Oleh Martin Daniel Siyaranamual, Chief Economist, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia di triwulan II-2023 mencapai angka 5,17 persen, lebih tinggi 13 basis poin (bp) dibandingkan dengan triwulan I. Pencapaian ini tidak hanya bersumber dari kebijakan ekonomi yang telah baik, akan tetapi juga didukung oleh tingginya harga komoditas energi di pasar internasional yang mendorong nilai ekspor Indonesia.
Di pertengahan triwulan III-2023, ketidakpastian global meningkat sejalan dengan kemungkinan kembali meningkatnya inflasi di Amerika Serikat dan kebangkrutan perusahaan properti terbesar di Tiongkok, Evergrande.
Walaupun demikian, Bank Indonesia tetap yakin untuk tetap mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7RRR) di angka 5,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di tanggal 21-22 September 2023. Berdasarkan perkembangan kondisi terakhir tersebut, maka diproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional 2024 akan terjaga pada rentang 4,7-5,1 persen.
Baca juga: Usia 21 Tahun Kini Bisa Miliki Rumah, Ini Dia Skema KPR Untuk Gen Z
Pertumbuhan ekonomi di sektor perumahan cenderung untuk semakin melambat, di mana pada triwulan II-2023 sektor perumahan mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,49 persen (harga berlaku), atau turun sebesar 84 bp dari triwulan II-2022.
Semenjak pandemi, sektor perumahan mengalami perlambatan yang signifikan, turun dari angka 7,81 persen (harga berlaku) di triwulan IV-2019 hingga ke 1,18 persen di triwulan I-2021. Kemudian mengalami peningkatan hingga triwulan I-2022 dan kembali melambat hingga triwulan II-2023.
Belum pulihnya pertumbuhan di sektor perumahan disebabkan karena tingginya ketidakpastian dan arah kebijakan moneter yang cenderung kontraktif untuk menjaga inflasi. Kombinasi kedua hal tersebut menyebabkan masyarakat menunda konsumsi barang-barang jangka panjang. Perlambatan ini akan semakin nyata jika pertumbuhan ekonomi nasional 2024 mengalami perlambatan.
Potensi pasar perumahan Indonesia masih besar. Susenas Maret 2022 menunjukkan bahwa 16,01 persen rumah tangga (ruta) masih belum memiliki rumah sendiri. Lebih lanjut, proyeksi BPS juga menunjukkan bahwa hingga 2045, rata-rata pertumbuhan ruta mencapai sebesar 660 ribu lebih per tahun dan mereka membutuhkan rumah.
Kalaupun permintaan efektif hanya 50 persen dari total backlog dan pertumbuhan rutanya, pasar perumahan masih tetap besar. Selain terkait dengan kepemilikan rumah, Susenas juga mencatatkan ada 28,66 juta ruta yang menghuni rumah tidak layak. Konsentrasi isu permintaan rumah dan kualitas hunian berada di wilayah metropolitan.
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia menunjukkan bahwa harga rumah secara umum mengalami peningkatan sebesar 1,92 persen di triwulan II-2023. Walaupun harga rumah mengalami percepatan kenaikan, akan tetapi penjualan rumah justru tumbuh negatif, yaitu sebesar -12,3 persen di triwulan II-2023.
Baca juga: Tahun Politik, Vasanta Group Optimistis Bisnis Properti Tetap Tumbuh
Kenaikan harga yang dibarengi dengan penurunan permintaan menunjukkan bahwa terjadi kontraksi yang signifikan di sisi penawaran rumah. Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia Juni 2023 menunjukkan bahwa terdapat empat faktor utama penghambat penjualan perumahan, yaitu: 1. masalah perizinan; 2. suku bunga KPR; 3. DP yang tinggi; dan 4. perpajakan.
Sektor properti dapat menjadi salah satu motor utama pendorong pertumbuhan ekonomi jika merujuk pada besarnya potensi pasar yang ada. Akan tetapi untuk dapat mengoptimalkan perannya, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih bagi sektor properti, khususnya yang terkait dengan dukungan kemudahan regulasi. (*)