Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Staf Ahli Otoritas Jasa Keuangan
SAMPAI saat ini aliran dana asing terus membanjiri bursa saham domestik seiring Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menembus rekor tertinggi di atas level psikologis 7.000.
Menariknya, sebagian dana asing tersebut juga tercatat masuk ke emiten-emiten perbankan yang menunjukkan kemampuan membukukan kinerja cemerlang sepanjang 2021 lalu. Dari data BEI, sejak awal tahun hingga 25 Maret 2022 lalu, nilai beli bersih (net buy) oleh investor asing mencapai Rp39,20 triliun di pasar reguler, di mana sebanyak Rp17,5 triliun (44,64%) masuk ke saham the big four atau empat bank besar nasional.
Dibandingkan dengan bank-bank besar di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) lainnya, kinerja saham-saham bank domestik berkapitalisasi besar tidak kalah bersaing. Saham bank-bank besar di kawasan ASEAN yang menjadi perbandingan adalah DBS Group (Singapura), OCBC Bank (Singapura), UOB Group (Singapura), dan Maybank (Malaysia).
Membaiknya kinerja sektor perbankan merupakan buah karya para bankir dalam menyikapi masa sulit selama pandemi. Pengalaman empiris menghadapi berbagai jenis krisis telah menguatkan sikap mental dan cara pandang para bankir yang lebih sigap dan tangguh dalam menghadapi berbagai tekanan. Kebijakan moneter, fiskal dan keuangan yang harmonis, akomodatif dan forward looking turut menguatkan keyakinan para bankir bahwa mereka akan dapat melalui masa sulit dengan sebaik-baiknya.
Rasionalitas Investor
Bisa dipahami jika investor asing condong memburu saham-saham perbankan lokal tersebut karena topangan kinerja fundamental yang baik pada bank-bank tersebut selama pandemi berlangsung.
Setelah mengalami masa penurunan kinerja di 2020, saat pandemi merebak dengan kuatnya, di sepanjang 2021 perbankan nasional “dipaksa” untuk mampu mengelola usahanya dengan sebaik mungkin melalui dua pendekatan sekaligus, yakni peningkatan efisiensi operasional dan pendapatan nonbunga alias fee based income berbasis komisi, fee dan sejenisnya. Upaya ini pun diganggu dengan munculnya sebaran varian baru COVID-19, yakni Delta, yang mencapai puncaknya pada Juli 2021 ketika merebak 56 ribuan kasus harian yang mengguncang sistem kesehatan nasional.
Keberhasilan penanganan pandemi pascavarian Delta (Juli 2021) dan Omicron (Januari 2022) mendorong dilonggarkannya pembatasan sosial yang mendorong tingkat mobilitas orang dan barang, baik antarkota, antarprovinsi, bahkan antarnegara. Kecepatan pelaksanaan program vaksinasi massal sebagai game changer juga semakin meningkatkan mobilitas orang dan barang seperti sebelum masa pandemi terjadi.
Hal itu mendorong peningkatan konsumsi masyarakat yang selama masa pandemi dengan pembatasan sosialnya telah menekan sisi permintaan masyarakat. Di masa pelonggaran pembatasan sosial, dorongan konsumsi masyarakat melonjak kuat karena terjadi akumulasi permintaan. Pemenuhan sisi permintaan masyarakat yang menguat ini diimbangi dengan peningkatan produksi di sisi penawaran.
Gambaran itulah yang mengonfirmasi kenaikan tingkat mobilitas orang, tingkat kepercayaan konsumen dan pebisnis, tingkat penjualan ritel, level indeks manufaktur atau Purchasing Manager Index (PMI), dan berujung pada sinyal kenaikan inflasi. Akumulasi dari kegiatan ekonomi dan investasi tersebut mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi 2021 yang positif di level 3,69% atau jauh di atas realisasi pertumbuhan 2020 yang kontraktif, yakni minus 2,07%.
