Pemerintah Egois! Rupiah Loyo, PPN 12 Persen, Plus Biaya Opsen Kendaraan dan Kebocoran Anggaran 70 Persen

Pemerintah Egois! Rupiah Loyo, PPN 12 Persen, Plus Biaya Opsen Kendaraan dan Kebocoran Anggaran 70 Persen

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group

HIDUP makin berat. Awal 2025 semuanya menjadi berat. Harga-harga kian melambung. Rupiah tertekan. Harga kendaraan bermotor kian mahal. Bayangkan! Tahun depan, beli sepeda motor dan mobil tak hanya kena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Tapi, bagi masyarakat di luar Jakarta, kena palak lagi – yang disebut pungutan opsen. Besarnya 66 persen dari biaya pajak kendaraan bermotor. Dua “hook” sekaligus ke “dada” kehidupan masyarakat. Hidup lebih berat, apalagi di tengah rupiah yang juga “ambrol”

Tak hanya konsumen yang terimpit. Industri mobil pun akan terkena dampak. Produksinya akan menurun, karena beban konsumen makin mahal. Nah, karena produksi kendaraan bermotor menurun, maka daya serap tenaga kerja juga akan berkurang. Daya beli makin lemas. Hidup makin berat. Sementara, para pejabat asyik-asyik menghabiskan biaya birokrasi yang tidak produktif dan gemuk birokrasi.

Selain industri kendaraan bermotor dan ikutannya yang terkena dampak langsung, kebijakan ini akan berefek ke yang lainnya. Perusahaan pembiayaan (multifinance) akan drop. Perusahaan asuransi akan kehilangan potensi premi kendaraan bermotor. Pada akhirnya, bank yang selama ini menjadi sumber dana bagi perusahaan pembiayaan juga akan terbatas ekspansinya.               

Menurut Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, kenaikan PPN tak lain untuk tambahan pemasukan kas negara. Namun, menurutnya, kenaikan PPN ini tidak berlaku untuk seluruh barang. Hanya untuk barang-barang tertentu yang tergolong mewah. Pemerintah juga akan memberi kompensasi kepada masyarakat bawah dengan membayar pajak PPN untuk barang kebutuhan pokok, seperti beras, gula, tepung, dan diskon pembayaran listrik masyarakat bawah.

Menurut Menteri Keuangan terbaik pilihan World Bank ini, tarif PPN 12 persen terhitung masih yang paling rendah jika dibandingkan dengan negera-negara G-20. Tidak salah. Namun, seorang ekonom menyebut, kenapa tidak dibandingkan dengan negara-negara ASEAN – dalam hal ini tarif 12 persen merupakan yang tertinggi bersama Filipina. Lebih mengejutkan, Vietnam malah menurunkan tarif dari 10 persen menjadi 8 persen.

Menurut Infobank Institute, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen atau kenaikan sekitar 9,09 persen paling tidak akan menambah pendapatan kas negara sekitar Rp75 triliun-Rp80 triliun. Sementara, untuk hadiah “hiburan” bagi masyarakat bawah berupa subsidi kenaikan PPN dan program diskon listrik serta sembako setidaknya uang yang keluar dari “kocek” pemerintah sekitar Rp25 triliun-Rp30 triliun.

Jadi, dengan kenaikan PPN 12 persen, negara masih akan menerima sekitar Rp50 triliun-Rp55 triliun. Itu skenario mulus dengan pertumbuhan konsumsi yang baik. Akan tetapi, di tengah penurunan daya beli, harapan dapat mengisi kas negara dari PPN akan mendapat tantangan tersendiri. Target bisa meleset.

Baca juga: Waduh! Efek “Maut” Pajak Opsen Kendaraan Bermotor Akan “Menjegal” Industri Pembiayaan

PPN Naik, tapi Kenapa Kebocoran Tetap Ada

Boleh jadi, pemerintah memerlukan tambahan pendapatan untuk belanja negara di 2025 sebagai dampak dari pembelanjaan di tahun-tahun sebelumnya, seperti besarnya pinjaman dan bunga pinjaman. Jadi, pemerintahan Prabowo Subianto sekarang seperti disandera karena besarnya beban utang negara dalam 10 tahun terakhir ini. Jadi, mau tak mau untuk program-program pemerintah perlu tambahan.

