Pembiayaan Hijau, Masa Depan Perbankan Indonesia

Pembiayaan Hijau, Masa Depan Perbankan Indonesia

Jakarta – Perbankan Indonesia memasuki babak baru. Adanya tantangan seperti perubahan iklim, siklus alam dan permasalahan lingkungan hidup dan sosial, telah mendorong bank untuk melakukan transformasi praktik bisnisnya berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (suistanability development) dengan menerapkan konsep ESG atau Enviromental (lingkungan), Social (sosial) and Governance (tata kelola).

Pemerintah pun telah memulai langkah untuk mewujudkan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Misalnya, menyiapkan sederet strategi untuk penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) dan menyiapkan peta transisi energi menuju Net Zero Emission pada 2060. Di industri keuangan, regulator pun gencar menerbitkan green bond atau green sukuk dengan proyek ramah lingkungan.

Adapun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meluncurkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) sebagai upaya untuk mengakselerasi penerapan ESG bagi sektor jasa keuangan, serta Taksonomi Hijau Edisi 1.0 sebagai acuan mempercepat program pembiayaan dengan prinsip berkelanjutan di sektor jasa keuangan.

Sementara, Bank Indonesia (BI) mendukung pembiayaan hijau melalui instrumen kebijakan pelonggaran uang muka untuk kendaraan bermotor, loan to value (LtV) untuk perumahan yang sustainable, serta memberikan pelonggaran likuiditas kepada bank yang menyalurkan kredit atau pembiayaan ke sektor hijau dan berkelanjutan.

Langkah ini semata-mata dilakukan pemerintah dan regulator untuk mencapai ekonomi hijau yang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Terlebih, data Green Economy Indeks 2022 menunjukkan ekonomi hijau menjadi solusi ketahanan bencana dan mengurangi emisi hingga 68 persen tahun 2045. Secara tak langsung juga menciptakan 1,8 juta lapangan kerja di 2030 dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050. Ekonomi hijau juga jadi kunci utama untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.

Baca juga: Bank Mandiri Bidik Investasi Pembiayaan Hijau di AIPF 2023

Sebagai katalis pembangun ekonomi, bank memiliki peran penting untuk mendorong ekonomi hijau, serta berperan aktif dengan mengintegrasikan ESG ke dalam hitungan bisnis dan keputusan pembiayaan, yakni memperhatikan pembiayaan terhadap aspek-aspek pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial dan tata kelola yang baik. Sehingga, bank tidak hanya mencari untung, tapi juga memberi makmur.

“Komitmen dari lembaga keuangan untuk mendukung pembiayaan hijau menjadi sangat krusial. Bank juga diharapkan terus menyeimbangkan antara motif untuk mengejar keuntungan jangka pendek dengan sustainable finance,” kata Juda Agung, Deputi Gubernur Bank Indonesia, beberapa waktu lalu.

Kini, bank-bank tanah air sedang berproses agar penyaluran kreditnya “menjadi hijau”. Pembiayaan hijau dapat berupa investasi atau kredit yang khusus diberikan untuk mendanai proyek pembangunan jangka panjang dan ramah lingkungan.

Hingga akhir 2022, OJK mencatat green bond yang terbit di pasar domestik mencapai Rp15,4 triliun. Sementara itu, platform SDG Indonesia One dalam kerangka blended finance telah menghimpun komitmen pendanaan maupun fasilitas lain senilai US$3,26 miliar per Maret 2023, yang melibatkan partisipasi sejumlah institusi perbankan. Bank juga telah menyalurkan pembiayaan hijau Rp728,9 triliun, senilai Rp1,28 triliun disalurkan untuk pembiayaan kendaraan listrik, dan senilai Rp28,9 triliun untuk membiayai proyek terkait EBT.

Tren pembiayaan hijau perbankan Indonesia pun terus meningkat. Hal ini tecermin pada kinerja keuangan hijau bank-bank milik negara atau Himbara. BRI, misalnya. Pada kuartal III 2023, BRI membukukan penyaluran kredit berkelanjutan atau kredit ESG sebesar Rp750,91 triliun atau tumbuh 11,89% secara tahunan. Porsi kredit ESG ini mencapai 66,1% dari total portofolio kredit bank, dimana BRI telah menyalurkan kredit sebesar Rp1.250,72 triliun hingga akhir September 2023 atau tumbuh 12,53% secara tahunan.

