Nasib Bank Digital: Sang Pengancam Yang Mulai Terancam

Nasib Bank Digital: Sang Pengancam Yang Mulai Terancam

Jakarta – Giovanni di Bicci de’Medici, seorang ahli keuangan sekaligus bankir yang lahir pada tahun 1360 di Florence, Italia, mungkin tak akan pernah menyangka bahwa sebuah konsep keuangan yang disusunnya dulu, kelak bisa berkembang sedemikian rupa, hingga melebihi batas imajinasi siapa pun manusia yang hidup pada jaman itu.

Sebuah konsep yang memodernisasi layanan keuangan sederhana di kuil-kuil, di mana tempat orang-orang kaya menyimpan komoditas berharga miliknya, yang kemudian dicatat secara rapi, sehingga setiap saat dapat dipindah-tangankan dengan lebih mudah dan aman. Sebuah konsep yang menjadi dasar didirikannya Banca Monte dei Paschi, yang kini tercatat dalam sejarah sebagai bank tertua di dunia.

Istilah ‘bank’ sendiri konon diambil dari Bahasa Italia, yaitu ‘banca’ atau ‘banque’ dalam Bahasa Perancis, yang artinya dalam Bahasa Indonesia adalah bangku. Hal ini merujuk pada rutinitas harian seorang bankir seperti halnya Giovanni, yang menghabiskan waktunya sepanjang hari dengan duduk di kursi di balik meja penukaran uang.

Pertama beroperasi, Banca Monte dei Paschi dan juga bank-bank lain yang muncul setelahnya, mengkhususkan layanannya pada jasa simpanan uang dan/atau komoditas berharga untuk orang-orang kaya, dan lalu meminjamkannya sebagai modal pada orang miskin, dengan pengembalian berlebih (bunga) sebagai sumber keuntungannya.

Digitalisasi

Berjarak ratusan tahun sejak era Giovanni mencetuskan istilah bank, banca atau banque, masyarakat kini justru dikepung oleh ‘wajah baru’ layanan perbankan yang memanfaatkan perkembangan industri yang telah sampai pada fase 4.0 dengan hadirnya teknologi internet.

Perilaku dan karakteristik masyarakat dan nasabah yang sudah sangat berkembang menjadi trigger utama bagi para pelaku bank konvensional untuk juga turut bermetamorfosis menjadi layanan keuangan yang serba digitalized. Pakem semula bahwa layanan perbankan hanya bisa diakses di tempat tertentu (kuil, kantor bank) seketika dibuka seluas-luasnya melalui platform elektronik atau online.

Melalui konsep digital ini, kalangan perbankan benar-benar mengubah pendekatan bisnisnya, yaitu dengan mendigitalisasi seluruh operasional bank dan menggantikan kehadiran fisik perbankan dengan kehadirannya secara online.

Segala macam kebutuhan nasabah yang semula bermuara pada fungsi kantor-kantor cabang, kemudian didelegasikan pada sejumlah layanan online yang dapat diakses lewat ponsel masing-masing nasabah.

Lewat pendekatan baru ini, seluruh aktivitas perbankan seperti menabung, mendapatkan pinjaman hingga berbagai transaksi lain yang semula harus dilakukan secara ‘sakral’ di kantor-kantor cabang perbankan, menjadi lebih mudah diakses secara personal dalam satu genggaman.

Pertama kali gelombang digitalisasi perbankan muncul, bank-bank konvensional sebenarnya telah mencoba beradaptasi dengan munculnya layanan internet banking, mobile banking dan semacamnya.

Langkah penyesuaian ini didasarkan pada fakta pertumbuhan jumlah pengguna internet dan juga ponsel yang demikian massif di Indonesia. Pada tahun 2006, misalnya, lembaga penelitian Research On Asia (ROA) Group mencatat bahwa jumlah pengguna ponsel secara nasional sebanyak 68 juta orang. Beranjak tumbuh menjadi 73,9 juta orang atau sekitar 28,6 persen dari total populasi pada tahun 2015, ‘lompatan’ kemudian terjadi di mana pada tahun 2018, jumlah pengguna aktif ponsel di Indonesia telah mencapai 150,4 juta orang atau setara dengan 56,2 persen dari seluruh total populasi nasional.

Dengan data seperti itu, maka tak ada pilihan lain bagi pelaku perbankan untuk mulai berevolusi diri untuk tidak sekadar menghadirkan layanan digital banking, namun secara total konsep menjadi bank digital.

Seperti yang dilakukan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk yang meluncurkan Jenius pada tahun 2016 dan DBS Bank yang meluncurkan platform Digibank, setahun setelahnya.

Bayangkan, aktivitas pembukaan rekening yang semula wajib dilakukan di kantor cabang, oleh kedua platform tersebut disimplifikasi dengan memanfaatkan jaringan internet.

