Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
INFOBANK Media Group bersama Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dan Marketing Research menggelar Starting Year Forum 2025 pada 4 Februari lalu. Forum ini diawali dengan sesi Economic Outlook 2025 yang mengangkat tema “Membaca Tanda-Tanda Akankah Terjadi Krisis di Tengah Ketidakpastian Global dan Melemahnya Daya Beli Masyarakat.”
Banyak peserta yang hadir mengatakan bahwa topik ini cukup menegangkan dan membuat mereka penasaran untuk hadir. Tapi topik ini tidak bertujuan untuk itu, melainkan lebih untuk mengingatkan para pemangku kepentingan agar mewaspadai berbagai perkembangan ekonomi global maupun domestik. Sebab, tidak ada negara yang kebal dari krisis, bahkan bagi negara kaya sekalipun, seperti kesimpulan dari penelitian Carmen M Reinhart dan Kenneth S. Rogoff dalam buku This Time is Different, Eight Centuries Financial Folly.
Reinhart dan Rogoff meneliti sejarah panjang krisis keuangan sejak enam abad di lebih dari 60 negara dengan mengumpulkan data tingkat utang pemerintah, tingkat utang swasta, harga aset, tingkat inflasi, nilai tukar, tingkat suku bunga, tingkat output perekonomian, dan berbagai data makroekonomi lainnya. Penelitian itu menyebutkan, sebagian besar krisis keuangan disebabkan oleh akumulasi utang yang berlebihan baik yang dilakukan oleh pemerintah, ataupun perbankan, perusahaan, maupun konsumen.
Oleh sebab itu, setiap negara harus selalu mewaspadai lonjakan utang, termasuk pemerintah Indonesia yang utangnya kian menggunung dari Rp2.608 triliun pada 2015 menjadi Rp8.680 triliun per 2024 atau 39,20 persen dari produk domestik bruto (PDB). Ditambah utang bank sentral dan utang badan usaha milik negara (BUMN), maka rasio utang terhadap PDB mencapai 75 persen, atau melonjak dari 36 persen pada 2013 menjadi sekitar 75 persen pada 2024.
Baca juga: Salah Kaprah! DPR Bisa Copot di Tengah Jalan Bos BI, OJK, LPS dan Lembaga Negara Lainnya, Sungguh Berbahaya!
Lonjakan utang pemerintah dipicu oleh rendahnya pendapatan pajak akibat bocornya penerimaan negara karena rendahnya integritas oknum pejabat maupun akibat dari turunnya output perekonomian. Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo pertumbuhan ekonomi periode 2015-2024 rata-rata per tahun hanya 4,22 persen, atau 4,91 persen tanpa menghitung tahun pandemi 2020 yang terkontraksi 2,07 persen.
Di tengah keterbatasan fiskal, pemerintah mendorong pembangunan infrastruktur melalui utang baik langsung maupun lewat BUMN hingga sebagian kedodoran karena mengerjakan proyek penugasan pemerintah dengan mencari pinjaman di pasar.
Mewarisi pemerintahan yang haus utang, kini pemerintahan Prabowo Subianto pun tergopoh-gopoh merealisasikan janji populisnya yaitu program makan bergizi gratis yang membutuhkan anggaran Rp171 triliun tahun ini. Untuk mencegah krisis fiskal, pemerintah melakukan penghematan besar-besaran sebesar Rp306,69 triliun, terdiri atas Rp256,1 triliun dari anggaran kementerian/Lembaga dan Rp 50,59 triliun dari transfer ke daerah.
Ironisnya, Presiden Prabowo seperti tidak menyadari dari awal dengan menambah jumlah menteri dari 34 menjadi 48 ditambah 56 wakil menteri plus 5 ketua lembaga negara serta badan-badan baru sehingga jumlah pejabat tinggi yang mengisi kursi pemerintahan mencapai 137 kursi. Konsekuensinya, belanja pegawai APBN yang pada 2024 sebesar Rp460,86 triliun melonjak menjadi Rp513,22 triliun pada APBN 2025. Baru setahun saja, pembengkakan belanja pegawai mencapai Rp52,36 triliun. Akibat pembengkakan birokrasi ini, penambahan pendapatan dari kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen pun ludes untuk belanja pegawai.
APBN seperti menyimpan bom waktu, karena digerogoti belanja populis, birokrasi yang gemuk, dan pembayaran utang. Dari anggaran belanja negara Rp3.621,3 triliun pada 2025, sebagian besar yaitu Rp1.350 triliun atau 37,85 persen digunakan untuk membayar utang yang terdiri dari cicilan pokok Rp800,3 triliun, dan bunga Rp552,9 triliun.
Baca juga: Profitabilitas BUMD Rendah, Untung Ada BPD
Tragisnya, di balik fiskal yang terbatas, tingkat kebocorannya pun tinggi. Indikasinya adalah Incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia yang meningkat menjadi 6,8 pada 2024, jauh di atas ICOR Singapura yang di kisaran 3-4. ICOR yang tinggi menunjukkan adanya kebocoran dana pembangunan. Makanya, kendati utang pemerintah terus menggunung dan digunakan untuk pembangunan seperti infrastruktur, pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di kisaran 4,5 persen – 5 persen.
Jika akumulasi utang yang berlebihan bisa menyebabkan krisis keuangan seperti penelitian Reinhart dan Rogoff, maka lebih rentan ketika dana pembangunan yang dibiayai dengan utang tersebut digerogoti oleh korupsi. Apalagi, menurut kajian Biro Riset Infobank, selain tekanan utang dan tingkat korupsi yang tinggi, ekonomi Indonesia mengidap sederet penyakit lain yang jika tidak disembuhkan Indonesia akan terus terjebak dalam pertumbuhan ekonomi 5 persen, bahkan bisa kembali mengalami krisis keuangan seperti penelitian Reinhart dan Rogoff.
Seperti apa daftar 13 penyakit ekonomi Indonesia yang jika tidak disembuhkan Indonesia terancam menjadi negara gagal? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 562 Februari 2025. (*)