Oleh Ida Bagus Kade Perdana
PERBANKAN Nasional kini dibayangi oleh pusaran resesi ekonomi. Kendatipun demikian diyakini bahwa perbankan nasional dewasa ini sudah cukup kuat dan solid serta sudah lebih sempurna keberadaannya dibandingkan era Pakto 88. Namun, dengan jumlah bank yang masih cukup banyak perlu juga diwaspadai tidak tertutup kemungkinannya ada bank yang dalam kesulitan sehingga berpotensi menjadi bank gagal. Utamanya bank-bank kecil buku I dan buku II karena cenderung pembiayaannya lebih dominan di sektor UMKM yang paling terdampak resesi saat ini, berbeda dengan pada waktu krismon 1998 bahkan UMKM keluar sebagai penyelamat perekonomian. Tetapi, perlu diwaspadai, menurut info telah ada tiga bank umum yang sudah minta bantuan dan info ini harus dikelola dengan baik agar jangan sampai berkembang menjadi isu yang negatif dan tidak kondusif yang bisa mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.
Diyakini perbankan nasional saat ini sudah lebih tertata baik memiliki daya tahan dalam menghadapi pusaran resesi ekonomi, dibandingkan kondisi ekonomi saat krisis melanda perekonomian di waktu waktu yang lalu. Apalagi Pemerintah dengan dukungan anggaran stimulus fiskal yang telah dipersiapkan anggaran penanganan wabah Covid-19 mencapai jumlah Rp695 triliun, adanya Komite Stabilitas Sistem Keauangan (KSSK) merupakan menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara dibidang perekonomian dengan koordinator merangkap anggota Menteri Keuangan dan dibentuknya Komite Penanganan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Penanganan Covid-19.
Sedangkan BI sebagai lembaga makroprudensial, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan telah menginjeksi likuiditas ke perbankan telah mencapai Rp667,6 triliun hingga 9 Oktober 2020. Dalam bentuk penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp496,8 triliun, sehingga posisi Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) pada September 2020 sebesar 31,23% membuat terjaga rata-rata suku bunga PUAB overnight berada dilevel 3,29% relatif rendah dibandingkan masa krismon 1998 mencapai rata rata 60% pertahun. Masalahnya, sekarang sepertinya perbankan terjaga likuiditasnya bahkan cenderung berlebihan namun kesulitan dalam menyalurkan pinjaman dalam situasi resesi ekonomi, dengan melakukan kebijakan mengerem penyaluran pinjaman dengan menerapkan prinsip kehati-hatian yang sangat ketat.
Untuk menjaga keberadaan NPL nya tidak semakin memburuk, sekaligus menjaga risiko likuiditas, risiko operasional dan risiko kredit semestinya para bankir harus terjun kelapangan mencari dan menemukan melakukan pendekatan serta pembinaan untuk merealisasikan potensi potensi usaha yang masih mungkin dibiayai dengan kredit sehingga terjadi pergerakan ekonomi dan pendapatan bank maupun NPL lebih terjaga sehat. Sedangkan OJK sebagai lembaga mikro prudensial yang bertanggung jawab dalam bidang pengawasan sistem keuangan sepertinya juga sudah mengadakan perbaikan dan penyempurnaan dalam bidang tugasnya. Terkait sempat adanya isu bahwa fungsi pengawasan yang menjadi tugas dan tanggung jawab OJK sepertinya belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan.
Sehingga terhembus rumor mau dikembalikan ke sistem yang lama diserahkan kepada BI dengan meniadakan OJK. Menurut hemat kami, sebaiknya keberadaan OJK dan BI agar dibiarkan seperti apa adanya sekarang ibaratnya jangan lumbungnya yang dibakar namun perlu dilakukan penyempurnaan dibidang manajemen dan leadership daripada OJK dan BI itu sendiri. Sehingga BI dan OJK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga makroprudensial dan mikroprudensial, berharap kedepan kinerjanya bisa semakin positif dan kondusif serta efektif dan mampu melaksanakan deteksi dini guna mencegah dampak Covid-19 yang menimbulkan resesi merembet ke sektor perbankan yang tentunya akan bisa merusak sistem keuangan nasional.
