Pemulihan Ekonomi Global Masih Disertai Risiko

Pemulihan Ekonomi Global Masih Disertai Risiko

Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia

KEPALA Ekonom Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Pierre-Olivier Gourinchas, dalam rilis blog IMF berjudul ”Ekonomi Global Dekati Soft Landing, tapi Risiko Tetap Ada”, dengan baik mengawali pernyataannya melalui narasi indah: awan mulai berpisah (30/1/2024).

Menurut Gourinchas, ekonomi global memulai penurunan terakhir menuju soft landing (pendaratan lunak) dengan laju inflasi terus menurun dan pertumbuhan ekonomi tetap bertahan. Tetapi, laju ekspansi tetap lambat, dan turbulensi mungkin ada di depan. Aktivitas ekonomi global terbukti tangguh pada paruh kedua 2023 lalu, karena faktor permintaan dan penawaran mendukung ekonomi utama.

Di sisi permintaan, pengeluaran swasta dan pemerintah yang lebih kuat menopang aktivitas ekonomi terjaga, meskipun kebijakan moneter masih cenderung ketat. Di sisi penawaran, peningkatan partisipasi angkatan kerja, perbaikan rantai pasokan global serta harga energi dan komoditas yang melandai (menuju level normal), cukup efektif mendorong pemulihan ekonomi dunia, meskipun ketidakpastian geopolitik baru kini mulai membayangi.

Ketahanan ekonomi dunia ini akan terbawa ke tahun ini, bahkan terindikasi membaik. Pertumbuhan ekonomi global tetap stabil dan diperkirakan berkisar 3,1%, peningkatan sebesar 0,2% dari proyeksi IMF pada Oktober lalu. Perkiraan pertumbuhan ekonomi global terus membaik hingga 3,2% tahun depan.

Catatan Gourinchas itu merupakan substansi laporan IMF terbaru berjudul “World Economic Outlook (WEO)” edisi 30 Januari 2024. IMF menjelaskan, potensi pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang resilien di Amerika Serikat (AS). Selain itu, pertumbuhan ekonomi beberapa negara berkembang dan negara maju mendorong perekonomian dunia, termasuk dorongan kebijakan fiskal di Tiongkok.

Diperkirakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di AS, di mana kebijakan moneter ketat masih bekerja dan menunggu untuk diturunkan. Estimasi pertumbuhan ekonomi AS untuk 2023 sebesar 3,15% (jauh di atas perkiraan semula yang 2,5%), diperkirakan sedikit melandai ke kisaran 2,1% (2024) dan 1,7% (2025). Pelandaian ekonomi AS sejatinya merupakan normalisasi dari high based effects pascapandemi COVID-19.

Sementara itu, aktivitas ekonomi di kawasan Eropa (tidak termasuk Inggris setelah keluar dari Uni Eropa) di tahun ini diperkirakan sedikit rebound setelah 2023 yang menantang karena harga energi yang tinggi dan kebijakan moneter yang ketat membatasi permintaan. Setelah perkiraan pertumbuhan yang positif sebesar 0,5% di 2023 lalu, untuk 2024 ini diperkirakan tumbuh lebih baik berkisar 0,9% dan untuk 2025 berkisar 1,7%.

Singkat kata, ekonomi zona Euro stabil dan mampu menghindar dari resesi dangkal. Ekonomi terbesarnya, Jerman, kontraksi 0,3% tahun lalu dan terlepas dari resesi teknis ketika ekonomi mengalami stagnasi.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Mentok di 5 Persen, Sinyal RI Tak Bisa jadi Negara Maju?

Untuk 2024 dan 2025, ekonomi Jerman diperkirakan mampu tumbuh solid sebesar 0,5% dan 1,6% secara berturut-turut. Dengan kinerja ini, produk domestik bruto (PDB) Jerman menjadi yang terbesar ketiga – menggeser Jepang ke posisi keempat karena perekonomian negara termaju di Asia ini tetap melemah.

