oleh Paul Sutaryono
HINGGA Januari 2020 terdapat 14 bank umum syariah (BUS) dan 20 unit usaha syariah (UUS). Bagaimana kinerja perbankan syariah? Statistik Perbankan Syariah menunjukkan, pembiayaan perbankan syariah tumbuh 11,43% dari Rp200,29 triliun per Januari 2019 menjadi Rp223,18 triliun per Januari 2020. Pertumbuhan pembiayaan itu lebih tinggi daripada pertumbuhan kredit perbankan konvensional 5,88% pada periode yang sama. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) 11,45%, dari Rp257,05 triliun menjadi Rp286,49 triliun, pun lebih tinggi daripada DPK perbankan konvensional 6,58%.
Mengingat pertumbuhan pembiayaan dan DPK yang tak seimbang itu, maka financing to deposit ratio (FDR) menipis dari 77,92% menjadi 77,90%, tapi masih di ambang batas 78%-92%. FDR itu lebih rendah daripada loan to deposit ratio (LDR) perbankan konvensional 93,36% yang melewati ambang batas. Inilah simbol ketatnya likuiditas.
Sejauh mana kualitas aset? Meski dalam kondisi ekonomi yang kurang gizi, perbankan syariah masih mampu meningkatkan laba 43,85% dari Rp4,71 triliun menjadi Rp6,50 triliun. Hal itu mendorong kenaikan imbal hasil aset (return on assets/ROA) dari 1,51% menjadi 1,88%.
ROA di atas ambang batas 1,5% itu berarti kualitas aset terjaga baik. Namun, ROA itu masih jauh di bawah perbankan konvensional 2,70%. Artinya, belum semua aset lancar mampu menghasilkan imbal hasil yang gurih.
Lantas, apa saja tantangan perbankan syariah? Apa saja jurus transformasi yang harus dimainkan?
Pertama, mengapa pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah amat lambat? Total pembiayaan perbankan syariah Rp223,18 triliun itu “hanya” 4,23% dari total kredit perbankan konvensional Rp5.279,63 triliun. Kontribusi yang amat rendah.
Untuk itu, diperlukan transformasi regulasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menggabungkan perbankan syariah, terutama UUS bank pembangunan daerah (BPD). Rencana itu bertujuan untuk membentuk BUS dengan modal lebih perkasa. Sebelumnya, Bank NTB dan Bank Aceh sudah beralih dari bank konvensional menjadi bank syariah.
Apakah hal itu memungkinkan karena UUS itu milik pemerintah daerah (pemda)? Hal itu bisa menjadi hambatan utama sebab selama ini pemda merasa lebih bangga dengan memiliki UUS.
Satu dasawarsa lalu, Bank Indonesia (BI) telah mendorong supaya bank syariah lebih berkembang dengan menerbitkan Peraturan BI Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (UUS) yang berlaku pada 19 Maret 2009. Bank umum konvensional (BUK) yang memiliki UUS wajib memisahkan UUS menjadi BUS apabila nilai aset UUS telah mencapai 50% dari total nilai aset BUK induknya atau telah beroperasi paling lambat 15 tahun (pasal 40). Aturan itu wajib dipatuhi paling lambat pada 2024.
Aturan itu bertujuan untuk mendorong UUS agar lebih berkembang secara sehat dan dikelola secara profesional. UUS yang menjadi BUS baru wajib memiliki modal disetor minimal Rp500 miliar dan secara bertahap wajib ditingkatkan menjadi Rp1 triliun paling lambat 10 tahun setelah izin usaha diberikan.
Untuk itu, kini saatnya bagi OJK, BI, dan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016 untuk membahas deregulasi perbankan syariah. Perbankan syariah membutuhkan transformasi struktural!
Manajemen Eksekutif (ME) sebagai pelaksana tugas harian KNKS yang dilantik pada 3 Januari 2019 itu menjadi ujung tombak untuk mempercepat, memperluas, dan memajukan perkembangan keuangan syariah. ME harus mampu memanfaatkan potensi besar Indonesia.
Mana gebrakan ME yang sudah berusia setahun itu? Gebrakan itu juga harus bersifat transformatif sehingga tak kehilangan momentum euforia karena Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019 dari Cambridge Institute of Islamic Finance (IIF) mengumumkan bahwa Indonesia menjadi negara peringkat teratas dalam hal keuangan Islam global. Dengan skor 81,93, Indonesia menggeser Malaysia yang sudah mendominasi peringkat ini sejak 2011 (Kompas, 22/11/19).
Kedua, transformasi modal. Meskipun kondisi ekonomi saat ini lesu, rasio kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) BUS masih mampu menebal dari 20,25% menjadi 20,27%. Namun, BUS sudah seharusnya tetap menggenjot modal. Mengapa?
Lantaran modal merupakan penyangga (buffer) yang memberikan perlindungan terhadap aneka potensi risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko tersebut akan memengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan, dan institusi bersangkutan. Modal itu bertujuan untuk memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman, dan pemangku kepentingan (Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000).