Singkat cerita, pemulihan ekonomi domestik tetap terjaga ditopang oleh terkendalinya pandemi, diikuti pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat yang mendorong peningkatan aktivitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tetap kuat didukung perbaikan konsumsi rumah tangga, investasi langsung dan belanja pemerintah. Sejumlah indikator ekonomi hingga awal Maret 2022 tercatat tetap baik, seperti indeks keyakinan konsumen, penjualan eceran, kendaraan bermotor dan semen, serta konsumsi listrik.
Stabilitas Sistem Keuangan Terkendali
Pengendalian pandemi yang baik didukung serangkaian kebijakan ekonomi, fiskal dan keuangan yang sinergis berdampak pada terjaganya stabilitas sistem keuangan (SSK) dengan kinerja industri jasa keuangan dalam tren membaik. Intermediasi perbankan per Februari 2022 melanjutkan tren peningkatan dengan pertumbuhan kredit sebesar 6,33% (year on year/yoy), terutama ditopang kredit UMKM-ritel dan korporasi dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 8,75% dan 5,83%.
Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) meneruskan pertumbuhan double digit sebesar 11,11% yang utamanya didukung kenaikan giro sebesar Rp30,1 triliun. Dari industri keuangan nonbank (IKNB), penyaluran pembiayaan meningkat ke level Rp372 triliun dan tumbuh positif 2,43% (yoy) didorong oleh jenis pembiayaan modal kerja dan investasi dengan mayoritas sektoral mengalami pertumbuhan positif.
Industri perasuransian berhasil menghimpun premi pada Februari 2022 sebesar Rp18,0 triliun dengan premi asuransi jiwa sebesar Rp11,9 triliun dan asuransi umum Rp6,1 triliun. Penghimpunan dana di pasar modal hingga akhir 5 April 2022 lalu telah mencapai Rp63,93 triliun dengan penambahan emiten baru sebanyak 17 emiten.
Perkembangan pasar modal cukup positif di tengah downside risk sentimen global, ditunjukkan dengan IHSG yang mencatatkan rekor all time high di level 7.210,84 pada 8 April 2022 dan menguat 9,56% (year to date/ytd). Perkembangan tersebut merefleksikan keyakinan investor dan masyarakat terhadap perekonomian Indonesia masih terjaga dengan baik. Hal ini juga ditandai dengan aliran dana masuk investor nonresiden di pasar saham dalam tren positif yang hingga 8 April 2022 tercatat menjadi Rp37,52 triliun.
Sejalan dengan itu, risiko kredit per Februari 2022 terjaga dengan non performing loan (NPL) gross terpantau sebesar 3,08%, sementara rasio non performing financing (NPF) perusahaan pembiayaan stabil pada level 3,25%. Likuiditas perbankan berada pada level memadai dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) di level 153,13% dan Alat Likuid/DPK di level 34,26% pada 30 Maret 2022.
Ketahanan permodalan industri jasa keuangan terjaga dengan baik di mana rasio kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/CAR) perbankan jauh di atas threshold yaitu mencapai 25,82%, searah dengan kuatnya permodalan industri asuransi jiwa dan asuransi umum dengan risk based capital (RBC) masing-masing di level 535,72% dan 323,11%. Demikian halnya dengan gearing ratio perusahaan pembiayaan yang sebesar 1,94 kali.
Di tengah membaiknya kinerja perekonomian dan sektor keuangan, maka pemerintah bersama dengan segenap otoritas dan seluruh pelaku ekonomi dan sektor keuangan tetap harus mewaspadai dampak lanjutan dari perang Rusia-Ukraina yang perambatannya bisa melalui berbagai jalur, antara lain jalur investasi, keuangan dan perdagangan internasional. Sentimen negatif bisa muncul seketika dan membutuhkan solusi segera sebagai respons atas tekanan eksternal yang masih terus membayangi. (*)