Negara Tersandera! Nasib Whoosh dalam “Pelukan Utang Jahat”

Negara Tersandera! Nasib Whoosh dalam “Pelukan Utang Jahat”

Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank Media Group

WHOOSH! Itulah nama kereta cepat Indonesia yang digagas secara “paksa” oleh Presiden ke-7 Joko Widodo. Peresmiannya menggunakan buzzer dari artis-artis dengan follower berjibun. Seperti Raffi Ahmad, Gading Marten dan sejumlah pesohor lainnya. Penuh tawa dan kebanggan di atas laju kecepatan 350 km per jam. Namun nasib Whoosh sekarang dalam pelukan utang.

Bayangkanlah sebuah kereta cepat, laju bagai kilat, menjadi kebanggaan nasional di atas kertas. Namun, di balik kemegahan itu, tersembunyi sebuah adegan kecelakaan finansial yang terjadi dalam gerak lambat—sebuah drama absurd di mana kita semua dipaksa menjadi penonton yang membayar tiket termahal.

Inilah “kecelakaan beruntun KCIC”: sebuah tubrukan antara ambisi, utang, dan realitas yang pahit, yang meninggalkan serpihan kerugian triliunan rupiah di sepanjang relnya. Lihatlah episode kecelakaan 2023-2025.

Menurut catatan Infobank Institute, tahun 2023, tampak rangkaian “gerbong” kerugian. Bisa jadi ini merupakan “kecelakaan” awal. Kerugian Rp7,12 triliun menghantam. Bukan karena roda macet atau rel melengkung, melainkan oleh hantaman “beban bunga” dan “biaya administrasi utang”—dua monster yang lahir dari rahim pinjaman. PT Wijaya Karya (WIKA), sang tukang bangun, terpaksa menjadi tumbal pertama, menahan badan agar gerbong tidak keluar rel sepenuhnya.

Lalu, tahun 2024 terjadi “kecelakaan” lanjutan. Kerugian Rp4,2 triliun. PT Kereta Api Indonesia (KAI), sang empunya rel, kini menjadi penanggung duka utama, menanggung beban Rp2,23 triliun. Seolah-olah masinis yang baik hati ini dipaksa menanggung utang kontraktor yang membangun jalur barunya.

Paruh awal 2025, terjadi “kecelakaan” tampak “mereda” menjadi Rp1,6 triliun. PT KAI masih merintih, menanggung Rp951,48 miliar. Pihak tertentu mungkin bertepuk tangan melihat “penurunan”, tetapi bagi akal sehat, kerugian yang masih bermiliaran itu bagai mengatakan luka bacoknya “tidak separah kemarin”. Sebuah penghiburan yang tragis.

Di mana sumber utama kecelakaan? Itu tak lain karena jerat utang dan ilusi pendapatan. Lihat saja.  Catatan Infobank menyebut, ada investasi yang membengkak. Proyek senilai USD7,2 miliar (sekitar Rp108,14 triliun) ini sejak awal mengandung “bom waktu”. Biaya membengkak USD1,2 miliar dari rencana. Hal ini bisa jadi pertanda bahwa kalkulasi “kecepatan” tidak pernah disertai dengan kalkulasi “biaya kemudi”.

Tidak hanya itu. Jerat bunga yang juga mencekik. Itu karena sekitar 75 persen dana proyek digantungkan pada pinjaman China Development Bank (CDB). Setiap tahun, bunga senilai USD120,9 juta (Rp2 triliun) harus dibayar—seperti pajak yang harus ditunaikan kepada “dewa” utang, terlepas dari ada penumpang atau tidak. Inilah inti kecelakaan: proyek ini lebih dulu menjadi mesin pembayar bunga sebelum menjadi alat transportasi.

Sebaliknya, pendapatan yang hanya “secuil”. Pada 2024, pendapatan tiket Rp1,5 triliun terdengar seperti suara gemerincing uang receh dalam gedung opera megah. Angka ini bahkan belum menutupi biaya listrik, perawatan, dan gaji kru. Ibaratnya, hasil penjualan karcis tidak cukup untuk membeli bensin, apalagi memperbaiki mesin.

Siapa yang Punya Whoosh?

Pada 16 Oktober 2015, konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), dan konsorsium perusahaan perkeretaapian Tiongkok, melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd membentuk perusahaan patungan yang dinamakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Menurut catatan Infobank, pembangunan proyek Kereta Cepat Whoosh diperoleh dari dana pinjaman China Development Bank (75 persen). Sedangkan 25 persen merupakan setoran modal pemegang saham, yaitu gabungan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40 persen).