Saat ini, ada 15 lembaga keuangan yang tergabung dalam Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Inisiatif ini merupakan bentuk komitmen nyata dari industri keuangan untuk mendukung pembiayaan hijau. Bank-bank yang termasuk dalam keanggotaan asosiasi ini, yaitu BRI, BNI, BCA, Bank BJB, CIMB Niaga, OCBC NISP Indonesia, Bank Syariah Indonesia, dan HSBC Indonesia.

Pembiayaan Hijau di HSBC Indonesia

Ilustrasi: HSBC Indonesia menyalurkan pembiayaan hijau/istimewa

HSBC Indonesia menaruh perhatian besar terhadap pembiayaan hijau. Bank yang sudah ada di tanah air sejak 1884 ini berambisi menyediakan pembiayaan berkelanjutan dan investasi sebesar USD 750 miliar sampai USD 1 triliun hingga tahun 2030 untuk mendukung nasabah beralih ke model bisnis yang lebih berkelanjutan. Komitmen atas dukungannya ini sudah mulai terealisasi.

Baca juga: Citi Indonesia Kucurkan Pembiayaan Berkelanjutan ke Coca-Cola, Segini Nilainya

Menurut catatan Infobank, HSBC Indonesia telah menyalurkan kredit hijau ke berbagai proyek hijau di Indonesia. Pertama, HSBC Indonesia mendukung Semen Indonesia Group dalam mengembangkan kerangka keberlanjutan yang merupakan persyaratan penting untuk memperoleh pinjaman terkait keberlanjutan, serta berpartisipasi memberikan Syndicated Sustainability Linked Loan kepada Semen Indonesia.

Kedua, HSBC Indonesia memberikan pinjaman ramah lingkungan sebesar USD 67 juta kepada PT Bumi Menara Internusa, eksportir akuakultur dan makanan laut berkelanjutan, dengan perjanjian partisipasi risiko dengan ADB.

Ketiga, HSBC Indonesia menyalurkan pinjaman berjangka hijau sebesar USD 20 juta kepada PT Indo-Rama Synthetics, Tbk, yang akan digunakan untuk mendukung upaya Indo-Rama mengurangi konsumsi energi melalui instalasi mesin-mesin baru dengan teknologi dan penggunaan energi yang lebih efisien pada perluasan pabrik benang pintal, serta meningkatkan pencapaian ESG dari Indorama Group secara keseluruhan.

Selain itu, pada April 2023 lalu, HSBC Indonesia telah menyalurkan kredit hijau berjangka sebesar US$10,3 juta atau sekitar Rp154,6 miliar dengan jangka waktu 6 tahun kepada PT Euroasiatic Heat and Power Systems (Euroasiatic) untuk proyek pembangkit listrik turbin gas dengan sistem pembangkitan bersama berbahan bakar gas alam.

Lalu pada Juni 2023, HSBC Indonesia menyalurkan pinjaman berjangka (Term Loan) sebesar Rp350 miliar, termasuk di dalamnya pinjaman hijau berjangka (Green Term Loan) senilai Rp50 miliar kepada PT Blue Bird, Tbk. dan Anak Perusahaan (BIRD) yang akan digunakan untuk mengakuisisi kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV).

HSBC Indonesia juga dimandatkan sebagai Joint Bookrunner dan Agen Penjual Internasional pada IPO Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Indonesia senilai US$608 juta di Bursa Efek Indonesia (BEI). “Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan portfolio sustainable finance HSBC Indonesia menunjukkan performa yang menggembirakan,” kata Riko Tasmaya, Managing Director dan Head of Wholesale Banking HSBC Indonesia, kepada Infobank, beberapa waktu lalu.

