Jakarta–DBS Group Research memperkirakan kendati kenaikan suku bunga The Fed masih belum pasti dan diperkirakan diundur awal tahun depan, penguatan Dolar Paman Sam justru masih akan terus berlanjut.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan kebijakan tiga negara besar dunia yaitu Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Di saat Amerika tengah memperketat kebijakan ekonominya dengan menghentikan quantitative easing dan menaikkan suku bunga Fed Fund Rate, Jepang dan Eropa justru tengah menggelontorkan uangnya dengan kebijakan quantitative easing. Dengan membanjirnya pasokan Yen Jepang (JPY) dan Euro artinya dua mata uang ini nilainya akan melemah terhadap USD.
“Kalau Dollar Amerika terus menguat, Euro dan JPY melemah, secara keseluruhan mata uang Asia di tengah-tengah,” kata Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi di Jakarta, 27 Oktober 2015.
Meski diperkirakan masih akan tertekan, nilai tukar Rupiah menurutnya tidak serta merta mengindikasikan terjadinya krisis. Pelemahan Rupiah saat ini masih jauh jika dibandingkan dengan pelemahan yang terjadi pada krisis 1997-1998 lalu. Saat krisis Maret 1997-1998 nilai tukar Rupiah terhadap Dolar melemah 50%, sementara per Juli 2015 nilai tukar Rupiah hanya melemah 15%.
“Sekarang stabil, kita melemah karena sesuai dengan Yen dan Euro yang melemah, kalau krisis akan melemah 50% konsisten,”tambahnya.
Sementara hari ini di Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia tercatat Rupiah di level Rp13.626 per USD atau menguat jika dibanding hari sebelumnya yang tercatat Rp13.643. (*) Ria Martati