Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut industri multifinance (pembiayaan) di Indonesia masih mempunyai potensi besar. Di tengah kondisi pandemi sekalipun, industri ini terbilang resilience (tahan banting) dan tetap menghasilkan cuan tebal. Tidak heran bila banyak investor dari dalam maupun luar negeri berminat masuk ke bisnis pembiayaan.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2B OJK, Bambang W. Budiawan mengatakan, di tengah situasi pandemi selama lebih dari dua tahun terkahir, industri multifinance terbukti lumayan tahan krisis, resilience atau tahan banting. Meski di 2020 kinerja industri tercatat merosot cukup tajam, proses recoverynya terbilang cepat. Tahun ini industri multifinance sudah kembali tumbuh.
Data OJK menunjukkan, hingga Juli 2022, piutang pembiayaan industri multifinance mencapai Rp384,63 triliun, atau tumbuh 7,12% year on year (yoy), ketimbang Rp359,06 triliun pada periode sama tahun sebelumnya. Total asetnya pun terdongkrak naik 4,50%, atau menjadi Rp451,96 triliun. Sedangkan dari sisi laba mengalami pertumbuhan signifikan menjadi Rp10,10 triliun, atau melonjak 33,72% secara tahunan.
“Angkanya cukup fantastis, kalau menurut saya luar biasanya ya Rp10,10 triliun, tumbunya 33,72%. Dan produktivitasnya, finance to aset ratio (FAR) cukup tinggi di angka 85,10%. Ini bagus. Kualitas asetnya juga NPF gross 2,72%, nett-nya di bawah 1%,” ujar Bambang dalam Executive Multifinance Forum yang digelar Infobank dengan tema “Tantangan dan Masa Depan Perusahaan Pembiayaan di Tengah Ancaman Resesi Global” Kamis, 15 September 2022.
Bambang menyebut, dengan rasio return on asset (ROA) di angka 5,19% dan return on equity (ROE) sebesar 13,02%, industri multifinance masih sangat menarik bagi investor. Indikator-indikator ini menjadi salah satu alasan minat investor asing terhadap multifinance di Indonesia cukup tinggi.
“Angka ROA, ROE dan laba ini kan jadi insentif, pemantik bagi strategic investor, baik dalam maupun luar negeri bahwa bisnis ini masih mendatangkan cuan yang cukup banyak, sehingga ke depan bisa menjadi kelengkapan ekosistem yang dibangun. Beberapa grup keuangan sedang membangun konglomerasi atau ekosistem keuangan. Jadi dia mempunyai bank, dia punya multifinance, fintech dan lain sebagainya,” ujar Bambang.
Perbaikan kinerja industri multifinance ini, lanjut Bambang, sekaligus menunjukkan kepada debitur, baik perbankan, para pemegang obligasi atau surat utang bahwa profil industri multifinance semakin sehat dan bisa dipercaya. Kepercayaan dari industri perbankan dan investor sangatlah penting, karena sebagian besar funding (pendanaan) masih mengandalkan pinjaman bank. Per Juli 2022 misalnya, sebesar 71,53% dari total pendanaan industri multifinance bersumber dari pinjaman bank, dalam maupun luar negeri. Ke depan, pelaku industri didorong agar bisa lebih kreatif mencari alternatif-alternatif pendanaan.
Baca juga: Selain dari Bank, OJK Harap Pendanaan Multifinance Bisa Bersumber dari Investor Asing
“Saya melihat ada upaya dari perusahaan pembiayaan mengurangi ketergantungan kepada perbankan. Risk appetite perbankan masih tinggi terhadap perusahaan pembiayaan. It’s fine. Ke depan perusahaan pembiayan harus lebih cerdik untuk menciptakan produk-produk atau kreativitas dalam menghimpun pendanaan, dibandingkan harus terlalu bergantung pada perbankan,” imbuhnya. (*) Ari Astriawan