Digibank memilih menyiagakan sejumlah petugas untuk datang ‘jemput bola’ menghampiri calon nasabah layaknya layanan ojek online (ojol), sedangkan Jenius juga melakukan hal serupa, dengan juga membuka counter-counter pembukaan rekening di sejumlah area publik, seperti mall dan pusat-pusat keramaian lainnya.

Namun dengan segala aturan yang ada dan karakter sektor industrinya yang memang sudah sedemikian rigid guna mempertahankan azas prudentialitas, bukan perkara mudah bagi perbankan Tanah Air untuk menerima terobosan yang dilakukan oleh DIgibank dan Jenius, saat itu.

Salah satu kendala besar di depan mata adalah penggunaan tandatangan digital sebagai syarat legalisasi berkas-berkas perbankan. Dan sebagai regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) diketahui masih mensyaratkan penggunaan tanda tangan basah sebagai ketentuan legalitas di sejumlah transaksi yang dilayani oleh bank. “Tandatangan basah saja masih rawan pemalsuan, apalagi (tandatangan) digital,” respon sebagian besar pelaku perbankan, saat itu.

Dan, ‘lampu hijau’ itu perlahan mulai menyala dan dapat dirasakan pengaruhnya beberapa tahun pasca beroperasinya Digibank dan Jenius.

“Kami di OJK sudah mulai menggunakan digital signature, dan menurut saya justru lebih aman (dibanding tandatangan basah). Hasil salah satu riset kami juga menunjukkan sedikitnya 35 persen nasabah (bank) Indonesia berharap di masa mendatang dapat mengajukan kredit dan juga banking transaction lainnya secara online,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana, pada pertengahan tahun 2020 lalu, atau berjarak empat tahun sejak Jenius diluncurkan, atau tepatnya baru kurang dari dua tahun yang lalu.

DPK vs Kredit

Dengan mulai diakuinya sisi legalitas dari aktivitas bank digital, maka secara bertahap mulai bermunculan lah para pemain baru bank digital di pasar perbankan di Indonesia. Selain dua pendahulu yang disebut sebelumnya, beberapa new comers yang saat ini namanya cukup familiar di masyarakat, sebut saja Bank Jago, Neobank, LINE Bank, SeaBank dan sejumlah platform lainnya. Kehadiran bank-bank digital ini, mau tidak mau, seolah menjadi ancaman baru bagi keberadaan bank konvensional yang sudah sedemikian lama ‘mapan’.

Dengan segala kemudahan transaksi yang ditawarkan, hadirnya bank digital dengan mudah dapat menggaet minat dari masyarakat, terutama dari kalangan muda. Karenanya, tak heran bila bank-bank konvensional mencoba bertahan dengan mencoba mengcreate bank digitalnya sendiri. Seperti yang dilakukan Bank Mandiri dengan platform Livin dan BCA lewat aplikasi Blu.

Dengan ‘peta pertarungan’ yang demikian, pelaku pasar pun mencoba meresponnya dengan memburu saham bank-bank digital, yang membuat pergerakan harganya sempat melambung. Namun, bagaimana pun fakta terungkap juga, bahwa pada dasarnya tren pertumbuhan yang terjadi di bank-bank digital masih baru ‘seumur jagung’ dan belum menghasilkan catatan kinerja yang layak membuat sahamnya diganjar dengan harga mahal.

Dalam bahasa pelaku pasar modal Tanah Air, nasib bank digital digambarkan sebagai “saham bajaj harga mercy” yang pada intinya menunjukkan bahwa saham-saham bank digital dinilai telah overvalued alias kemahalan.

Kondisi kinerja bank digital yang masih ‘jauh panggang dari api’ itu terkonfirmasi oleh laporan yang ditulis oleh Moody’s yang berjudul ‘Dampak Bank DIgital Pada Inovasi dan Inklusi’.

Meski terbilang sukses dalam ekspansinya ke segmen waralaba, perkembangan bank digital di kawasan Asia Tenggara, terutama di Indonesia, masih terbilang dini, dengan performa penghimpunan dana yang cukup mumpuni, namun sayang belum diimbagi dengan kemampuan penyaluran kredit yang memadai.

“Kerberhasilan bank-bank digital akan sangat tergantung pada kemampuan mereka menanggung (memitigasi risiko) orang-orang yang tidak memiliki rekening. Sebagian dari mereka sejauh ini masih lebih berhasil menarik simpanan ketimbang pinjaman penjaminan,” tulis Moody’s, dalam laporan tersebut.

Pandangan senada juga disamaikan oleh Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah. Menurut Piter, bank-bank digital yang ada di Indonesia saat ini masih cenderung ‘bermain aman’ dengan lebih menggenjot kinerja penghimpunan dana ketimbang penyaluran kredit ke masyarakat.