Komposisi pemegang saham PSBI, yaitu PT Kereta Api Indonesia (Persero) 58,53 persen, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk 33,36 persen, PT Perkebunan Nusantara I 1,03 persen, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk 7,08 persem. Adapun komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd yaitu CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.

Menurut catatan Infobank, Presiden Joko Widodo resmi menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan untuk memimpin Komite Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

“Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Komite Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Menteri Perhubungan, yang selanjutnya disebut dengan Komite,” tulis ayat 3 Perpres tersebut. Jadi, Luhut Binsar Panjaitan selaku pemimpin percepatan proyek kereta cepat yang kini menjadi beban “utang jahat” ini.

Awalnya, proyek Whoosh ini adalah business to business (B2B). Tapi, sejak terbit aturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023, skenario berubah. Sejak ditekennya aturan tentang pelaksanaan pemberian penjaminan pemerintah untuk mempercepat sarana dan prasarana, maka beban pindah dari sebelumnya B2B, menjadi business to government ( B2G). Inilah sebenarnya “bom waktu” yang ditanam oleh China.

Nah, lebih ngeri lagi, karena pinjaman kereta cepat ini dijamin oleh negara. Jadi swasta dijamin negara ini yang aneh dan menghancurkan banyak sendi. Kasus jeratan utang dari China juga terjadi di banyak negara, seperti di Paksitan, Laos, Maladewa, Mongolia, Zambia, Kirgizstan dan Tajkistan. Apakah ini merupakan jebakan yang disengaja oleh China? Itulah bodohnya Indonesia hanya demi mengejar gengsi hanya ingin memliki kereta cepat tanpa kalkulasi.

Siapa yang Jadi Korban?

Di ujung dari rangkaian “kecelakaan” ini, berdiri PT KAI sebagai korban yang paling mengenaskan. Sebagai pemegang saham mayoritas di konsorsium, ia bagai dokter yang sehat dipaksa menerima “donor” darah dari “pasien” yang sekarat. Dampaknya tidak berhenti di neraca keuangan KAI. Tapi, juga ke “Sang Bandar”, yaitu BPI Danantara.

Guncangan ini beresonansi ke seluruh tubuh BPI Danantara sang induk semang yang memayungi KAI. Kerugian yang ditanggung KAI adalah luka yang mengucurkan darah segar dari lengan Danantara. Ini mengancam stabilitas sistemik BUMN. Uang yang seharusnya dialirkan untuk memperkuat layanan publik, membangun infrastruktur esensial, atau berinovasi, justru terkubur untuk menambal “lubang” hitam proyek kereta cepat.

Bisa jadi proyek KCIC adalah satire pedas tentang pembangunan Indonesia. Sebuah proyek yang diagungkan sebagai simbol kemajuan, justru berubah menjadi beban yang mencekik BUMN-BUMN tulang punggung negara. Kita telah membangun istana di atas utang, dan kini fondasinya retak.

Inilah pertanyaan yang harus kita lontarkan dengan lugas dan kritis: Sudah benarkah menjadikan utang sebagai lokomotif pembangunan?

Dan, sampai kapan BUMN-BUMN “harus” menjadi “tumbal” bagi ambisi-ambisi megalomaniak yang tidak disertai kalkulasi rasional? Selama 10 tahun terakhir ini, Indonesia mengandalkan utang untuk pembangunan. Bisa disebut, pemerintah mengambil langkah “edan” dalam berhutang, sehingga utang naik empat kali dari posisi ketika era SBY. Jumlah utang sudah menembus di atas Rp9.000 triliun.

Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab? Pertanyaan ini menarik, dari Lapangan Banteng, Kantor Menteri Keuangan lewat Sang Menteri Purbaya Yudi Sadewa, sudah menegaskan, masalah Whoosh bukan urusan APBN. Tapi urusan Danantara. Nah, ketika ditanyakan ke Danantara, Pandu Sjahrir, Chief Investment Officer (CIO), menyebutkan uang Danantara untuk investasi dan bukan untuk membayar utang.

Indonesia lewat pinjaman kereta cepat ini akan menyandera negara. Sebab, jaminan utang oleh pemerintah merupakan jeratan yang akan mencekik PT. KAI dan pada akhirnya Danantara. Langkah restrukturisasi utang akan lebih mudah diucapkan, tapi tentu beban akan ditaruh ke belakang jika hanya melakukan penundaan cicilan pokok.

Jalan Sempit ke Luar dari Jeratan Utang

Di tengah lempar bola panas kereta cepat, ada usulan untuk melakukan restrukturisasi. Beberapa usulan restrukturisasi utang digulirkan, antara lain. Satu, konversi utang menjadi ekuitas senilai USD2 miliar, yang akan menaikkan modal dasar KCIC menjadi USD4 miliar. Dua, langkah Initial Public Offering (IPO) dengan melepas 30 persen saham baru, berpotensi menghimpun dana USD2,5–2,75 miliar.