Sementara, ekonomi Prancis diestimasikan tumbuh 0,8% untuk 2023, berlanjut ke 1,0% untuk 2024 dan 1,7% untuk 2025. Ekonomi Italia diestimasikan tumbuh 0,7% untuk 2023, lalu tetap stabil di 0,7% untuk 2024 dan naik ke 1,1% untuk 2025. Terakhir, prognosis ekonomi Spanyol tumbuh kuat 2,4% di 2023, lalu melandai ke 1,5% di 2024 dan 2,1% di 2025.

Untuk Jepang, negara maju di Asia, PDB-nya diestimasikan tumbuh 1,9% untuk 2023, lalu menurun ke 0,9% dan 0,8% masing-masing untuk 2024 dan 2025. Inilah yang menjadi penyebab turunnya peringkat PDB Jepang ke ranking keempat karena tergusur oleh Jerman di ranking ketiga. Sementara, India, negara dengan populasi terbesar di Asia, mampu tumbuh eksotis 6,7% untuk 2023, lalu sedikit melandai ke level 6,5% untuk 2024 dan 2025.

Untuk Tiongkok, ekonominya diprognosiskan tumbuh cukup kuat 5,2% untuk 2023, dan melanjutkan konsolidasi ke level lebih rendah di 4,6% (2024) dan 4,1% (2025). Restorasi sektor properti yang parah menjadi penghambat utama pemulihan ekonomi Tiongkok yang kini terpuruk. Maka, dibutuhkan waktu lebih lama untuk mengembalikan perekonomian negara ini ke level sebelum pandemi COVID-19.

Pergerakan Inflasi

Dalam catatan IMF, inflasi turun lebih cepat dari perkiraan pada beberapa negara, meski masih ada isu terkait pembentukan harga dari sisi pasokan atau penawaran. Maka, masih ada sejumlah hal yang harus diwaspadai, seperti kenaikan harga komoditas akibat tensi geopolitik yang memanas, utamanya ketegangan di Timur Tengah, dan juga fenomena El Nino yang belum kunjung reda.

Inflasi inti juga belum turun ke kisaran sasaran bank sentral di sejumlah negara (pada umumnya 2% untuk negara-negara maju), sehingga mendorong kebijakan moneter ketat (ditandai oleh suku bunga kebijakan yang tinggi) untuk bertahan selama beberapa waktu ke depan (dikenal dengan istilah higher for longer). Divergensi pertumbuhan ekonomi tetap ada karena kecepatan pemulihan yang beragam.

Terlihat Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) telah menaikkan suku bunga acuan ke rekor tertinggi selama satu setengah tahun terakhir, menciptakan kondisi keuangan yang lebih ketat di seluruh wilayah Eropa yang telah membantu mendinginkan inflasi dari puncak 10,6% pada Oktober 2022 menjadi 2,9% pada Desember 2023 lalu.

Secara keseluruhan inflasi global terus mereda, namun tidak termasuk Argentina yang tengah berjuang menurunkan inflasi dari level saat ini 161% (hyper-inflation). Inflasi utama global diperkirakan turun ke 4,9% tahun ini, turun 0,4% dari proyeksi Oktober lalu (sekali lagi tidak termasuk inflasi Argentina).

Inflasi inti, tidak termasuk harga makanan dan energi yang bergejolak, juga cenderung lebih rendah. Untuk negara maju, inflasi utama dan inti rata-rata sekitar 2,6% tahun ini, mendekati target inflasi bank sentral yang 2%. Dengan prospek yang membaik, risiko telah dimoderasi dan seimbang.

Dari sisi positifnya, disinflasi dapat terjadi lebih cepat dari yang diekspektasikan, terutama jika ketatnya pasar tenaga kerja mereda lebih lanjut dan ekspektasi inflasi jangka pendek terus menurun, memungkinkan bank-bank sentral untuk melonggarkan kebijakan moneter lebih cepat (dovish policy).

Hanya saja, belakangan muncul sisi negatif, di mana gangguan baru terhadap distribusi dan pasokan berbagai komoditas global dapat terjadi, menyusul ketegangan geopolitik terkini, terutama di Timur Tengah (Jalur Gaza dan Laut Merah).

