Jakarta — Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah terhadap Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah sebesar 50 basis poin (bps) dinilai tidak terlalu signifikan untuk memacu pertumbuhan kredit perbankan.
Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Adrian Panggabean memprediksi masih lambatnya penyaluran kredit pada tahun depan akan menyebabkan penurunan GWM hingga 50 basis poin tersebut tidak seefektif seperti yang diharapkan.
“Gini loh, kalau misalnya likuiditas kita nambah. Terus kemudian duit itu kita tidak bisa pakai untuk menyalurkan pinjaman, kan duit itu kan nganggur. Kan jadi sia-sia ya. Daripada duit nganggur, ya mendingan disimpan di FASBI (Fasilitas Simpanan Bank Indonesia), bunganya 4 setengah persen. Orang keuangan akan selalu berpikir opportunity cost,” tuturnya di Jakarta, Selasa (36/11).
Selain itu, pemangkasan GWM pun dinilainya tidak akan lantas berimbas dengan penurunan suku bunga kredit. Hal ini karena masih ada deposito dengan suku bunga lama yang belum jatuh tempo. Ini membuat penyesuaian suku bunga kredit harus mengikuti suku bunga pendanaan. Begitu pula dari sisi pinjaman, terutama untuk kredit-kredit dengan program suku bunga tetap.
“Kalau kita kasih pinjaman kan ada tenornya. Misalnya, KPR. KPR kan pinjamannya kan ada yang fixed selama tiga tahun, ada fixed selama lima tahun. Jadi saat dia turun suku bunga, KPR nya belum turun juga karena memang udah di-fixed kan,” terang Adrian.
Ia menjelaskan, bahwa terdapat kantong-kantong kredit yang memiliki suku bunga belum bisa langsung turun karena butuh waktu 3 sampai 6 bulan untuk repricing dari sisi liability, yang kemudian diikuti oleh sisi aset.
“Karena tidak bisa liability di-repricing turun, langsung aset direpricing turun juga, itu tidak bisa. Karena kan ada kantong-kantongnya. Dan ini memang fenomena bisnis,” tutupnya. (*) Steven