Sekaligus juga dengan memperluas kewenangan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) besutan kelahiran dalam masa krisis 1998 yang hanya berfungsi meminimalisasi kerugian negara jika ada bank yang mengalami kegagalan. Dengan Undang Undang Nomor 2 tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2020 kewenangan yang diberikan kepada LPS adalah dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank yang belum berstatus gagal. Terdengar ada tiga bank yang memerlukan bantuan disaat pandemi dan jadi setiap bank yang memerlukan bantuan pemerintah dan BI seyogyanya disyaratkan bantuan akan diberikan bila bank-bank yang menghadapi kesulitan likuiditas mau di merger.
Dalam upaya mengurangi jumlah bank nasional yang dikatakan overdosis sekaligus mendorong supaya keberadaan berorientasi pada kualitas bank bukan pada banyaknya jumlah bank dengan memperkuat daya saingnya dan mampu memberikan kontribusi yang signifikan kedepan secara berkelanjutan demi terjaga dan terapresiasinya sistem keuangan nasional. Mengingat diberitakan saat ini, Indonesia tercatat berada diperingkat pertama sebagai negara dengan jumlah bank terbanyak di Asia Tenggara. Dengan keberadaan jumlah bank-bank nasional dipandang kebanyakan tersebut dimana dalam puluhan tahun belakangan ini, apalagi semenjak keberadaan OJK di tahun 2011 kontribusi perbankan nasional terhadap pertumbuhan ekonomi masih jauh dari yang diharapkan pemerintah.
Sudah barang tentu pemerintah tidak mau kecolongan untuk yang ketiga kalinya mengenal permasalahan yang dihadapi perbankan nasional disaat krisis moneter Asia tahun 1998 dan krisis keuangan dunia di tahun 2008 yang bersumber dari Amerika Serikat. Saat ini bencana covid-19 sedang melanda menciptakan krisis ekonomi di negara kita yang tak kalah bahayanya dan berat dampaknya yang juga berpotensi bisa menghantam perbankan yang bisa menghancurkan sektor keuangan nasional. Apalagi sekarang ini di tahun 2020 dengan adanya pandemi Covid-19. Dengan demikian perekonomian nasional sepertinya sudah tidak bisa menghindar dari jeratan resesi ekonomi menjadikan 50 negara yang sudah terpapar resesi.
Resesi ekonomi yang melanda dunia ini sebagai pertanda perekonomian global sedang lagi bermasalah dalam ancaman depresi ekonomi yang harus diantisipasi dengan seksama, agar imbasnya tidak semakin memperparah perekonomian nasional yang menuju resesi ekonomi. Dengan demikian memunculkan tantangan global semakin berat dan membahayakan. Semestinya kemampuan logistik pangan nasional, stabilitas makro, sistem keuangan dan fundamental perekonomian nasional harus dijaga dan diperkuat dalam menghadapi pusaran resesi yang melanda dunia yang berpotensi bisa saja tiba-tiba datangnya mendadak memunculkan depresi ekonomi yang tentu tidak kita kehendaki terjadi.
Dengan fundamental ekonomi, sistem keuangan termasuk perbankan saat ini lebih baik dan lebih siap dalam menghadapi setiap gejolak yang sering datangnya tiba tiba baik dari faktor dalam maupun dari faktor luar dibandingkan masa masa krisis sebelumnya yang pernah melanda perekonomian nasional. Tercatat, rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) perbankan di tanah air kian tebal per akhir 2018 rata rata CAR perbankan secara industri sudah menembus 23,32%. Posisi tersebut terus merangkak naik, hingga per April 2019 lalu CAR menebal ke level 23,47%. Bila dibandingkan dengan negara tetangga di wilayah Asia Tenggara, praktis CAR bank di Indonesia tertinggi.
