Jakarta-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan kebijakan lanjutan countercyclical khusus untuk lembaga jasa keuangan non-bank sebagai langkah antisipasi potensi risiko ketidakpastian dari perkembangan pandemi Covid-19.
“Kebijakan countercyclical ini rencananya akan diterapkan hingga April 2023, yang mana sekarang program kebijakan tersebut sudah masuk proses finalisasi. Semoga bisa kita terbitkan kebijakan countercyclical tersebut di bulan ini,” ucap Kepala Eksekutif Pengawas Institusi Keuangan Non-Bank (IKNB) yang sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Riswinandi, pada sebuah acara diskusi virtual Indonesia Financial Sector Outlook 2022, Selasa, 23 November 2021.
Beberapa hal yang diatur oleh kebijakan countercyclical IKNB tersebut antara lain pelaksanaan penilaian proses penilaian kemampuan dan kepatutan yang akan bisa dilakukan secara lebih fleksibel, relaksasi pembiayaan modal kerja termasuk untuk pelaku UMKM, kesempatan restrukturisasi bagi pinjaman platform fintech P2P lending, serta relaksasi ketentuan pelaksanaan evaluasi aktuaria untuk industri dana pensiun pemberi kerja.
“Kami berharap penerapan kebijakan countercyclical ini nantinya bisa menciptakan kondisi soft landing bagi para pelaku industri, dan juga tentu mencegah terjadinya guncangan pada industri akibat normalisasi regulasi yang demikian drastis dalam waktu singkat, di samping bisa memberikan ruang gerak yang cukup bagi pelaku IKNB dalam melakukan mitigasi risiko normalisasi kebijakan di masa yang akan datang,” terang Riswinandi.
Data kinerja IKNB menunjukkan bahwa kebijakan stimulus yang dikeluarkan OJK sejak awal 2020 telah berhasil menjaga dan mendorong sektor IKNB tetap tumbuh positif di tengah kondisi krisis ekonomi dampak pandemi Covid-19.
Aset pelaku sektor IKNB tumbuh secara tahunan sebesar 9,38% menjadi Rp2.759 triliun di September 2021. Sementara investasi sektor IKNB tumbuh 12,84% menjadi Rp1.663 triliun di September 2021.
Lalu, pada periode yang sama pendapatan operasional pelaku sektor IKNB juga tercatat tumbuh sebesar 11,25% menjadi Rp571,13 triliun di September 2021.
Di samping itu, sejalan dengan pesatnya penggunaan teknologi informasi dalam produk dan layanan di IKNB, Riswinandi mengutarakan kegentingan dari adanya tren ketergantungan terhadap teknologi digital yang semakin tinggi.
“Ketergantungan yang lebih tinggi terhadap infrastruktur IT juga meningkatkan eksposur perusahaan terhadap kelompok risiko cyber. Sebagai contoh, terjadinya kasus peretasan pada sistem IT perusahaan akan mengganggu kualitas layanan dan operasional perusahaan,” terangnya lagi.
Lebih lanjut, ia sebutkan bahwa hal tersebut tentunya akan membahayakan keamanan data nasabah. OJK sebagai regulator pun telah menerbitkan POJK Nomor 4 Tahun 2021 terkait manajemen risiko teknologi informasi oleh lembaga jasa keuangan non-bank, yang mencakup perusahaan asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan penyelenggara fintech P2P lending.
Nilai lebihnya, POJK tersebut tak hanya mengatur soal risiko manajemen IT, namun juga mengatur substansi penyelenggaraan sistem IT, seperti kewajiban dari pelaku industri untuk melakukan proteksi terhadap data-data perusahaan dan konsumennya.
“POJK ini juga mengatur setiap institusi keuangan agar melakukan upaya terbaik dalam melindungi data pribadi konsumen dan menghindari terjadinya penyalahgunaan data-data tersebut. Tentunya kami berharap agar kebijakan dimaksud dapat menjadi guideline bagi para pelaku di sektor IKNB supaya proses inovasi di sektor tersebut bisa berjalan secara prudent dan bertanggung jawab,” tekannya. Steven Widjaja