Jakarta – Nilai tukar rupiah kembali dalam tren pemulihan setelah sempat berada di titik terendah sejak krisis 1998 pada akhir September tahun lalu. Rupiah bahkan termasuk mata uang yang kinerjanya paling baik di Asia saat ini.
Kendati demikian, berdasarkan riset DBS Asian Insight, rupiah masih rentan terhadap risiko naiknya suku bunga Amerika Serikat (AS). Daya tahannya juga bergantung pada keberhasilan pemerintah menarik modal dari luar negeri.
Menurut riset tersebut, membaiknya nilai tukar rupiah ini terutama didukung oleh sejumlah faktor fundamental domestik. DBS Group Research mencatat, kepercayaan investor meningkat seiring perbaikan produk domestik bruto (PDB), yang telah kembali ke level 5% pada kuartal IV-2015.
Tingkat inflasi yang turun ke 3%-5 persen mulai November 2015 juga mendorong Bank Indonesia lima kali menurunkan suku bunga sepanjang 2016 ini. Investor asing pun telah meningkatkan kepemilikan obligasi negara menjadi 5,4% terhadap PDB pada semester I-2016, dari 4,8% pada akhir 2015.
Selain itu, defisit neraca transaksi berjalan stabil di level 2,1% terhadap PDB pada kuartal IV-2015. Meski negatif, namun ada perbaikan neraca yang mengindikasikan tekanan terhadap ekspor sudah berkurang. ”Faktor-faktor ini yang memberikan kontribusi pada ketahanan rupiah selama periode volatilitas global tahun ini,” kata Philip Wee, ekonom senior DBS Group Research, dalam riset DBS yang berjudul “IDR—towards further resilience.” (Selanjutnya : Rupiah Masih Rentan Fluktuasi Jika..)