Ada yang berpendapat semakin tinggi CAR perbankan maka akan semakin baik. Sebab, bank akan punya kapasitas yang lebih besar untuk meminimalisir risiko sekaligus lebih mampu untuk ekspansi. Sementara rasio CAR untuk keseluruhan industri perbankan hingga akhir Juni mencapai 22,55% masih cukup tinggi dari rasio CAR paling minimum yang disyaratkan oleh otoritas sebesar 8%. Namun menurut hemat kami mungkin dalam keadaan terjadi kondisi seperti sekarang ini situasi extra ordinary itu bagus dalam mengantisipasi risiko kemungkinan terjadinya rush. Namun dalam keadaan normal mengelola CAR yang tinggi akan menjadi cerminan fungsi intermediasi tidak berjalan dengan baik.
Sehingga, menjadi beban dan hilangnya peluang untuk mendapatkan keuntungan dalam upaya meningkatkan pendapatan untuk meraih laba yang lebih baik dan kontribusi perbankan menjadi rendah dalam penyaluran kredit dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Dikutip dari Infobanknews, tingkat kesehatan bank nasional masih kuat di mata regulator dunia. Berdasarkan data OJK Mei 2020, CAR perbankan sebesar 22,16% sementara rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK terpantau pada level 123,2% dan 26,2% jauh diatas threshold masing masing sebesar 50% dan 10%. Liquidity Coverage Ratio (LCR) bahkan diatas 150%.
Namun demikian bahkan berada diperingkat pertama sebagai negara dengan jumlah bank terbanyak di Asia Tenggara. Lebih lanjut Kartika Wirjoatmodjo yang juga mantan dirut Bank Mandiri mengutarakan, menciptakan persaingan tidak seimbang dalam kompetisi perebutan dana pihak ketiga (DPK). Kendatipun dengan jumlah bank yang masih kebanyakan dalam pasca krismon, kontribusi perbankan nasional terhadap pertumbuhan ekonomi cenderung masih belum seperti yang diharapkan. Padahal, kondisi perbankan dimasa sekarang jauh lebih baik dan sudah tertata lebih rapi dibandingkan di era Pakto 88.
Bank Indonesia sudah menjadi lembaga yang independen bahkan telah dipisahkan antara lembaga makroprudensial menjadi tanggung jawab Bank Indonesia, sedangkan bidang pengawasan menjadi tanggung jawab lembaga mikroprudensial Otoritas Jasa Keuangan dan sudah ada Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) bahkan perbankan diwajibkan memiliki direktur kepatuhan dan para bankir dilakukan sertifikasi diberbagai disiplin yang terkait dengan bisnis perbankan.Dengan adanya Covid-19 dan memasuki resesi ekonomi kinerja perbankan nasional tumbuh sangat rendah dimana kredit dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dari Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan OJK pada tanggal 28 Agustus 2020 menunjukkan bahwa kredit hanya tumbuh 1,16% secara tahunan, sedangkan DPK tumbuh lebih subur 7,84% per Juni 2020.
Menggambarkan bahwa permintaan kredit kian sunyi senyap atau justru perbankan menutup keran kredit dilakukan azas selektivitas yang sangat ketat dengan menerapkan prinsip kehati-hatian yang sangat tinggi dengan fokus melihat dan menitikberatkan kontinuitas dari cash flow bisnis calon debitur. Meskipun likuiditas mulai mencair yang dikabarkan BI telah menggelontorkan dana kisaran Rp666 triliun. Mencermati kondisi tersebut mengindikasikan aktivitas perbankan bekerja secara tidak normal dan tidak sehat akibat dari lemahnya pergerakan perekonomian akan menjadikan perbankan menjadi kanibal. Apalagi para debiturnya tidak mampu melaksanakan kewajibannya, mencerminkan bank tidak punya pendapatan cenderung merugi bila berlangsung lama maka permodalan bank tergerus menjadikan pertumbuhan bank menjurus tidak sehat lama kelamaan bank bisa bangkrut kalau tidak ada pergerakan perekonomian.
Dengan demikian, diperlukan agar keduanya dijalankan secara paralel kesehatan tetap menjadi prioritas namun juga ekonomi harus bergerak dan diupayakan bisa kembali berjalan normal. Dalam situasi extra ordinary dan perekonomian dilanda resesi menjadi Bankir itu tidaklah mudah, haruslah mempunyai kemampuan dan pendidikan yang tepat sebagai calon bankir dan merupakan suatu profesi yang berbekal pada pengetahuan khusus dibidang perbankan yang terdidik dan terlatih dari awal secara khusus dan terus dididik serta diberikan pelatihan kendatipun sudah bekerja di bank. Untuk meningkatkan kadar bankirnya dan profesionalitasnya sebagai bankir tidak diragukan dan intgeritasnya mumpuni agar memiliki keunggulan bersaing secara berkelanjutan, bonafide, dan bisa memuaskan para stakeholdernya.