Kondisi ini tentu bukan menjadi hal yang baik bagi catatan kinerja sebuah bank, mengingat ada porsi bunga yang wajib dibayarkan oleh bank ke nasabah tabungan, yang itu harusnya dipenuhi dari bunga yang didapat dari kinerja penyaluran kredit, dengan menyisakan margin sebagai keuntungan bagi pihak bank. “Jadi kinerja (penyaluran) kredit bagaimana pun menjadi tantangan bagi seluruh bank, baik konvensional maupun yang digital. Hanya saja, (tantangan) bank digital lebih berat karena terkait fungsi intermediasi,” ujar Piter, dalam kesempatan terpisah.

Pasalnya, menurut Piter, dalam menyalurkan kredit perbankan wajib menerapkan prinsip 5C, yaitu character (karakter nasabah), capacity (kapasitas keuangannya), capital (modal yang dimiliki nasabah), condition (kondisi si nasabah) dan collateral (agunan yang dijaminkan).

Yang jadi masalah, hingga saat ini Piter mengklaim belum ada aplikasi atau platform digital yang dapat diandalkan oleh pihak bank untuk dapat menerapkan prinsip 5C tersebut bagi Si Calon Nasabah Kredit yang bersangkutan. “Belum ada aplikasi yangbisa memudahkan pihak bank untuk bisa menyalurkan kredit sesuai dengan prinsip 5C, sehingga bisa kita katakan aktivitas pemberian kredit itu masuk kategori aman,” tutur Piter.

Munculnya Metaverse

Di tengah tren pertumbuhannya yang masih belum maksimal, kini eksistensi bank digital justru seolah diserang balik dengan tren baru pengembangan semesta metaverse dari teknologi blockchain.

JP Morgan menjadi menjadi pendobrak dengan menjadi bank investasi pertama yang membuka lounge di mall Metajuku di salah satu platform metaverse terbesar di dunia, Decentraland.

Dalam hitung-hitungan JP Morgan, pasar metaverse menawarkan peluang pasar hingga US$1 triliun dari segi pendapatan tahunan. Sebuah nilai potensi yang demikian besar dan pantang untuk dilewatkan begitu saja.

Langkah JP Morgan ini serupa dengan yang dilakukan sejumlah perusahaan besar dunia yang juga memulai ekspansinya di semesta metaverse, seperti Walmart, Nike, DIsney hingga Warner Music Group.

Strategi ini pula yang coba diikuti oleh bank-bank besar Tanah Air, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang juga melakukan langkah ekspansi sejenis. Menggandeng WIR Group, kedua bank BUMN itu berupaya mengambil manfaat dari aktivitas orang-orang yang berkumpul dan beraktivitas di dalam dunia metaverse, yang semakin menegaskan fleksibilitas layanan perbankan untuk bisa diakses di mana pun, bahkan di ruang virtual.

“Metaverse dapat menjadi game changer dalam hal inklusi keuangan di Indonesia, karena dengan membawa layanan perbankan ke ranah vritual, hal itu telah meruntuhkan batasan ruang dan waktu. Akses perbankan jadi bisa diakses dari mana pun, kapan pun,” ujar Head of Research & Development Team sekaligus Chief Innovation Officer WIR Group, Jeffrey Budiman.

Upaya ini, menurut Jeffrey, sesuai dengan target yang dicanangkan OJK, di mana porsi inklusi keuangan nasional diharapkan bisa menembus angka hingga 90 persen pada tahun 2024 mendatang.

Dan keberadaan teknologi metaverse diakui OJK dapat dimanfaatkan untuk mendorong capaian inklusi keuangan tersebut dengan segala karakteristik khasnya yang tentunya berbeda dengan teknologi ekisting yang selama ini telah dimanfaatkan di ekosistem perbankan.

“(Layanan perbankan di semesta metaverse) Ini tentu menghadirkan pengalaman berbeda, tidak hanya kepada nasabah, namun juga seluruh pelaku dan ekosistem perbankan nasional. Sebagai regulator kami tentu akan terus memantau, mempelajari dan menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan, dengan sebisa mungkin melengkapi berbagai perangkat regulasi yang dibutuhkan,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Teguh Supangkat.

Nah, dengan kini munculnya teknologi metaverse yang semakin menawarkan layanan dan akses perbankan tanpa batas, tentu menjadi tantangan baru bagi ekosistem bank digital yang justru masih sedang bertumbuh.

Jika dulu hadirnya bank-bank digital sukses menchallenge bank-bank konvensional untuk segera berbenah dan menyesuaikan diri agar tidak tergerus oleh kemajuan jaman, kini challenge serupa tengah juga dirasakan oleh bank-bank digital, bahwa kini muncul teknologi yang lebih baru lagi, yang bila bank-bank digital tidak aware dan awas, juga berpotensi tergerus oleh dinamika dan perkembangan jaman. Siapkah Kalian, bank-bank digital? (TSA)

Related Posts

News Update

Top News