Pembentukan Lembaga Penjamin Polis: Perbaiki GCG Asuransi Agar LPP Tak Jadi Tempat “Cuci Piring”

Pembentukan Lembaga Penjamin Polis: Perbaiki GCG Asuransi Agar LPP Tak Jadi Tempat “Cuci Piring”

Jakarta – Persoalan Wanaartha Life masih belum beres, tapi perusahaan asuransi jiwa ini justru ditinggal sejumlah direksi dan komisaris yang mengundurkan diri, padahal seharusnya mereka bertanggung jawab. Gagal bayar juga terjadi di Kresna Life, yang berbuntut pada sanksi pembatasan kegiatan usaha (PKU) yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setali tiga uang, nasabah Bumiputera terus menuntut klaimnya yang tak kunjung dibayarkan. Belum lagi sengkarut unit link yang ramai beberapa waktu lalu.

Belajar dari kasus gagal bayar yang menggerus kepercayaan nasabah terhadap perasuransian itu, pembentukan Lembaga Penjamin Polis (LPP) makin urgen. Wacana ini sebenarnya sudah diamanatkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, baru sekarang diupayakan dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).

Bila RUU tersebut disahkan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan memiliki mandat baru, yakni sebagai penjamin polis asuransi. LPS akan diberi kewenangan untuk menetapkan dan memungut premi penjaminan dari perusahaan asuransi hingga mengatur ketentuan pembayaran penjaminan polis.

Sejumlah pihak, termasuk OJK, berharap agar pembentukan lembaga ini dipercepat. Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan, pembentukan LPP memang membutuhkan waktu. Namun, kehadiran UU dan dukungan pemerintah bisa mempercepat hal tersebut. “Di dalam RUU P2SK yang sekarang menjadi inisiatif DPR, kita mendorong adanya pasal mengenai percepatan kewajiban pembentukan LPP,” jelas Ogi.

Hal senada juga disuarakan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI). Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, juga menyoroti profil risiko yang berbeda-beda di antara perusahaan asuransi jiwa. Maka itu, penjaminan polis ini harus bisa mengedepankan prinsip keadilan.

“Iuran itu harus ditentukan terhadap company. Kalau company itu punya risiko yang tinggi ya silakan saja, tapi iurannya juga tinggi. Sementara, yang berhati-hati dalam mengelola perusahaan mestinya lebih murah dong, jadi ada fairness-nya,” ujar Togar kepada media, bulan lalu.

Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), HSM Widodo, juga menyatakan dukungan terhadap pembentukan LPP. “Walaupun saat ini asuransi umum belum memiliki nilai polis seperti yang umumnya di asuransi jiwa, secara tidak langsung cadangan premi yang belum merupakan pendapatan (yang digunakan untuk membayar klaim di masa de pan) perlu dilindungi. Keberadaan LPP memberikan mitigasi terhadap risiko tidak dibayarnya klaim di masa depan,” ujar Widodo kepada Infobank bulan lalu.

Asuransi umum dan jiwa memiliki perbedaan, salah satunya dari sisi jangka waktu perlindungan. Jika asuransi umum biasanya bersifat jangka pendek, berbeda dengan asuransi jiwa yang bersifat jangka panjang. Karena itu, nantinya LPP juga perlu mengatur secara komprehensif serta mengalkulasikan uang pertanggungan terhadap risiko-risiko dari masing-masing perusahaan asuransi, umum maupun jiwa.

Terlepas dari itu, yang terpenting setiap perusahaan asuransi harus memperkuat manajemen risiko dan tata kelola (GCG) agar terhidar dari persoalan. Di samping itu, dari sisi regulator juga perlu memperkuat pengawasan, khususnya dalam pengelolaan perusahaan dan strategi investasi. Hal itu diperlukan untuk memastikan bahwa industri asuransi terbebas dari pemain-pemain yang tidak sehat, supaya mereka tidak melepas tanggung jawabnya kepada LPP. (*) Bagus Kasanjanu

Baca laporan selengkapnya di Majalah Infobank No. 536, edisi Desember 2022. Sirkulasi Infobank: 0822-2170-5125, 0856-8461-544, 0857-7088-7188. Majalah Infobank versi digital: www.infobankstore.com

Related Posts

News Update

Top News