Pihak manajemen Bank biasanya untuk karyawan baru diberikan pelatihan secara intensif dibidang perbankan dan etika perbankan. Agar mereka memiliki kemampuan, wawasan tentang bisnis perbankan dan diberikan pendidikan yang tepat untuk setiap posisi yang dibutuhkan, mengingat tanggung jawabnya dalam menjaga kepercayaan masyarakat agar supaya mampu mengelola bank dengan professional dengan mengedepankan prinsip kehati hatian dan GCG agar mampu menghadapi situasi yang sulit dan banknya terus bisa eksis going concern. Karena itu pulalah para karyawan bank mendapat imbalan gaji yang cukup menggiurkan dengan jaminan hari tua yang menjanjikan.
Dengan demikian, kendatipun wabah Covid-19 disimpulkan dari uraian diatas sepertinya dampak yang lebih berat dan membahayakan yang ditimbulkannya berupa krisis kesehatan dan menciptakan resesi ekonomi mendunia. Dimana Indonesia dengan semangat kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan kabinet Indonesia maju, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta BI dan OJK yang sudah mumpuni dalam menghadapi krisis ekonomi maupun keuangan yang tentu tidak mau kecolongan lagi. Maupun para stakeholder lainnya telah berusaha secara maksimal mengantisipasi dan mengusahakan agar krisis ekonomi tidak menimpa Indonesia namun mungkin hanya berhasil menekan minus pertumbuhan ekonomi nasional tidak tumbuh membengkak kontraksi negatif dalam jumlah yang cenderung kecil, ini juga merupakan prestasi besar Indonesia dalam mengatasi covid dan dampak yang ditimbulkannya.
Juga berkat kesiapan dan kesigapan gelontoran stimulus fiskal yang telah dianggarkan Pemerintah dan kebijakan moneter Bank Indonesia yang menggelontorkan likuiditas mencapai Rp667,6 triliun serta dengan dukungan LPS dan OJK yang telah diperluas dan diperkuat kewenangan yang juga berpengalaman mumpuni dalam menangani krisis. Kendatipun akan terjadi bank yang bermasalah akan segera diselamatkan dengan cara di merger atau akuisisi sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga jumlah bank akan berkurang dengan tidak menimbulkan gejolak di sistem keuangan nasional. Dengan dengan bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB), inflasi dan suku bunga acuan yang rendah dan likuiditas perbankan yang lebih dari cukup dan CAR yang jauh diatas ketentuan.
Maka diyakini cenderung tidak akan terjadi rush diperbankan nasional akibat resesi ekonomi ini karena kondisi dan penataan sistem perbankan jauh lebih baik dibandingkan pada masa Pakto 88 dan krisis krisis sebelumnya. Apalagi pemerintah menempuh kebijakan jalan pararel focus pada kesehatan dengan disiplin protocol kesehatan dan vaksinasi sudah mulai akan segera dilaksanakan dan ekonomi disegala bidang mulai dibuka termasuk pariwisata yang paling terdampak dengan mengupayakan agar tidak terjadi depresi ekonomi. Dipihak lain berharap ketahanan pangan dengan memperkuat logistik dan menjaga kecukupan pangan dengan menjaga para petani terus bisa berproduksi dan hentikan ketergantungan pada pasokan dari luar atau tidak melakukan atau mengurangi impor pangan, dengan mendorong ekspor maka diyakini ke depan ekonomi Indonesia akan bangkit tumbuh berkembang maju meraih goldilocks.
*) Penulis adalah Ketua BANI Bali Nusra, Wakil Ketua Umum Kadinda Prov. Bali Bidang Fiskal Moneter dan Mantan Dirut PT. Bank Sinar Jreeeng (sekarang PT. Bank Mandiri Taspen/Bank Mantap).