Jakarta – Pakar Ekonomi Lingkungan dari IPB University, Aceng Hidayat, menilai program pengembangan bahan bakar ramah lingkungan dari used cooking oil (UCO) atau minyak jelantah yang diinisiasi oleh Pertamina merupakan langkah strategis yang mendukung kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran di bidang energi, khususnya menjelang 100 hari masa kerja mereka.
”Saya apresiasi program yang luar biasa ini. Pertamina selalu menginisiasi pengembangan energi alternatif. Ini sangat mendukung program pemerintah, termasuk menjelang 100 hari kerja,” katanya, dikutip Rabu, 22 Januari 2025.
Menurut Aceng, pemanfaatan minyak jelantah yang diolah Pertamina menjadi bahan bakar ramah lingkungan seperti sustainable aviation fuel (SAF) atau bioavtur dapat menjadi solusi bagi berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini.
Pertama, program ini membantu mengurangi beban pencemaran lingkungan. Kedua, mendukung swasembada energi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Baca juga : Libatkan Ribuan Petani, OASA Bangun Pabrik Biomassa di Blora
Terkait pengurangan pencemaran, Aceng menekankan bahwa minyak jelantah selama ini menjadi limbah yang sering mencemari lingkungan karena kerap dibuang sembarangan ke saluran air.
“Jadi penggunaan jelantah sebagai bahan bakar merupakan solusi lingkungan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kontribusi program ini dalam mendukung swasembada energi nasional.
“(Program ini) sangat mendukung, sejalan. Sebab upaya untuk swasembada energi, misal dengan menggunakan energi terbarukan tentu harus dicari sumbernya,” katanya.
Lebih lanjut, Aceng menjelaskan bahwa potensi minyak jelantah di Indonesia sangat besar, tidak hanya berasal dari rumah tangga dan UMKM, tetapi juga dari sektor industri.
“Sumbernya melimpah. Masyarakat Indonesia sangat gemar makanan gorengan, sehingga bahan baku energi ini tidak akan kekurangan. Jika berhasil dihimpun secara maksimal, dampaknya akan luar biasa sebagai energi alternatif,” bebernya.
Baca juga : Pulihkan Lahan Kritis, Pertamina EP Hijaukan 6,3 Hektare Lahan DAS
Karena itulah Aceng juga sependapat dengan studi dari International Council on Clean Transportation (ICCT). Studi tersebut menyampaikan bahwa penggunaan residu pertanian, termasuk minyak jelantah, di Indonesia dapat menghasilkan 33,2 juta kiloliter bioavtur, atau tiga kali lebih besar dari kebutuhan bahan bakar pesawat domestik.
”Dari data tersebut, sumbernya memang sangat melimpah. Sangat potensial,” ungkapnya. Ketika ditanya apakah hal ini dapat mengurangi impor BBM, ia menjawab, “Tentu saja bisa.”
Sebelumnya, Pertamina telah bekerja sama dengan Noovoleum, perusahaan bersertifikasi internasional untuk pengumpulan minyak jelantah. Melalui kerja sama ini, Pertamina meluncurkan program Green Movement UCO, sebuah proyek percontohan pengumpulan minyak jelantah dari masyarakat.
Melalui program ini, masyarakat dapat menyerahkan minyak jelantah di UCollect Box dan memperoleh reward berupa saldo e-wallet UCollect. Besaran saldo tersebut akan mengikuti fluktuasi harga minyak jelantah di pasar, yang saat ini berada di kisaran Rp6.000 per liter dengan pembaruan harga melalui aplikasi MyPertamina. (*)
Editor: Yulian Saputra