Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkapkan alasannya menolak gugatan batas usia calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) minimal 40 tahun itu karena keputusan MK sudah final dan mengikat.
Permohonan yang teregister dengan Nomor 141/PUU-XXI/2023 ini diajukan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Brahma Aryana.
Pemohon meminta seseorang yang berusia di bawah 40 tahun yang boleh maju sebagai capres-cawapres hanyalah yang pernah/sedang menjadi gubernur saja.
Perkara itu bertalian dengan gugatan terhadap syarat usia capres-cawapres di dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya berubah oleh Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah pada pokoknya menegaskan bahwa Putusan 90 itu secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Sebagaimana putusan MK lainnya, putusan itu bersifat final dan mengikat.
Baca juga: Semangati Relawan, Ganjar: Besok Tak Ada Lagi Kata Mundur, Kalau Dihalangi Tabrak
“Mahkamah berpendapat putusan a quo (Putusan 90) adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final yang mengandung makna terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum pada Putusan 141 di Ruang Pleno Gedung MKRI, Jakarta dikutip Kamis (30/11).
Putusan terkait pelanggaran berat kode etik eks Ketua MK Anwar Usman ini juga tak dapat disidangkan ulang dengan majelis hukum yang berbeda. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU Kekuasaan Kehakiman dianggap sebagai undang-undang yang sifatnya lebih umum, ketimbang UU MK yang menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Sesuai asas hukum lex specialis derogate lex generali, maka beleid yang bersifat khusus akan mengesampingkan beleid yang sifatnya umum.
“Pembentukan majelis yang berbeda untuk memeriksa kembali perkara sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 17 ayat (7) UU 48/2009 tidak mungkin dapat diterapkan di Mahkamah Konstitusi,” kata Enny.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, di dalam mempertimbangkan dalil permohonan pemohon, khususnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, Mahkamah lebih menekankan dengan bertumpu pada UU MK yang bersifat khusus,” tambahnya.
Sebelumnya, MK mengubah ketentuan syarat usia minimal capres-cawapres dari awalnya paling rendah 40 tahun menjadi paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah melalui Putusan 90.
Putusan 90 itu menuai banyak sorotan publik karena dinilai memudahkan jalan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sekaligus keponakan Hakim Konstitusi Anwar Usman (saat itu menjabat sebagai Ketua MK) untuk ikut serta di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 meski usianya belum 40 tahun.
Baca juga: Gibran Tetap Maju Usai Putusan MKMK, Keluarga Jokowi Terlena Kekuasaan?
Putusan itu pun mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sejumlah pihak mengajukan protes dan laporan dugaan pelanggaran kode etik kepada MKMK terkait putusan itu.
Alhasil, Anwar dinilai terbukti melanggar kode etik perilaku hakim dan akhirnya dicopot dari jabatan Ketua MK.
Sementara, jalan Gibran jadi cawapres makin mulus. Putra sulung Presiden Joko Widodo ini telah resmi menjadi cawapres nomor urut 2 bersama capres Prabowo Subianto. (*)