menjadi 181% per Maret, dan Juni menjadi 168%. Makin tergerusnya coverage ratio tersebut karena NPL yang makin naik, Budi mengatakan setiap kuartal terjadi penurunan coverage ratio sekitar 20 basis poin, dan hingga akhir tahun diperkirakan akan terus tergerus karena tren NPL yang juga diperkirakan akan naik.
Pun demikian dengan BNI, merespons kenaikan NPL, Perseroan meningkatkan pencadangan hingga Rp6 triliun pada semester pertama tahun ini sehingga pertumbuhan laba turun 50,8% menjadi Rp2,4 triliun dibanding periode yang sama tahun lalu. Peningkatan biaya provisi yang mencapai Rp6 triliun itu sendiri naik 172% secara year on year (yoy). Sehingga coverage ratio BNI menjadi 138,8%. Pada akhir tahun nanti, Direktur Utama BNI Achmad Baiquni memperkirakan terjadi penurunan laba antara 10%-12% dibanding tahun lalu.
“Ini pasti kurang lebih secara year on year kemungkinan dibanding tahun lalu akan turun antara 10-12%, pendapatan akan dikurangi untuk cadangan,” kata dia baru-baru ini. Seperti diketahui, tahun lalu, BNI mencetak laba bersih Rp10,8 triliun.
Sedangkan PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk masih berharap pertumbuhan laba single digit. Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI mengatakan, BRI akan lebih mementingkan kualitas dengan menurunkan cost of fund, NPL dan meningkatkan fee based income.
“(Laba) single digit saya bilang, mungkin low to medium single digit to be honest,” kata Haru usai Paparan Kinerja Triwulan 2 2015 di Gedung BRI Jakarta, Jumat, 31 Juli 2015
Semester pertama, coverage ratio mencapai 141% dari NPL. Ke depan menurutnya, level ideal coverage ratio adalah 150% dan akan dijaga di level tersebut.
“Kredit enggak memberi repayment yang kita harapkan. Jadi biaya yang kita cadangkan naik 60% di kuartal 2 ini, jadi total net profit turun, dari sebelumnya tumbuh double digit jadi 1,6%,” tandasnya. (*)
@ria_martati