“Namun, penegakan hukum yang ada tidak mendukung sebagai infrastruktur untuk jaminan pelaksanaan keterbukaan nasabah yang diwajibkan oleh instrumen perjanjian AEOI. Masyarakat justru akan memiliki ketakutan untuk menyimpan dananya di bank, yang akan berdampak besar terhadap ekonomi,” jelas Mantan Staf Ahli Madya Kepresidenan itu.
Pengamat jebolan LL.M Harvard Law School itu beranggapan, rencana pemerintah untuk melakukan seluruh transaksi secara nontunai mungkin harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum langkah pembukaan data nasabah ini dilakukan. Terlebih lagi, stigma bank sebagai riba semakin menguat dengan nuansa politis yang berkembang saat ini.
Baca juga: Menkeu Terbitkan PMK Petunjuk Akses Informasi Keuangan
Seperti diketahui, waktu pelaksanaan Standar Pelaporan Umum ini memerlukan perencanaan lebih lanjut, serta harus bersifat lintas sektor dengan ditunjang oleh penegakan hukum yang transparan. Pemberlakuan pembukaan data nasabah tidak bisa bersifat serta merta, bahkan pemberlakuan tax amnesty saja memberikan waktu adaptasi yang cukup bagi seluruh warga negara.
Tindakan yang gegabah tanpa memperkuat pondasi infrastruktur lintas sektor dikhawatirkan dapat mengakibatkan penurunan ekonomi sehubungan dengan rencana pembukaan data nasabah ini. (*)
Editor: Paulus Yoga
Jakarta – Menjelang akhir 2024, PT Hyundai Motors Indonesia resmi merilis new Tucson di Indonesia. Sport Utility Vehicle (SUV)… Read More
Jakarta - Donald Trump telah kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada Pemilu yang… Read More
Jakarta - Romy Wijayanto, Direktur Keuangan & Strategi Bank DKI menerima penghargaan sebagai Most Popular… Read More
Jakarta – Bank Indonesia (BI) mencatat penyaluran kredit perbankan pada Oktober 2024 tercatat sebesar Rp7.576,8 triliun, atau… Read More
Jakarta - Kementerian Koperasi (Kemenkop) menegaskan peran strategis koperasi, khususnya Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), dalam… Read More
Jakarta – Optimisme para pelaku usaha di Inggris terhadap ekonomi di Tanah Air masih solid.… Read More