Biaya pengiriman minyak dan barang antara Asia dan Eropa telah meningkat tajam, karena serangan kelompok Houthi (yang berasal dari Yaman) di Laut Merah mengubah rute kapal-kapal tanker dan kargo milik AS dan Inggris ke sekitar Afrika. Perubahan rute ini mendorong kenaikan biaya transportasi yang berdampak pada lonjakan harga minyak dunia sehingga berpeluang besar mendongkrak inflasi global.

Inflasi inti bisa terbukti lebih persisten. Harga barang tetap tinggi secara historis relatif terhadap layanan yang secara keseluruhan ini bersifat inflatoir. Perkembangan upah, khususnya di kawasan Euro, di mana upah yang dinegosiasikan masih meningkat, dapat menambah tekanan harga.

Di sini pelaku pasar tampak terlalu optimistis tentang prospek penurunan suku bunga acuan lebih awal. Jika investor menilai kembali pandangan mereka, disadari bahwa suku bunga acuan jangka panjang tetap bertahan di level tinggi, memberikan tekanan baru pada pemerintah untuk menerapkan konsolidasi fiskal yang lebih cepat yang dapat membebani pertumbuhan ekonomi.

Baca juga: Ekonom PermataBank Proyeksi Ekonomi RI 2024 Capai 5,07 Persen, Ini Faktor Pendorongnya

Kebijakan Fiskal

Dengan inflasi surut dan pertumbuhan tetap stabil, sekarang saatnya untuk mengambil stok dan melihat ke depan. Secara analitis, sebagian besar disinflasi baru-baru ini terjadi melalui penurunan harga komoditas dan energi, bukan melalui kontraksi kegiatan ekonomi. Maka, kebijakan moneter akan mengambil peran dan bekerja melalui dua saluran.

Pertama, laju pengetatan kebijakan yang cepat membantu meyakinkan publik dan dunia usaha bahwa inflasi yang tinggi tidak akan dibiarkan bertahan. Ini mencegah ekspektasi inflasi terus meningkat, membantu meredam pertumbuhan upah, dan mengurangi risiko spiral harga upah.

Kedua, sifat pengetatan kebijakan yang luar biasa (extraordinary policy) disinkronkan menurunkan permintaan energi dunia, yang secara langsung mengurangi inflasi utama. Tetapi, ketidakpastian – karena kegentingan di Timur Tengah tadi – tetap ada dan bank-bank sentral menghadapi risiko dua sisi.

Mereka harus menghindari pelonggaran kebijakan prematur yang akan mendiskon kredibilitas kebijakan bank sentral yang dicapai dengan susah payah. Ini lantaran terdapat sektor-sektor ekonomi yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga acuan, seperti konstruksi dan mortgage, yang akan menambah penurunan tajam pada aktivitas pinjaman.

Stance kebijakan moneter yang masih terbilang ketat harus diimbangi dengan kebijakan fiskal yang berperan sebagai penyerap setiap gejolak dan risiko (risks absorber) yang bisa datang secara tiba-tiba. Anggaran jaring pengaman sosial menjadi instrumen penting untuk menopang kerentanan ekonomi dan keuangan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah sehingga tetap memiliki daya beli.

Benar bahwa tantangan terbesar di depan mata adalah mengatasi risiko fiskal yang tinggi ketika aktivitas ekonomi diperkirakan stagnan di saat kebutuhan belanja pemerintah meningkat karena ada perhelatan politik (pemilihan umum presiden) di sejumlah negara. Lebih-lebih beberapa negara – terutama negara-negara berpendapatan rendah – ditengarai masih memiliki rasio utang luar negeri yang besar.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Jawabannya adalah menerapkan konsolidasi fiskal yang stabil melalui tata kelola yang baik dan hati-hati. Ketika kebijakan moneter ketat mulai mereda dan pertumbuhan ekonomi berlanjut, seharusnya menjadi lebih mudah untuk berbuat lebih banyak dari sisi kebijakan fiskal. Indonesia bisa merujuk pada pandangan ini. (*)

Related Posts

News Update

Top News