Oleh Ryan Kiryanto, Kepala Ekonom BNI
Dalam laporan Global Economic Outlook terbaru (14/4), Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan produk domestik bruto (PDB) global akan menyusut 3% tahun ini, turun dari perkiraan ekspansi 3,3% pada Januari lalu, jauh lebih buruk dari kontraksi 0,1% PDB global pada 2009, dan kemungkinan akan membukukan penurunan terbesar sejak Great Depression pada 1930-an.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik pun akan melambat, sesuatu yang belum terjadi dalam 60 tahun terakhir. IMF mendesak pemerintah di kawasan ini menggunakan semua opsi kebijakan demi mendukung ekonomi mereka selama pandemi virus korona (Covid-19).
Pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Asia Pasifik akan jauh lebih buruk dibanding krisis lain. Data historis, kawasan ini masih bisa tumbuh dengan laju rata-rata tahunan 4,7% ketika krisis keuangan global (2008/2009), dan 1,3% selama krisis keuangan Asia (1998).
Pertumbuhan ekonomi Cina dan India akan melambat, meskipun masih akan berhasil tumbuh masing-masing 1,2% dan 1,9%. Sementara PDB riil di Jepang diperkirakan menurun sebesar 5,2%. Untuk 2021, perekonomian kawasan Asia Pasifik akan rebound, jika upaya meredam dampak Covid-19 berhasil.
Siap Siaga Penuh
Kini langkah kesiap-siagaan amat dibutuhkan. Situasi krisis saat ini memang berbeda dengan krismon Asia 1998 dan krisis keuangan global 2008, sehingga membutuhkan solusi kebijakan yang berbeda. Data menunjukkan anjloknya indikator kepercayaan, memicu gejolak di pasar keuangan dan indikator ekonomi riil rontok, kebangkrutan dan kehilangan pekerjaan akan meninggalkan luka mendalam pada perekonomian dunia dan menyulitkan penyembuhannya untuk waktu yang cukup lama.
Ekonomi AS tumbuh negatif, sementara Perancis, Jerman, dan Inggris menghadapi resesi karena semua indikator aktivitas ekonomi dan perdagangannya jatuh. Hanya Cina yang berpotensi pulih lebih awal, setelah jatuh lebih cepat karena pertama kali menderita akibat lockdown setelah coronavirus muncul di Wuhan.
Prospek suram berlaku untuk ekonomi negara maju dan berkembang. Sejumlah negara di EM masih harus berurusan tidak hanya dengan krisis kesehatan dan ekonomi, tetapi juga dengan pelarian modal serta penurunan permintaan ekspor secara tiba-tiba karena menurunnya aktivitas produksi negara-negara importir yang terganggu oleh kebijakan lockdown.
Kecepatan pemulihan akan tergantung pada risiko lanjutan dari pandemi Covid-19 dan sistem kesehatan di banyak negara, terutama di EM. Diyakini, prospek pemulihan akan cukup kuat, kendati ada sedikit “kemunduran” karena kebijakan lockdown melonggar secara bertahap.
Namun, IMF tetap memperingatkan prospeknya masih dapat lebih buruk jika pandemi Covid-19 terus menyebar ke seluruh dunia, apalagi trade war antara AS dan Cina dapat memberikan ancaman terhadap perjuangan AS melawan pandemi Covid-19.
Dampak ke Perekonomian Indonesia
Pandemi Covid-19 sudah pasti memberikan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Hal ini terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) oleh Bank Indonesia (BI) yang mengindikasikan bahwa kegiatan dunia usaha menurun pada triwulan I-2020. Hal ini tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pada triwulan I-2020 sebesar -5,56%, turun cukup dalam dibandingkan 7,79% pada triwulan IV-2019.
Turunnya kegiatan usaha terjadi pada sejumlah sektor ekonomi seperti sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR), sektor Pertambangan, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, serta sektor Konstruksi. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan permintaan dan gangguan pasokan.
Pada triwulan II-2020, responden memperkirakan kegiatan usaha akan meningkat, dengan SBT sebesar 2,13%. Berdasarkan sektor ekonomi, diperkirakan peningkatan kegiatan usaha terutama terjadi pada sektor Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (SBT 1,57%) seiring dengan masih berlangsungnya panen padi di beberapa daerah, serta sektor Jasa-jasa (SBT 1,32%).
Konfirmasi kedua terlihat dari kinerja sektor industri pengolahan yang melemah. BI mencatat bahwa kinerja sektor Industri Pengolahan pada triwulan I-2020 mengalami penurunan, tecermin dari Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia (PMI-BI) yang berada dalam fase kontraksi, yaitu 45,64%, turun dari 51,50% pada triwulan IV-2019 dan 52,65% pada triwulan I-2019.
Penurunan terjadi pada seluruh komponen pembentuk PMI-BI, dengan penurunan terdalam pada komponen volume produksi, disebabkan penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat Covid-19.
Secara sektoral, hampir seluruh subsektor mencatatkan kontraksi pada triwulan I-2020, kecuali subsektor Makanan, Minuman dan Tembakau. Melambatnya ekonomi global tentu akan berdampak pada ekonomi domestik.
Mengacu kepada proyeksi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) saat press conference (1/4/2020), pada skenario berat perekonomian Indonesia 2020 diproyeksikan tumbuh 2,3% (sebagai baseline) dan pada skenario sangat berat tumbuh minus 0,4%.
Proyeksi pertumbuhan 2,3% bersumber dari pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga 3,2%, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau Investasi Langsung 1,3%, pertumbuhan Konsumsi Pemerintah 6.8%, pertumbuhan konsumsi lembaga nonprofit rumah tangga (LPNRT) -0,2%, pertumbuhan Ekspor -11,7%, dan pertumbuhan Impor -13,5%.
Alhasil, sepanjang 2020 dalam skenario berat (baseline scenario), perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,3% (yoy). (*)