Secara teknis, langkah ini mungkin bisa mengurangi beban utang. Namun, ini bukan solusi fundamental. IPO di tengah kinerja operasional yang masih diragukan hanya akan memindahkan beban kepada investor publik. Rakyat kecil kembali menjadi penanggung risiko—baik melalui APBN maupun melalui pasar modal.

Sementara cara restrukturisasi “utang jahat” ini ada contoh menarik dari Kenya. Saat ini, Kenya telah mengonversi pinjaman proyek kereta api senilai USD5 miliar dari China ke yuan China. Dikutip dari South China Morning Post, Minggu (12/10), langkah itu tidak hanya memberikan keringanan utang tetapi juga sejalan dengan tujuan jangka panjang Beijing, untuk memperkuat posisi mata uangnya di dunia.

Menteri Keuangan Kenya, John Mbadi, menyatakan bahwa pinjaman kereta api China senilai USD5 miliar telah dikonversi ke yuan. Langkah itu diperkirakan akan mengurangi biaya pembayaran utang tahunan sebesar USD215 juta.

Kenya mengambil tiga pinjaman dari Bank Ekspor-Impor China (China Exim Bank) pada 2014–2015 untuk membangun Jalur Kereta Api Standar (Standard Gauge Railway/SGR) sepanjang 600 km dari pelabuhan Mombasa ke Naivasha, dekat Nairobi.

Disebutkan, Kenya juga menegosiasikan perpanjangan jatuh tempo ketiga pinjaman dengan China Exim Bank, untuk meringankan tekanan pada cadangan devisa dan menunda rencana penggalangan dana melalui obligasi panda, karena tingkat bunganya tidak menguntungkan.

Indonesia bisa mencontoh langkah Kenya, selain akan meringankan beban bunga dan cicilan sekaligus mendekatkan ke China yang ingin memperkuat mata uangnya.

Jalan lain, tentu setelah dilakukan audit investigasi oleh Big Four – jangan libatkan mereka-mereka yang terlibat — dengan pengawasan yang ketat, misalnya langsung oleh Presiden dan Menteri Keuangan Purbaya selaku pemegang kebijakan fiskal. Apakah restrukturisasi dengan konversi mata uang, atau penambahan modal. Misalnya,  partner dari China dalam konsorsium ini akan menambah modal, dan PT. KAI tak punya duit lagi, tentu akan dilusi.

Akhirnya, kerena cepat itu mayoritas akan dimiliki oleh partner dari China. Tapi, masalahnya tak sesederhana itu. Jaminan utang swasta yang dijamin negara adalah masalah rumit di tengah Danantara ingin mengembangkan uang setoran dividen dari BUMN-BUMN yang untung untuk mendorong ekonomi, dan bukan untuk membereskan BUMN yang “busuk-busuk”.

Urusan utang kereta cepat ini akan menjadi jebakan-jebakan setiap tahun dan akan membuat PT. KAI akan terbakar laporan keuangan konsolidasinya. Harus segera dilakukan langka-langkah. Sebab, sebaik apa pun kinerja PT. KAI sekarang ini akan menjadi korban “kecelakaan” dari Whoosh ini! Ide membuat kereta cepat memang ide sangat gila dari seorang yang juga “gila” dan diaminin oleh semua pejabat yang juga “gila”. Ini namanya kegilaan “berjamah” dengan semboyan “kesohor tapi tekor”.

Dan, pada akhirnya hak orang-orang miskin Indonesia akan dikurangi jatahnya hanya untuk mem-bail-out Whoosh. Sebuah “bom waktu” yang ditanam oleh ambisi kebodohan masa lalu.

Bisa jadi karena kereta Whoosh, Indonesia akan kehilangan kepemilikan di kereta cepat ini. Sejalan dengan itu, karena jaminan negara atas utang swasta dari bank-bank China yang kapan saja bisa meledak dan menyandera. Nasib Pakistan, Mongolia, Maladewa, Laos, dan Zambia yang menyerahkan martabatnya ke bank-bank China yang notabene juga Pemerintah China bisa terjadi dengan Indonesia.

Paling tidak, sandera itu akan berusia 100 tahun – sepanjang break event point proyek yang tak jelas ini. Apalagi, utang Whoosh termasuk “utang jahat” karena tak pernah memikirkan cara pengembaliannya. Jadi siapa yang busuk? Inilah kado terburuk setahun Pemerintahan Prabowo dari rezim bapaknya Gibran Rakabuming Raka yang kini jadi Wapres. Selamat “mabuk” utang jahat.

Related Posts

News Update

Netizen +62