Sementara, Francois de Maricourt, Presiden Direktur HSBC Indonesia, mengatakan bahwa HSBC Indonesia telah terlibat dalam mengembangkan keuangan keberlanjutan melalui kemitraan strategis antara pemerintah dengan swasta. “Kami berperan aktif dalam inisiatif strategis seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) melalui mekanisma Just Energy Transition Partnership (JETP). Kolaborasi ini bertujuan untuk mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon dan berkelanjutan di Indonesia,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Karena dedikasinya ini, HSBC Indonesia telah diakui sebagai The Best International Bank in Indonesia dari Asia Money selama dua tahun berturut-turut sejak tahun 2022. Pengakuan ini tidak lepas dari komitmen kuat HSBC Indonesia mendukung nasabahnya dalam transisi menuju net zero, serta berbagai kemampuan dan inovasi yang dihadirkan.

Tantangan “Menjadi Hijau”

Kendati begitu, tak mudah untuk “menjadi hijau”. Masih ada tumpukan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya, masih minimnya kesadaran penerapan ESG di Indonesia. Padahal ESG adalah tonggak awal tercapainya ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Berdasarkan survey Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) tahun 2021, indeks ESG Indonesia berada pada peringkat ke 36 dari 47 pasar modal di dunia dan 40% perusahaan Indonesia masih belum sadar terhadap pentingnya penerapan ESG.

Ryan Kiryanto, Ekonom Senior menyebut ada lima tantangan implementasi ESG di Indonesia, diantaranya tidak mempunyai keahlian, belum siap dan terus menunda, tidak mempunyai resources yang cukup, biaya konsultan ESG cukup mahal, serta ESG sangat kompleks dan tidak tahu untuk memulai darimana. Di perbankan, implementasi ESG juga terhambat oleh arus informasi, spekulasi dan peraturan yang berubah-ubah.

“Bank telah lama peduli dengan keberlanjutan dengan cara yang sebagian besar terfragmentasi. Namun, karena arus informasi dan spekulasi yang membingungkan tentang perubahan peraturan di masa depan, sulit bagi sebagian besar institusi untuk mengembangkan strategi komprehensif untuk faktor-faktor ESG,” ujarnya, kepada Infobank, beberapa waktu lalu.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hendri Saparini, Ekonom Senior dan pendiri Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, bulan lalu, bahwa Indonesia masih serba “mendadak hijau”, belum tahu yang mana sektor prioritas dan mana yang tidak. “Yang penting harus hijau karena ada desakan untuk menekan emisi. Akhirnya, transisi ke ekonomi hijau masih dilihat sebagai beban kewajiban, bukan peluang,” katanya.

Baca juga: Dukung Ekonomi Hijau, Penyaluran Kredit Berkelanjutan BCA Naik 20,9%

Oleh sebab itu, Wahyudin Rahman, Dosen dan Praktisi Manajemen Risiko menilai pemerintah wajib mendaur ulang aksi “menjadi hijau” sehingga lebih progresif dan bukan sekedar jargon. Utamanya, memperkuat komitmen dan kebijakan. “Perlunya komitmen tinggi dari top dan bottom level, hulu ke hilir dan semua sektor dalam menjalankan kebijakan hijau. Negara dapat memaksimalkan BUMN sebagai role model dan akselerator aksi ekonomi hijau,” katanya, beberapa waktu lalu.

Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih mengikat. Climate Action Tracker (CAT) menyebut kebijakan pemerintah Indonesia saat ini belum cukup untuk mencapai target emisi. “Harus ada peningkatan pengawasan dan sanksi. Hampir di setiap sektor, ketidakberhasilan dikarenakan lemahnya pengawasan, yakni konsistensi eksekusi dan laporan emisi. Pemerintah harus bertindak tegas dengan pemberian sanksi bertahap bagi para pelaku yang tidak komitmen,” tambah Wahyudin.

Asa mewujudkan ekonomi hijau dan berkelanjutan perlu kerjasama semua pihak – untuk mencapainya pun seperti sedang bermain orkestra. Dibutuhkan harmonisasi antar pemainnya, supaya menghasilkan alunan musik yang merdu nan indah. Dan juga, masih ada peluang besar perbankan menjadi hijau. Meskipun sulit, tapi jika tekun pasti terwujud. Karena, sebaik-baiknya pekerjaan, adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Dan sesuatu yang mulia, pasti bisa berjalan dalam jangka waktu yang lama. (*) Ayu Utami

Related Posts

News Update

Top News