Sejalan dengan itu, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum dengan menaikkan modal inti minimum bank dari Rp1 triliun menjadi Rp3 triliun. Aturan yang efektif 17 Maret 2020 itu bertujuan untuk memperkokoh struktur, ketahanan, dan daya saing industri perbankan nasional.
Kini, per Januari 2020, terdapat 96 bank umum kegiatan usaha (BUKU) konvensional. Inilah perinciannya menurut BUKU. BUKU 1 (13 bank) memiliki modal inti hingga kurang dari Rp1 triliun dan BUKU 2 (52 bank) dengan modal inti minimum Rp1 triliun hingga kurang dari Rp5 triliun. BUKU 3 (25 bank) dengan modal inti minimum Rp5 triliun hingga kurang dari Rp30 triliun dan BUKU 4 (6 bank) dengan modal inti di atas Rp30 triliun.
Ditambah 14 BUS yang meliputi BUKU 1 syariah (4 BUS), BUKU 2 syariah (9 BUS), dan BUKU 3 syariah (1 BUS). Jadi, jumlah BUKU konvensional dan BUKU syariah mencapai 110 bank.
Akibatnya, ada 13 BUKU 1, sebagian dari 52 BUKU 2 dan 4 BUKU 1 syariah serta sebagian dari 9 BUKU 2 syariah akan terkena aturan baru itu mengenai kenaikan modal inti dari Rp1 triliun menjadi Rp3 triliun. Kewajiban itu dapat dipenuhi secara bertahap selama tiga tahun dengan perincian, modal inti akan menjadi Rp1 triliun, Rp2 triliun, dan Rp3 triliun masing-masing pada 31 Desember 2020, 2021, dan 2022.
Khusus BPD dapat memenuhi kewajiban itu paling lambat 31 Desember 2024. Bank yang tidak mampu menambah modal inti akan turun kelas menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).
Ketiga, tentu aturan modal inti minimum tersebut membuat beban perbankan syariah makin berat, plus sengatan COVID-19 yang begitu tajam. Untunglah, OJK memberikan kesempatan kepada debitur untuk mengajukan restrukturisasi kredit atau pembiayaan. Aturan itu, yang efektif 16 Maret 2020 hingga 31 Maret 2021, tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Aturan itu ditujukan kepada debitur yang terdampak COVID-19 dengan plafon pembiayaan Rp10 miliar. BUS wajib selektif dalam menetapkan restrukturisasi pembiayaan supaya tak menjadi bumerang.
Mengapa? Karena, ketika restrukturisasi pembiayaan tak dilakukan dengan baik oleh debitur, BUS akan menghadapi potensi risiko kenaikan kredit bermasalah (non performing financing/NPF). Kini NPF bruto tampak memburuk, dari 3,39% per Januari 2019 menjadi 3,46% per Januari 2020. Sekalipun masih di bawah ambang batas 5%, perbankan syariah wajib pasang kuda-kuda!
Keempat, transformasi berupa insentif. Selain insentif dari regulator berupa kemudahan bisnis perbankan syariah, diperlukan pula insentif fiskal dari pemerintah. Insentif fiskal itu bisa berupa insentif pajak, terutama bagi UUS BPD yang nantinya akan bergabung menjadi satu.
Kelima, transformasi pemanfaatan insfrastruktur. Sebagaimana saran Moody’s, perlu peningkatan pemanfaatan infrastruktur induk perusahaan seperti kantor cabang oleh BUS dan UUS. Namun, sesungguhnya bukan hanya itu.
Pemanfaatan infrastruktur berupa jaringan bisnis bisa lebih diprioritaskan, seperti ATM, mobile banking, phone banking, SMS banking, dan internet banking. Hal itu bermanfaat untuk memperluas jangkauan layanan dan menekan biaya operasional yang berarti mendongkrak tingkat efisiensi.
Kerja sama jaringan itu dapat didudukkan dalam perjanjian tingkat layanan atau service level agreement (SLA) antara induk perusahaan dan BUS. Induk perusahaan dapat dianggap sebagai penyedia layanan, sedangkan BUS sebagai klien. Kerja sama yang cantik!
Keenam, transformasi digitalisasi perbankan syariah. Ketika sudah mampu, BUS dapat mengembangkan sendiri aneka produk berbasis teknologi. Itu mendesak untuk dilaksanakan jika tak mau terlindas derasnya disrupsi teknologi, seperti lahirnya penyelenggara teknologi finansial (tekfin) yang sudah mencuil pangsa pasar perbankan. Atau, BUS menggandeng tekfin dengan mesra.
Ketujuh, transformasi penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Pastilah bank sudah melaksanakan GCG, yang meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Ingat, GCG harus dijabarkan kemudian dijalankan.
Dengan aneka jurus transformasi demikian, perbankan syariah amat diharapkan lebih sigap dalam bersaing! Bukan mimpi! (*)
Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, pengamat perbankan dan mantan Assistant Vice President BNI