Hal yang tak kalah merindingnya adalah utang pemerintah. Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), jumlah utang RI sebesar Rp8.338 triliun. Sementara, utang jatuh tempo tahun 2025 mencapai Rp800,33 triliun, naik dua kali lipat dari tahun ini yang sebesar Rp434,29 triliun. Sedangkan, tahun 2024 ini beban APBN untuk membayar bunga utang Rp434,29 triliun. Jika defisit diperlebar 2,45 persen – 2,82 persen, beban bunga utang bisa tembus Rp600 triliun. Beban bunga utang akan mendaki, karena utang luar negeri juga membesar karena rupiah “longsor”.

Dengan menaikkan PPN menjadi 12 persen, dan menambah pungutan opsen untuk kendaraan bermotor untuk pendapatan daerah, bisa disebut pemerintah itu egois. Pemerintah hendak mengamankan keuangan negara dari tekanan utang dan program-program pemerintah. Sejumlah kementerian juga sedang meminta anggaran. Birokrasi yang gemuk tidak menjamin tanpa kebocoran.

Jika menggunakan pendekatan dari Soemitro Djojohadikusumo, begawan ekonomi Indonesia, di akhir 1980-an, tentang Incremental Capital Output Ratio (ICOR), ekonomi Indonesia itu tidak efisien. Tidak efisiennya ekonomi bisa dilihat dari ICOR yang menurut data yang diolah Biro Riset Infobank mencapai 6,9 di 2023. Pada 2000-2024 ICOR mencapai 5,7. Dari tahun ke tahun ICOR terus mendaki. Artinya, makin tinggi ICOR makin buruk, dan tidak efisien. Bisa juga diterjemahkan telah terjadi “kebocoran”, menurut versi Soemitro.

Jika dibandingkan dengan Singapura yang ICOR-nya 3-4 dan Malaysia dengan ICOR di kisaran 4-5, maka ICOR di Indonesia terbilang lebih tinggi. Nah, jika membandingkan dengan Singapura, atau ideal ICOR pada angka 3-4, maka di Indonesia telah terjadi kebocoran mencapai 70 persen – 72 persen. Ini mengerikan sekali. Tidak efisien, dan bocor ke mana-mana. Sementara, seperti kata seorang ekonom, tidak ada “tangan-tangan” wakil Tuhan yang menghentikan.

Simak penggalan pidato Prabowo Subianto saat pelantikan. ”Kita harus menghadapi kenyataan bahwa masih terlalu banyak kebocoran penyelewengan korupsi di negara kita. Ini adalah yang membahayakan masa depan kita dan masa depan anak-anak kita, cucu-cucu kita,” tegas Prabowo.

Nah, tingkat ICOR sebesar itu jika dikaitkan dengan APBN yang mencapai Rp3.121 triliiun, maka telah terjadi ketidakefisienan atau bisa dibilang kebocoran 70 persen. Maka duit-duit APBN yang mubazir sebesar Rp2.250 triliun. Jika ICOR bisa ditekan, efisiensi ekonomi akan terjadi. Kenyataan inilah yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo-Gibran. Kebocoran besar itulah yang harus ditutup pemerintah dan tentu oleh para menteri. Bahkan, birokrasi yang besar dengan biaya birokrasi yang juga besar.

Baca juga: Inilah Daftar Barang Kena PPN 12 Persen, Pulsa dan Parkir Motor Juga Kena

Apa yang Dapat Dinikmati Masyarakat dengan Kenaikan PPN 12 persen

Jadi, apa yang dapat dinikmati masyarakat ketika PPN menjadi 12 persen plus tambahan beban opsen secara sekaligus di 2025 di tengah rupiah yang tersungkur, sudah menembus Rp16.000-an per dolar Amerika Serikat?

