Jakarta – Pangsa mobile payment di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan mencapai Rp549 triliun. Pesatnya perkembangan financial technology (fintech) menjadi faktor pendorong utama pertumbuhan mobile payment yang mengarah kepada terbentuknya masyarakat non-cash (cashless society).
Menurut data Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) per Desember 2017, dari 235 perusahaan fintech aktif, 39%-nya bergerak di subsektor sistem pembayaran (payment). Institusi perbankan adalah institusi paling aktif dalam melakukan kolaborasi dengan fintech. Menurut Aftech, 63,90% pelaku fintech telah terkoneksi ke sistem perbankan. Sebanyak 77% di antaranya melakukan kolaborasi langsung dengan perbankan.
Berdasarkan statistik Bank Indonesia (BI), volume transaksi fintech juga terus mengalami peningkatan. Tahun 2017, nilai transaksi fintech telah mencapai US$18,65 miliar (Rp251,78 triliun) naik 24,17% dari tahun 2016 sebesar US$15,02 miliar (Rp202,77 triliun).
Sayangnya, ekosistem fintech di Indonesia belum terbentuk secara komprehensif. Padahal ekosistem akan menjadi faktor penentu tumbuh-kembangnya fintech. Di Amerika Serikat dan China, misalnya, cashless society sudah terbentuk karena ekosistem fintech sudah sangat siap.
Salah satu tantangan terberat dalam membentuk ekosistem fintech adalah kebiasaan penggunaan uang cash. Selain karena sudah menjadi habit masyarakat selama ini, belum lengkapnya infrastruktur pendukung juga turut mempengaruhi.
“Misalnya kita mau makan atau beli sesuatu dengan mobile payment system, belum tentu bisa dilakukan karena di warung atau merchant tersebut belum tersedia perangkat pendukung. Belum lagi kalau kita mau top up saldo,” ujar Eko B. Supriyanto, Direktur Biro Riset Infobank, kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018.
Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab industri perbankan sebagai pelaku utama dalam transaksi keuangan. Seluruh stakeholder, baik pemerintah, regulator, institusi swasta, maupun masyarakat diharapkan memiliki interest yang sama.
Fanny Verona, Managing Director DAM Corp. pun mengakui pentingnya ekosistem yang integral dan kolaborasi nyata dalam mendorong pengaplikasian fintech di tanah air.
“Untuk mengintegrasikan teknologi baru dalam masyarakat memang perlu dimulai dari membentuk ekosistem yang menyeluruh. Ketika ekosistemnya telah siap, para pemain fintech pun memiliki ruang yang lebih bebas untuk bergerak,” jelasnya.
Oleh sebab itu lanjut Fanny, DAM sebagai perusahaan fintech-enabler ingin membangun dan mematangkan ekosistemnya terlebih dahulu. Untuk mewujudkannya, kolaborasi dengan seluruh stakeholders menjadi elemen kunci.
“Kami percaya kolaborasi berperan penting dalam mewujudkan ekonomi digital yang lebih transparan dan menyeluruh,” tambahnya.
Yang menjadi tantangan ke depan adalah, bagaimana agar ekosistem fintech selain mampu menciptakan transparansi, juga tetap mengedepankan prinsip-prinsip perlindungan konsumen. Sebab, kemajuan tehnologi biasanya selalu diikuti dengan peningkatan kualitas kejahatan melalui cyber (cybercrime).
“Terbentuknya cashless society akan membuka era baru yang penuh transparansi. Yang selama ini ada celah untuk melakukan korupsi, ke depan tidak akan ada lagi,” ujar Eko B. Supriyanto.
“Security system dalam transaksi keuangan menjadi titik pangkal munculnya trust dari konsumen kepada institusi keuangan maupun perangkat sistem pendukungnya. Tanpa trust akan sulit membentuk cashless society,” tutupnya.
Dalam sesi diskusi, DAM Corp. juga menambahkan mengenai pemanfaatan teknologi blockchain bagi sistem keuangan yang aman. Blockchain memungkinkan sistem menjadi tidak mudah diretas melalui integritas data yang mustahil diubah tanpa merusak keseluruhan data. Sehingga, blockchain ini mampu menjadi solusi bagi keamanan data transaksi penggunanya.
Sebagai tambahan, DAM Corp. merupakan perusahaan fintech pertama dan satu-satunya yang memiliki dan menyediakan servis whitelabel e-money dengan kesiapan end-to-end dari teknologi berbasis blockchain hingga ekosistem use-case yang lengkap. (*)