Kedua, edukasi dan komunikasi intensif kepada nasabah. Produk dan layanan yang canggih dan muktahir harus didukung dengan edukasi dan komunikasi yang prima juga. Hal ini merupakan kunci sehingga produk dan layanan yang ditawarkan dapat digunakan sekaligus menghasilkan customer experience yang baik.
Kendati demikian, hal itu umumnya menjadi momok mengingat kecepatan perkembangan teknologi tidak berbanding lurus dengan kecepatan penerimaan masyarakat dalam mengadopsinya. Adanya kesenjangan (gap) teknologi dan daya serapnya kepada masyarakat merupakan pekerjaan tambahan bagi bank untuk mempersiapkan produk dan layanan yang mudah dimengerti dan mudah digunakan (user friendly).
Sebagai contoh, ketika layanan transportasi sudah dalam bentuk jaringan (daring), baik sepeda motor maupun mobil, para pengemudi maupun pengguna jasa relatif dapat dengan mudah menguasai aplikasinya sehingga tak heran pertumbuhan bisnis transportasi daring naik secara signifikan dalam waktu yang pendek.
Selain dari aplikasi yang user friendly, peran media sosial dan alat komunikasi digital lainnya perlu dioptimalkan, yang disesuaikan dengan segmen yang dijadikan target market (pasar sasaran). Tentunya tingkat literasi digital dari struktur demografi masyarakat baik desa maupun kota atau masyarakat usia muda dan usia tua akan berbeda.
Oleh sebab itu, bank perlu menyesuaikan upaya-upaya literasi digital sehingga efektif meningkatkan penggunaan produk dan jasa yang ditawarkan. Selain itu, bank harus pandai-pandai dalam mengoptimalkan sekaligus merespons langkah-langkah strategis yang ditempuh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengomunikasikan program-program digital economy atau pengembangan smart city karena tentunya hal ini mendorong penggunaan produk dan layanan keuangan yang berbasis digital. Layanan publik yang “memaksa” masyarakat memanfaatkan layanan digital merupakan kesempatan bagi bank untuk turut mengambil peran sekaligus memasarkan produk dan layanannya. (Bersambung)