Jakarta – Penugasan impor bawang putih kepada Bulog masih belum dibatalkan. Padahal, harga bawang putih di sejumlah daerah maupun rata-rata secara nasional telah beranjak turun sekitar dua minggu lalu. Penugasan impor bawang putih kepada Perum Bulog tanpa disertai kewajiban tanam, dinilai akan menganggu keseimbangan harga.
“Kalau cuma satu begini, bisa lebih, bisa kurang. Tapi kalau kita biarkan itu pada mekanisme pasar. Dia akan mencari keseimbangan sendiri. Sekarang siapa yang mau impor berlebihan, rugi sendiri,” ujar Mantan Menteri Pertanian Anton Apriantono, dalam keterangannya di Jakarta, seperti dikutip, Rabu, 29 Mei 2019.
Dirinya mengungkapkan, jika impor dibebaskan diberi kepada importir mana pun, serta diberi kewajiban tanam 5 persen dari total impor, maka pemerintah akan mendapat dua keuntungan. Keuntungan yang dimaksud adalah harga bisa seimbang dan produksi bawang putih dalam negeri akan ikut meningkat.
Sementara berdasarkan pantauan pasar, harga bawang putih telah turun dibandingkan awal Mei. Harga rata-rata nasional berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional per 29 Mei mencapai Rp41.150 per kilogram.
Bahkan, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut, di Jawa Timur harga bawang putih telah menyentuh angka Rp19.000 per kilogram. Dirinya menegaskan, bahwa pengendalian harga bawang putih tercapai karena stoknya terpenuhi. Amran juga memastikan stabilitas harga dan stok bawang putih hingga Lebaran dipastikan aman.
“Sudah banyak (digelontorkan bawang putih), yang jelas harganya sudah Rp19 ribu dan itu sangat stabil. Di Jawa Timur kami cek langsung dengan Gubernur Ibu Kofifah karena banyak stok. Jangan turun lagi sudah terlalu rendah itu,” jelas Amran beberapa waktu lalu.
Di kesempatan berbeda, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santoso juga menyoroti persoalan ini. Selain menyalahi aturan, tanpa wajib tanam sebesar 5 persen dari kuota impor yang ditentukan pemerintah, ada risiko lain yang mungkin timbul. Bukan tidak mungkin, swasta menggugat pemerintah, jika merasa tidak diperlakukan adil.
“Kalau ada potensi seperti itu ya ada kemungkinan pemerintah menghadapi gugatan dari pihak swasta,” katanya.
Importir dari perusahaan swasta pun berpotensi menuntut pemerintah karena perbedaan perlakuan tersebut. Pasalnya, kewajiban tanam dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 berlaku baik bagi perusahaan importir milik swasta maupun pemerintah. Jika Kementan hendak memberikan kebebasan wajib tanam bagi Bulog sebagai lembaga milik pemerintah, Kementan harus menerbitkan peraturan baru.
“Itu harus diterbitkan Permentan yang baru karena Permentan yang lama kan nggak ada adendum. Yang importir entah itu importir swasta atau pemerintah tetap harus memenuhi wajib tanam 5 persen itu,” tegasnya.
Dia menambahkan, untuk melakukan impor bawang putih, Bulog juga harus meningkatkan kapasitas penampungannya. Apalagi, Bulog menghadapi masalah beras busuk akibat bertumpuknya stok di gudang. “Usulan kami, Bulog harus memiliki kapasitas juga untuk bahan-bahan pangan lain yang berpontensi bergejolak,” ucapnya.
Menurut anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasludi, Perum Bulog seharusnya memiliki inisiatif untuk menyerap secara maksimal hasil pertanian dalam negeri, khususnya pada saat panen. Hal itu harus dilakukan sebagai langkah antisipasi anjloknya harga komoditas pangan ditingkat petani. Pasalnya, ketika harga di petani anjlok, maka pedagang menjadi pihak yang diuntungkan
“Negara tidak boleh kalah dengan pedagang. Bulog harusnya melakukan intervensi dengan membeli langsung dengan harga yang standar, sehingga pedagang pun akan ikut membeli dengan harga yang bagus,” tutupnya. (*)