Mimpi Basah Bunga Single Digit

Mimpi Basah Bunga Single Digit

Oleh: Eko B. Supriyanto

Bank Indonesia (BI) tiga bulan terakhir ini sudah menurunkan BI Rate menjadi 6,75%. Era suku bunga rendah mulai dicanangkan BI setelah merasa aman dari pengaruh The Fed yang tak terasa besar dampaknya ke Indonesia. Rupiah pun kuat dan sempat merobek kantong BI karena waktu membeli harganya masih di atas Rp13.400-Rp13,700 per satu dolar (US$1) Amerika Serikat (AS). Namun, langkah BI patut diapreasi dan melegakan dunia usaha, kendati ruang penurunan suku bunga masih ada.

Suku bunga perbankan diharapkan bisa turun ke level single digit. Keinginan pemerintah diamini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan membuat edaran ke bank-bank BUKU 3 dan BUKU 4. Bahwa bank-bank diharapkan melakukan upaya penurunan suku bunga, termasuk melakukan upaya efisiensi.

Saat ini suku bunga kredit perbankan rata-rata sekitar 12% sampai dengan 15% dengan suku bunga dana antara 2% dan 9%.  Sementara itu, perolehan net interest margin (NIM) masih sekitar 5%-6%. Kondisi suku bunga kredit yang masih dirasa besar itu yang hendak ditarik turun sampai single digit.

Sementara inflasi masih berkisar 4% plus minus 1%, maka kondisi suku bunga simpanan yang sebesar itu masih dirasakan memadai. Jika suku bunga diharapkan turun, maka inflasi yang digelayuti oleh faktor makanan seperti itu juga diharapkan untuk turun.

Menurut catatan Infobank Institute, ada beberapa hal yang tidak mendukung penurunan suku bunga single digit. Pertama, rasio kredit per produk domestik bruto (PDB) masih rendah, sekitar 42%. Sementara itu, posisi loan to deposit ratio (LDR) perbankan mulai mentok di 92%. Satu sisi Indonesia masih membutuhkan kucuran kredit, tapi di lain sisi Indonesia kurang likuiditas.

Kedua, fakta lain yang menjadi masalah ialah tingginya yield dari Surat Utang Negara (SUN) yang berada pada 7%-9%. Hal ini tentu menjadi masalah berat bagi perekonomian dan terutama bagi perbankan dalam hal menjaring dana pihak ketiga (DPK). Ini sama saja mengatakan bank umum bersaing dengan pemerintah, atau deposito bersaing dengan SUN.

Ketiga, saat ini hanya ada dua bank dari 119 bank di Indonesia yang menurunkan suku bunga di bawah 5%. Jika demikian halnya, maka tidak mudah menarik suku bunga lebih rendah, atau katakanlah sampai 3%, sedangkan kondisi likuiditas tiap-tiap bank berbeda. Risiko likuiditas ini menjadi titik perhatian.

Keempat, adanya gap likuiditas—tak hanya karena gapping jangka waktu DPK dengan kredit, tapi sekaligus juga besarnya likuiditas yang tetap kering. Bank-bank masih terus membutuhkan dana untuk ekspansinya.

Kelima, sering kita kali lupa dan senantiasa membandingkan kondisi suku bunga perbankan di Indonesia dengan suku bunga perbankan di negara-negara lain di ASEAN, terutama Malaysia dan Thailand. Suku bunga perbankan di Malaysia dan Thailand lebih rendah daripada suku bunga perbankan di Indonesia. Ada baiknya kita melihat kondisi di kedua negara tersebut. Misalnya, Thailand, sekarang suku bunga kredit perbankannya 6,5%-8% dengan inflasi minus 1% sampai dengan minus 0,5% dan government bond hanya 2,51%. Sedangkan cost of funds hanya 0,8% sampai dengan 1,5% dan cost of operation hanya 1% sampai dengan 2%.

Hal yang tak berbeda dengan di Malaysia dengan cost of funds 0,8%-1,2% dan cost of operation 1%-2% serta government bond antara 3,5% dan 3,85%. Jika dibandingkan dengan di Indonesia tentu tidak sama. Di Indonesia cost of funds sekitar 4,5% sampai dengan 5,5% dengan cost of operation 3,5% sampai dengan 4%. Cost of operation bank di Indonesia antara lain overhead cost 2,5% sampai dengan 3,5%, biaya giro wajib minumum (GWM) sekitar 0,2%, biaya iuran OJK sekitar 0,05%, premi LPS 0,2%, dan biaya asuransi uang tunai atau biasa disebut cash fee sekitar 0,07%.

Biaya operasional perbankan di Indonesia berbeda dengan di perbankan Thailand dan Singapura. Selain memang beda kondisi inflasi dan cost of funds pastinya. Bahkan, perolehan NIM perbankan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan di kedua negara tersebut.

Era suku bunga rendah sudah sesuai dengan tren suku bunga di luar negeri yang mengarah ke negatif, seperti di Jepang, Swiss, dan Swedia serta beberapa negara di Eropa yang mulai memangkas suku bunga. Namun, yang perlu diperhatikan sekarang ini ialah tak melakukan pemaksaan dengan target tertentu, misalnya bank dipatok NIM-nya. Bank juga dipatok suku bunga single digit dalam waktu dekat ini.

Masalah suku bunga tak harus dipersalahkan kepada pelaku perbankan. Persoalan rendahnya kredit karena pelaku dunia usaha tak sanggup membayar suku bunga tinggi. Ada yang perlu diingat, dalam kondisi sekarang ini lebih baik kita melakukan pekerjaan masing-masing. Suku bunga bukan persoalan perbankan semata, melainkan juga seluruh elemen, termasuk pemerintah sendiri.

Kita perlu mengurusi dapur masing-masing. Misalnya, inflasi dan ekspektasi inflasi dikendalikan untuk turun. Misalnya, tata cara menghitung inflasi diubah—lihat saja komponen makanan, seperti ayam, telur ayam, dan telur asin serta komponen lainnya masih tetap dimasukkan. Efisiensi logistik juga perlu mendapat perhatian.

Pemerintah juga harus hadir, misalnya memberi kemudahan dalam berusaha dan kepastian—kasus Masela menjadi catatan buruk bagi risk premium Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga segera membelanjakan pendapatannya, termasuk hasil menjual SUN, agar defisit terus terjaga dengan baik.

Di lain pihak, perbankan seyogianya terus menjaga efisiensi lebih baik. Namun, bank mana bisa menjaga efisiensi jika terus dikasih beban sosialisasi yang seharusnya menjadi beban di luar perbankan. Dan, yang lebih penting, bagaimana menjaga bank-bank tetap tumbuh dengan penambahan modal secara organik dan tetap bisa melayani masyarakat dengan baik. Persoalan suku bunga tak harus dibebankan ke sektor perbankan semata dan penurunan suku bunga kredit ini juga menjadi hal yang diinginkan oleh perbankan. Hanya saja, pemaksaan penurunan suku bungak kredit dan pembatasan NIM akan menimbulkan dampak bagi bank-bank yang likuiditasnya cekak. Apalagi, likuiditas menjadi persoalan bangsa Indonesia sejak zaman perang kemerdekaan hingga pemerintahan Jokowi-JK sekarang ini.

Tanpa kerja sama seluruh pihak dan hanya menggantungkan pada sektor perbankan, suku bunga single digit hanya akan menjadi mimpi basah bagi kita semua.(*)

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Infobank.

Related Posts

News Update

Top News