Poin Penting
- Pemulihan ekonomi 2026 diperkirakan lambat akibat turunnya daya beli—terutama pada kelas menengah–atas dan kerentanan kelas menengah–bawah.
- Mayoritas pelaku usaha masih wait and see, dengan hanya 39 persen yang siap berinvestasi. Pergeseran fokus APBN ke pertahanan dan MBG
- Pertumbuhan kredit—khususnya di sektor padat karya—terus melemah, sehingga peningkatan demand menjadi kunci.
Jakarta – Struktur permintaan domestik diperkirakan masih menghadapi tekanan pada 2026, terutama akibat penurunan daya beli, melemahnya sektor padat karya, stagnasi konsumsi rumah tangga, serta pergeseran prioritas APBN yang mengurangi ruang bagi belanja daerah serta proyek infrastruktur.
Kondisi ini membuat pemulihan ekonomi dinilai belum akan bergerak signifikan tanpa dorongan yang lebih kuat kepada masyarakat berpendapatan menengah-bawah dan sektor usaha berskala padat karya.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi dan Perbankan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Aviliani, dalam Press Conference CEO Forum Economic Outlook 2026: Navigating Slower Demand for credits in a changing Economy, yang diselenggarakan Perbanas, di Ballroom Menara BRILiaN.
Dirinya pun menjelaskan bahwa sumber pelemahan berasal dari dua sisi, yakni pendapatan masyarakat dan ekspansi dunia usaha. Dari sisi rumah tangga, terjadi pergeseran signifikan terhadap daya beli rumah tangga Indonesia hingga periode Juli 2025.
Berdasarkan laporan Office of Chief Economist (OCE) Perbanas, struktur pendapatan masyarakat terbagi dalam tiga kelompok utama, antara lain kelas menengah-atas (30 persen terkaya: 83,8 juta orang), kelas menengah-bawah (middle 40 persen: 108,5 juta orang) dan kelas bawah (30 persen termiskin: 87,0 juta orang).
Laporan tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan daya beli yang cukup nyata pada 30 persen kelompok masyarakat terkaya. Padahal kelompok ini, meski hanya mewakili sebagian kecil penduduk, namun memegang 53 persen konsumsi nasional dan 58 persen total pendapatan masyarakat. Kelompok ini mengalami tekanan pendapatan hingga 3,3 persen, disertai penurunan konsumsi sebesar 0,1 persen.
Pelemahan di segmen ini dinilai krusial, karena kelas terkaya atau menengah–atas merupakan motor penggerak konsumsi barang dan jasa bernilai menengah hingga premium, termasuk pendidikan, kesehatan, pariwisata, dan pembiayaan konsumtif.
“Kekuatan konsumsi nasional sejauh ini ditopang oleh kelompok menengah–atas yang menguasai belanja nasional dan relatif tahan terhadap inflasi maupun suku bunga. Namun ketahanan ini tidak cukup untuk mengimbangi tekanan pada kelompok menengah-bawah yang jumlahnya besar dan menyumbang porsi permintaan signifikan di sektor padat karya,” kata Aviliani.
Di sisi lain, kelompok 40 persen masyarakat menengah–bawah menunjukkan pertumbuhan pendapatan dan konsumsi yang positif—masing-masing 14,3 persen dan 3,2 persen. Namun, Perbanas menilai kelompok ini justru sebagai segmen paling rentan, karena banyak pekerja formal terdampak PHK dan beralih menjadi pekerja informal yang tidak lagi memperoleh perlindungan berupa subsidi atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) Pemerintah.
Kondisi ini membuat daya beli mereka tidak stabil, dan sangat sensitif terhadap perubahan harga maupun penurunan pendapatan. Segmen middle atau menengah–bawah merupakan konsumen utama pada sektor ritel, makanan-minuman, fesyen, dan layanan domestik. Kerentanan kelompok ini menjadi risiko yang dapat menghambat pemulihan konsumsi pada 2026.
“Kelas menengah-bawah justru paling rentan karena banyak pekerja formal yang terkena PHK lalu bergeser ke informal, dan mereka tidak mendapat BLT atau subsidi. Ini yang paling berisiko memicu tekanan sosial. Sementara kelas bawah relatif stabil karena menerima banyak bantuan pemerintah,” ujar Aviliani.
Baca juga: Meski Likuiditas Longgar, Perbanas Proyeksikan Kredit 2026 Hanya Tumbuh Single Digit
Pelaku Usaha Masih Wait and See
Dari sisi dunia usaha, Aviliani memaparkan bahwa keyakinan pelaku usaha masih tertahan dan memilih langkah konservatif. Survei KADIN–Perbanas menunjukkan bahwa meski sebanyak lebih dari 70 persen pelaku usaha menilai kebijakan pro-growth berdampak positif bagi ekonomi nasional, namun hanya 39 persen perusahaan yang menyatakan siap melakukan investasi atau ekspansi baru. Mayoritas masih wait and see akibat ketidakpastian kondisi pasar.
“Hasil survei kami menunjukkan hanya 28 persen pelaku usaha yang menilai kebijakan pemerintah dan BI efektif bagi ekonomi nasional. Yang siap berinvestasi tahun depan hanya 39 persen, dan yang merasakan dampak langsung dari penurunan suku bunga baru 36 persen. Artinya kepercayaan dunia usaha masih lemah,” ujarnya.
Selain tekanan permintaan, Perbanas menilai pergeseran prioritas anggaran pemerintah turut membentuk lanskap ekonomi yang lebih menantang. Dalam APBN terbaru, porsi besar yang dulu dialokasikan untuk PUPR dan proyek infrastruktur kini bergeser ke sektor pertahanan, Polri, dan Makan Bergizi Gratis (MBG). Pada saat yang sama, transfer ke daerah justru turun sehingga ruang fiskal pemerintah daerah menyempit.
“Sebelumnya, banyak proyek infrastruktur yang diserap BUMN dan swasta. Sekarang porsi terbesar berada di pertahanan dan MBG. Dengan transfer daerah menurun, ekonomi daerah yang bergantung pada APBD otomatis terdampak,” kata Aviliani.
Dual Track Economy
Perbanas juga mencatat bahwa sektor padat karya (manufaktur, pertanian, mamin, konstruksi, dan perdagangan) mengalami pertumbuhan kredit yang jauh lebih rendah dibanding sektor padat modal. Padahal sektor padat karya menyerap 75 persen tenaga kerja dan menopang pendapatan masyarakat kelas menengah–bawah, serta lebih dari 60 persen porsi kredit dan PDB.
Baca juga: Ekonom INDEF Ungkap Strategi Hadapi Ketidakpastian Global
Sedangkan, sektor padat modal (pertambangan, migas, dan infokom) yang menyerap hanya kurang lebih 2 persen tenaga kerja dan 14 persen porsi kredit dan pertumbuhan (baik PDB dan kredit) relatif tinggi. Hal ini sejalan dengan gencarnya program hilirisasi pemerintah. Kondisi ini pun membuat pemulihan pendapatan masyarakat dan konsumsi menjadi lebih lambat.
“Ke depan, pemerintah perlu menggerakkan dua jalur atau dual track economy, di mana hilirisasi sektor padat modal mesti dibarengi juga dengan hilirisasi sektor padat karya. Hilirisasi padat modal yang memberi nilai tambah, serta pertanian dan pangan (padat karya) untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Permintaan hanya akan pulih jika pendapatan masyarakat naik dan sektor padat karya bergerak,” tegas Aviliani.










