Jakarta–Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI menyetujui postur sementara Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016. Salah satunya, menyepakati defisit dalam RAPBN-P 2016 menjadi Rp298,7 triliun atau turun Rp16,6 triliun dibandingkan yang diusulkan sebelumnya.
“Saya minta agar penurunan defisit ini dipakai untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp500 miliar,” ujar Wakil Ketua Banggar Said Abdullah, dalam keterangannya, di Jakarta, Rabu, 22 Juni 2016.
Rencananya, usulan RAPBN-P ini akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU. Namun penetapan postur RAPBNP 2016 secara resmi, masih menunggu hasil rapat Panja yang membahas belanja pemerintah pusat maupun transfer ke daerah dan dana desa.
Said menjelaskan, postur APBN-P sementara yang disepakati tersebut merupakan hasil rapat Panitia Kerja (Panja) Banggar yang membahas asumsi makro, penerimaan dan defisit anggaran. Dalam rapat Panja tersebut, dia meminta pemerintah untuk menghitung ulang defisit anggaran agar bisa lebih rendah dari usulan semula.
Penghitungan ulang defisit anggaran tersebut dimungkinkan karena asumsi harga Indonesia Crude Price (ICP) telah disepakati dari usulan awal US$35 per barel menjadi US$40 per barel. Ini artinya, ada potensi tambahan penerimaan migas yang pada akhirnya menambal anggaran negara yang cukup signifikan.
Dirinya optimis pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% akan tercapai jika melihat kecendrungan harga minyak mentah dan estimasi pemerintah dari penerimaan tax amnesty sebesar Rp165 triliun. Namun jika pengampunan pajak ini gagal maka dapat mengganggu laju pertumbuhan ekonomi.
Sebab, kata dia, dana yang digadang-gadang masuk dalam jumlah besar itu direncanakan dapat menjadi pelumas sejumlah proyek prioritas seperti infrastruktur. “Indonesia akan menanggung dampak negetif yang lebih besar jika tax amnesty gagal,” tukasnya.
Kegagalan tax amnesty diprediksi akan menimbulkan shortfall realisasi penerimaan target pajak yang semakin besar. “Yang ditakutan Indonesia akan mengalami defisit anggaran yang besar,” paparnya.
Untuk itu, dirinya meminta perubahan defisit anggaran tersebut tidak boleh mengganggu belanja prioritas, bahkan apabila dimungkinkan ada tambahan belanja untuk kebutuhan mendesak yang terbagi rata untuk infrastruktur daerah maupun pusat.
“Pemerintah harus fokus pada dua hal kebutuhan mendesak dan kebutuhan prioritas. Intinya tidak boleh keluar dari RKP,” ucap Said.
Dalam postur tersebut asumsi makro yang disepakati adalah pertumbuhan ekonomi 5,2%, tingkat inflasi 4%, suku bunga SPN 3 bulan 5,5%, nilai tukar rupiah Rp13.500 per US$, harga ICP minyak US$40 per barel, lifting minyak 820 ribu barel per hari dan lifting gas 1.150 ribu barel per hari setara minyak.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, dari postur asumsi tersebut maka target pendapatan negara disetujui sebesar Rp1.786,2 triliun atau ada selisih Rp51,7 triliun dari usulan RAPBN-P sebesar Rp1.734,5 triliun.
Dari pendapatan negara itu, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.539,2 triliun atau naik Rp12,1 triliun dari usulan Rp1.527,1 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp245,1 triliun atau meningkat Rp39,7 triliun dari usulan Rp205,4 triliun.
“Kenaikan target perpajakan didukung oleh proyeksi kenaikan PPh migas sebesar Rp12,1 triliun, atau dari Rp24,3 triliun menjadi Rp36,3 triliun, karena adanya kenaikan asumsi makro harga ICP minyak, lifting migas dan cost recovery,” ujar Bambang.
Kemudian, Bambang menambahkan untuk belanja negara disepakati sebesar Rp2.082,9 triliun atau ada selisih Rp35,1 triliun dari pagu awal Rp2.047,8 triliun.
Dari belanja negara, postur belanja pemerintah ditetapkan sebesar Rp1.309,6 triliun atau menurun Rp20,1 triliun dari pagu awal Rp1.289,5 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp773,3 triliun atau meningkat Rp15 triliun dari pagu awal Rp758,3 triliun.
Dengan perubahan belanja tersebut, maka anggaran pendidikan ditetapkan sebesar Rp416,6 triliun atau naik Rp6,8 triliun dari pagu awal Rp409,7 triliun dan anggaran kesehatan diputuskan sebanyak Rp104,1 triliun atau naik Rp1,6 triliun dari pagu awal Rp102,6 triliun.
Berdasarkan perubahan pada postur pendapatan dan belanja negara itu, maka defisit anggaran menjadi Rp296,7 triliun atau 2,35% terhadap PDB, mengalami penurunan dari usulan sebelumnya Rp313,3 triliun atau 2,48% terhadap PDB.
“Penurunan ini bagus, artinya kita tidak perlu menambah utang. Sehingga kalau pun ada kekurangan itu kita biayai dengan Saldo Anggaran Lebih (SAL),” jelasnya. (*)
Editor: Paulus Yoga