Tapi, pemerintah bergeming. Tetap menerapkan PPN 12 persen mulai Januari 2025 ini. Alasannya, mematuhi undang-undang (UU).

Jelas, beban akan makin bertambah. Hidup makin “sesak napas” saja. Menurut catatan Infobank Institute, alih-alih pemerintah akan mendapat tambahan pemasukan kas negara dengan kenaikan PPN 12 persen ini. Justru yang ada sebaliknya. Di tengah daya beli yang merosot, menaikkan PPN menjadi 12 persen malah akan menimbulkan tekanan bagi pemasukan negara. Logikanya, hanya karena ambisi mengejar kenaikan tarif, konsumsi rumah tangga bisa terdampak, kelas menengah akan lebih banyak berhemat dan lebih banyak mengurangi konsumsi.

Dengan kenaikan tarif PPN ini, tak berlebihan kalau disebut pemerintah arogan dan egois. Hanya demi mengamankan kas negara, pemerintah tega membuat kantong rakyat jebol. Di sinilah tampak “keegoisan” pemerintah, yang hendak mengamankan kantong sendiri dari bencana fiskal akibat sepak terjang utang masa lalu yang naik dua kali dari posisi 2014.

Menurut catatan Infobank Institute, ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5 persenan. Namun, setelah tarif meningkat menjadi 11 persen, terbukti  terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023). Sejumlah ekonom memperkirakan, tahun 2024 akan makin melambat karena konsumsi yang juga “lelet.” 

Boleh jadi, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan. Bahkan, omon-omon tax ratio menjadi 23 persen hanyalah “mimpi basah” belaka pemerintah, karena tax ratio Indonesia baru bergerak pada kisaran 9,76 persen – 10,21 persen (2019-2023). Tahun 2024 tax ratio 10,02 persen, atau turun dari 2023 yang mencapai 10,21 persen. 

Kenaikan PPN 12 persen akan berdampak pada penambahan pengeluran, kenaikan harga-harga, dan tentu akan terjadi pengereman konsumsi masyarakat. Jujur, stimulus yang diberikan pemerintah hanya berjangka pendek, seperti kompensasi pajak untuk beras, gula, tepung, dan minyak yang sebelumnya juga sudah diberikan. Tidak banyak yang baru.

Setidaknya, kenaikan PPN 12 persen plus pajak opsen kendaraan bermotor, dan rontoknya rupiah akan mengancam industri otomotif. Lalu, multifinance, asuransi, dan tentu sektor perbankan akan melambat juga. Tapi, pemerintah yang “egois” tetap menaikkan PPN dengan urusannya sendiri, yaitu fiskal. Walaupun, itu tidak akan banyak membantu karena konsumsi masyarakat yang melambat.

Jujur, pekerjaan pemerintah yang urgent adalah menumbuhkan daya beli, juga menciptakan lapangan kerja. Tapi, jika industri otomotif yang jalannya melambat dampaknya akan merembet ke mana-mana, termasuk akan merontokkan daya beli masyarakat sebagai konsumen. Juga akan terjadi pemangkasan tenaga kerja karena kapasitas produksi yang menurun.

Lain ceritanya jika pemerintah bisa menutup kebocoran anggaran yang mencapai 70 persen ini. Hari-hari makin berat. Bahkan, kata seorang kawan, jangankan manusia, tuyul pun sudah mengeluh. Sekarang, cari duit itu susah. Susah-susah membayar pajak – karena angkanya sudah jauh lebih besar – eh ternyata ekonomi begini-begini saja: tumbuh tak lebih dari lima koma. Faktanya, pendapatan negara naik tapi ekonomi tumbuh stagnan. Hasilnya, PHK di mana-mana dan daya beli “ambruk”. Bahkan, target pertumbuhan 8 persen hanyalah “omon omon“ semata. Nasib. (*)

Related Posts

News Update

Top News