Pembangunan Yang Sangat Agresif
Pada Oktober 2014, Joko Widodo (Jokowi) memproklamirkan program pembangunan 1.000 km jalan tol, lebih dari 3.000 km perkeretaapian, 24 pelabuhan laut, pembangkit listrik 35.000 megawatt, dalam lima tahun. Proyek-proyek ini diperkirakan menghabiskan biaya hingga Rp4.800 triliun rupiah (US$ 355 miliar.
Upaya Jokowi untuk meningkatkan belanja pemerintah membuahkan hasil, namun disatu sisi, perusahaan negara yang menanggung sebagian besar beban (biaya) tersebut. Menurut catatan Kementrian Pekerjaan Umum, hanya sekitar seperlima dari investasi infrastruktur saja yang dilakukan oleh sektor swasta.
Pengamat ekonomi, Faisal Basri mengatakan minimnya kontrol pada pengerjaan proyek-proyek tersebut, membuat ini menjadi tidak terkendali.
Waskira Karya, misalnya, alih-alih membatasi diri pada pekerjaan konstruksi, Waskita telah mengumpulkan lebih dari selusin konsesi jalan tol. Akibatnya, utang perusahaan per September telah mencapai Rp65,7 triliun, naik dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Analis pun mempertanyakan, apakah proyek ini nantinya akan mampu untuk menghasilkan uang yang dibutuhkan untuk membayar kembali pinjaman yang terus berkembang.
Waskita, ujar Wataru, hanyalah satu contoh perusahaan negara yang telah mengambil risiko lebih besar selama era Jokowi. Utang di tujuh BUMN terkait infrastruktur – empat di konstruksi, dua di semen dan satu operator jalan tol – mencapai sekitar Rp200 triliun per September, atau tiga kali lipat dari jumlah yang terlihat tiga tahun lalu. Pada tahun lalu saja, jumlahnya melonjak hingga 60%.
Di awal masa pengangkatannya, Jokowi memangkas subsidi bensin dan membebaskan puluhan miliar dolar dalam anggaran negara. Ini berarti pemerintah bisa mendanai akuisisi lahan dan proyek penghargaan yang akan menarik investor.
Pada 2015, menurut data Kementrian Keuangan, belanja pemerintah untuk infrastruktur melonjak 67% menjadi Rp256,3 triliun, sementara subsidi turun lebih dari setengahnya.
Akhir-akhir ini, bagaimanapun, kekurangan pajak telah menekan anggaran. Pemerintah juga merasa perlu untuk memperkuat disiplin fiskal untuk mengatasi pengetatan moneter di AS dan Eropa.
Jokowi sendiri, lanjut Wataru, telah mengundang investor swasta untuk mendanai sekitar 60% dari 247 proyek prioritas di negara tersebut. Termasuk pembangkit listrik tenaga batubara senilai US$ 4 miliar di Jawa Tengah, di mana konstruksi telah dimulai setelah bertahun-tahun penundaan pembebasan lahan. Tapi, kesepakatan dengan investor luar negeri jauh lebih lambat dari perkiraan Jokowi.
Pemerintah menyematkan harapannya pada kemitraan publik-swasta, di mana perusahaan swasta masuk ke dalam kontrak jangka panjang untuk proyek publik. Namun banyak pemerintah daerah, yang bertanggung jawab untuk menerbitkan izin dan lisensi, tidak memiliki pengalaman dan pendanaan yang mereka perlukan untuk merancang proyek.
” Hal itu tidak mudah dilakukan karena ada begitu banyak pemangku kepentingan yang terlibat,” kata Edwin Syahruzad, Direktur pembiayaan dan investasi Sarana Multi Infrastruktur.
Pemerintah daerah, ujarnya, cukup akrab dengan pengadaan tradisional.
“Tapi jika Anda berbicara tentang memilih investor baru, di bawah rezim demokratis saat ini, seseorang dapat dituduh melakukan korupsi, ini sangat sensitif” ungkap Edwin lagi.
Selanjutnya : Pemerintah : Langkah Akrobati