Jakarta – Krisis karena pandemi COVID-19 menjadi pelajaran berharga bagi industri perbankan nasional. Menurut para bankir, tantangannya melebihi krisis moneter 1997-1998.
Batara Sianturi, Chief Executive Officer (CEO), Citibank Indonesia menyebutkan, saat ini dalam krisis karena pandemi, tidak ada satu pihak pun yang punya pengalaman untuk dijadikan acuan.
“Memang kalau kita lihat, kita memasuki ranah yang mungkin tidak ada benchmark-nya,” katanya, dalam webminar “Leading in Unprecedented Time: Tantangan Setelah Relaksasi Restrukturisasi Kredit Berakhir”, yang diselenggarakan Infobank, Selasa, 7 September 2021.
Bagi bank-bank saat ini, pencadangan menjadi kata kunci untuk bisa bertahan, dalam konteks menjaga risiko kredit. Melemahnya perekonomian membuat kemampuan debitur menurun. Hal inilah yang harus diantisipasi bank-bank agar tak terperosok dalam persoalan kredit macet, terlebih setelah pandemi dan masa restrukturisasi berakhir nanti.
Kemampuan masing-masing bank dalam membentuk cadangan jelas berbeda satu sama lain. Batara bilang, untuk pencadangan, bank-bank besar punya kemampuan yang lebih kuat ketimbang bank-bank di bawahnya, karena faktor permodalan dan likuditas.
“Untuk pencadangan, kita percaya bank-bank besar akan lebih agresif karena faktor capital dan liquidity. Karena itu, kita lihat bagaimana di triwulan ketiga, kemampuan bank-bank membentuk cadangan,” jelas bankir, yang juga Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia (Perbina) ini.
Di lain sisi, pencadangan yang cukup juga akan menjadi salah satu sumber tenaga bagi bank-bank untuk bisa mengarungi 2022 dengan baik. Dalam kondisi yang masih dalam ketidakpastian, manajemen risiko harus benar-benar ke depankan.
“Jika mampu membuat pencadangan yang cukup, bank-bank akan lebih siap untuk 2022. Tapi, tantangan ke depan, adalah tetap soal manajemen risiko,” pungkas Batara. (*) Ari Nugroho