Rupiah Masih Rentan Fluktuasi
DBS Group Research menurunkan proyeksi rentang nilai tukar rupiah terhadap dolar antara 5,5% -6,1%. Dolar AS pun diperkirakan tidak akan mencapai lebih dari Rp 14.000 untuk satu tahun ke depan. Kendati demikian, rupiah tidak berarti kebal terhadap pergerakan mata uang global. Contohnya ketika Tiongkok mendevaluasi mata uangnya pada Januari tahun ini, nilai tukar rupiah kembali terdepresiasi. Begitu pula ketika rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada Juni lalu.
DBS Group Research memandang kerentanan likuiditas Indonesia memang sudah berkurang dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi, rencana kenaikan suku bunga AS tetap bisa mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah ke depan. Faktor risikonya terutama berasal dari utang luar negeri yang terus meningkat serta cadangan devisa yang masih rendah. “Tekanan jual terhadap rupiah dapat balik lagi jika utang luar negeri jangka pendek dan defisit transaksi berjalan memburuk lagi,” ujar Wee.
Upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi kelihatannya masih mengahadapi tantangan karena terbatasnya ruang untuk menaikkan defisit anggaran. Meskipun sejak September tahun lalu sudah 13 paket kebijakan yang dikeluarkan.
(Baca juga : Kepercayaan Ekonomi RI Dorong Penguatan Rupiah)
Salah satu andalan dalam jangka pendek adalah program amnesti pajak yang ditargetkan dapat menarik dana repatriasi hingga Rp 1.000 triliun atau sekitar US$ 75 miliar. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara dan membiayai proyek infrastruktur, keberhasilan program amnesti pajak sekaligus akan memperbaiki kredibilitas fiskal pemerintah.
Jika berhasil, Wee menilai peringkat utang Indonesia bisa naik ke level layak investasi, “investment grade” dari Standard & Poor’s. Hal itu juga dapat menjaga daya tahan rupiah terhadap terpaan volatilitas global dan kenaikan suku bunga AS.(*)