NPL kontstruksi di perbankan meningkat. Kenaikan NPL tertinggi dibukukan oleh Bank Buku 3. Rezkiana Nisaputra
Jakarta–Proyek pembangunan infrastruktur masih menjadi andalan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian nasional yang tengah melambat. Kondisi tersebut, tentu ikut mendorong kencangnya penyaluran kredit perbankan ke sektor konstruksi. Meski penyaluran kredit ke sektor konstruksi di 2015 cukup kencang, namun disisi lain risiko kredit macet (non performing loan/NPL) di sektor tersebut juga semakin tinggi.
Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga September 2015, penyaluran kredit ke sektor konstruksi tercatat sebesar Rp171,36 triliun atau tumbuh 16,36% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp147,27 triliun. Pangsa kredit kontruksi terhadap total kredit mengalami kenaikan dari 4,01% pada September 2014 menjadi 4,33% pada September 2015.
Namun pada saat yang bersamaan, penyaluran kredit di sektor konstruksi, masih dibayangi oleh tingginya potensi kredit bermasalah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, hingga kuartal III 2015 rasio NPL kredit konstruksi masih berada dikisaran 4%. NPL kredit konstruksi pada periode tersebut mengalami kenaikan menjadi 4,91% dari 4,61% pada September 2014. Angka tersebut hampir mendekati 5% atau batas maksimal dari regulator.
Sementara jika dilihat dari nilainya, NPL kredit konstruksi bank umum sampai kuartal III 2015 tercatat sebesar Rp8,41 triliun atau meningkat 23,91% jika dibandingkan dengan tahun lalu di periode yang sama yakni Rp6,78 triliun. Berdasarkan data OJK, penyumbang NPL tertinggi secara nilai berasal dari bank BUKU 1 dengan kenaikan mencapai 52,55%. Sedangkan NPL kredit konstruksi di bank BUKU 1 mencapai 4,60%.
Kendati NPL tertinggi secara nilai berasal dari bank BUKU 1, namun rasio NPL kredit konstruksi di kelompok bank BUKU 1 masih terjaga, tidak seperti bank BUKU 2 yang menjadi penyumbang tingginya rasio kredit bermasalah di sektor konstruksi . Hingga September 2015, rasio NPL kredit konstruksi di bank BUKU 2 mencapai 9% atau jauh diatas ketentuan regulator yang sebesar 5%. Secara nominal, kenaikan kredit bermasalah di bank BUKU 2 tercatat mencapai 40,92% atau mencapai Rp3,10 triliun.
Selain bank BUKU 1 dan BUKU 2, kenaikan kredit bermasalah di sektor konstruksi juga dialami oleh kelompok bank BUKU 3. Rasio NPL kredit konstruksi di kelompok bank BUKU 3 mencapai 4,76%. Secara nominal, kenaikan kredit bermasalah di bank BUKU 3 meningkat 33,37% atau mencapai Rp3,22 triliun. Kenaikan kredit bermasalah sektor konstruksi di bank BUKU 3 lebih tinggi ketimbang kenaikan kredit yang disalurkan mencapai 22,52%.
Sedangkan di kelompok bank BUKU IV, secara nominal, kredit bermasalah ke sektor kontruksi hingga September 2015 mengalami penurunan sebesar 4,97%. Untuk rasio NPL sektor konstruksi masih terjaga di 2,19%. Pada periode tersebut, penyaluran kredit konstruksi di kelompok bank BUKU 4 meningkat sebesar 17,70% dari Rp47,53 triliun pada kuartal III 2014 menjadi Rp55,94 triliun di kuartal III 2015.
PT Bank OCBC NISP yang masuk dalam kelompok BUKU III mengaku, selalu fokus menjaga NPL kredit konstruksinya, ditengah tren peningkatan yang tengah terjadi. Direktur Utama Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengungkapkan, Bank OCBC NISP merupakan bank yang masih bisa mengendalikan NPL pada kredit konstruksinya. Hal ini terlihat pada NPL kredit konstruksi masih berada di bawah 2%.
“Buktinya, NPL kredit konstruksi hanya 1,9%, itu per Juli 2015 dan secara rata-rata NPL secara keseluruhan sebesar 1,3%. Sektor perdagangan masih menyumbang kontribusi terbesar terhadap rasio NPL,” ucap Parwati beberapa waktu lalu.
Di tempat terpisah, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan, rencana pembangunan infrastruktur yang didorong oleh pemerintah, tentu akan berdampak positif untuk sektor infrastruktur dan terusannya hingga mendorong sektor riil. “Sektor-sektor itu akan membutuhkan pembiayaan yang besar, ini akan berdampak positif untuk perbankan dan lembaga pembiayaan,” ujar Fauzi.
Selain itu, kata dia, infrastruktur juga merupakan sektor yang aman jika dibandingkan dengan komoditas yang saat ini tengah mengalami penurunan yang tajam. Infrastruktur jika dibandingkan pada 2015, akan mengalami percepatan. Hal ini sejalan dengan anggaran infrastruktur yang lebih tinggi pada rencana anggaran pendapatan belanja Negara (RAPBN) 2016.
Kendati demikian, OJK juga mengakui bahwa ada peningkatan kredit bermasalah di sektor konstruksi. Dalam catatan OJK, NPL sektor kontruksi mengalami peningkatan sekitar 5%. Namun, tak hanya sektor konstruksi yang menurut OJK harus tetap diwaspadai, sektor pertambangan juga mencatatkan tren kenaikan kredit bermasalah di kisaran yang sama. (*)