Oleh Ryan Kiryanto, Ekonom dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia/LPPI
MENARIK mencermati pernyataan hipotetis bahwa krisis perbankan yang disebabkan oleh runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank (SB) baru-baru ini telah meningkatkan kemungkinan resesi Amerika Serikat (AS).
Itulah pernyataan CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon, kepada jurnalis CNN dalam sebuah wawancara eksklusif belum lama ini. Berbicara dalam wawancara pertamanya sejak kegagalan SVB, Dimon mengatakan bahwa sementara sistem perbankan kuat dan sehat, gejolak baru-baru ini di sekitar sistem keuangan adalah “bobot lain dalam skala” menuju resesi.
Dia melihat orang-orang mengurangi pinjaman sedikit demi sedikit, juga mencairkan pinjaman sedikit demi sedikit. Menurutnya, itulah sinyal awal resesi ekonomi AS, karena ada awan badai di depan untuk ekonomi AS.
Rezim kebijakan pengetatan oleh Federal Reserve (The Fed) saat ini, ditambah inflasi yang tinggi dan perang Rusia-Ukraina, merupakan risiko terbesar bagi perekonomian AS. Sejumlah orang berpandangan bahwa mereka tidak yakin apakah ekonomi AS sedang melalui krisis perbankan saat ini.
Jika penyebab melemahnya kinerja perbankan AS karena suku bunga acuan yang tinggi oleh The Fed, maka diingatkan kepada pengelola bank-bank regional dan konsumen di AS bahwa mereka harus bersiap untuk menghadapi fase suku bunga yang lebih tinggi lebih lama.
Intinya, jika target inflasi tahunan sebesar 2% masih jauh dari sasaran, di mana saat ini (April 2023) berkisar 5,1%, maka The Fed masih memiliki ruang untuk menaikkan Fed Fund Rate (FFR), meskipun tidak seagresif bulan-bulan sebelumnya. The Fed akan berhenti atau jeda sejenak menaikkan suku bunga acuan ketika posisi inflasi tahunan AS sudah mendekati 2%, dan untuk selanjutnya The Fed bersiap melandaikan FFR secara gradual.
Saat ini stance kebijakan moneter di sejumlah bank sentral cenderung menahan kenaikan suku bunga acuan seiring dengan melandainya inflasi di setiap negara. Meredanya kenaikan harga energi dan pangan berandil pada penurunan laju inflasi.
Pada saat yang sama, penanganan yang saksama dan segera terhadap SVB, SB, dan bank-bank regional bermasalah lainnya oleh otoritas keuangan dan pemerintah AS memberikan optimisme baru bahwa krisis perbankan jangka pendek itu tidak akan berdampak serius terhadap perekonomian AS.
Yang terjadi adalah perlambatan fungsi intermediasi perbankan untuk sementara waktu sambil menanti berhentinya langkah The Fed menaikkan FFR. Setelah itu, sektor perbankan AS akan kembali menuju fase normalnya.
Perkembangan Asia-Pasifik
Menurut riset Standard & Poor’s (rilis 28 Maret 2023), kondisi perbankan di kawasan Asia-Pasifik masih stabil, dengan risiko gejolak perbankan yang moderat. Diperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil tahunan di Asia-Pasifik rata-rata akan berada pada level 4% selama beberapa tahun ke depan, didukung oleh rebound ekonomi Tiongkok tahun ini pascakebijakan lockdown.
Pada aspek risiko gejolak perbankan, terlihat efek penularan yang tipis bagi perbankan Asia-Pasifik dari imbas gejolak bank-bank regional AS dan Credit Suisse di Swiss. Bank-bank Asia-Pasifik umumnya memiliki profil aset dan deposito yang lebih konvensional. Oleh karena itu, risiko penularannya terbilang moderat, meskipun sedikit memburuk.
Terkait risiko akses pembiayaan, tercatat risiko akses pembiayaan relatif tinggi dan melemah. Pasar yang bergejolak dan prospek ekonomi yang tidak pasti menyebabkan pemberi pinjaman (kreditur) dan investor (pemilik modal) menjadi lebih defensif. Pendanaan domestik terus berlanjut, tetapi selektif. Maka, arus kas dan likuiditas kreditur berperingkat rendah dan sangat leverage menjadi mudah terpapar.
Terkait risiko pemulihan ekonomi, risikonya tetap relatif tinggi dan tidak berubah. Pertimbangannya karena pemulihan ekonomi Tiongkok terjadi pada 2023, sementara sebagian besar geografi Asia-Pasifik lainnya pada 2024. Namun, perjuangan berkelanjutan bank-bank sentral global melawan inflasi serta melemahnya sentimen bisnis dan konsumen menyiratkan adanya risiko yang cukup material.
Kesimpulannya, kondisi perbankan di Asia-Pasifik masih stabil di tengah kekhawatiran penularan. Dengan kata lain, efek penularan krisis perbankan di AS yang meluas ke Asia-Pasifik kecil kemungkinannya terjadi. Diyakini bahwa bank-bank di kawasan ini terlindung dari gejolak yang berasal dari kegagalan perbankan di AS baru-baru ini.
Itu lantaran neraca aset bank-bank di Asia-Pasifik cenderung konvensional, dengan proporsi dominan pinjaman berbasis luas di segmen komersial dan ritel. Proporsi aset dengan suku bunga tetap yang dimiliki oleh bank-bank di Asia-Pasifik juga cenderung jauh lebih rendah daripada di AS. Alhasil, gejolak perbankan saat ini mungkin belum memperketat kondisi pembiayaan, dengan tekanan yang tidak merata di seluruh bank.
Kendati demikian, perbankan di Asia-Pasifik tetap dituntut terus mencermati perilaku The Fed yang diperkirakan masih akan melanjutkan pertarungannya melawan inflasi karena diperkirakan The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi hingga 2023. Untuk Asia-Pasifik, inflasi inti tetap sangat tinggi di Australia, Filipina, dan India.
Untuk mengantisipasi tekanan ekonomi yang menguat di balik langkah bank sentral yang ketat, diperkirakan sejumlah bank sentral akan memperlambat kenaikan suku bunganya. Hal itu mengingat tekanan resesi akan melemahkan permintaan dan menurunkan harga (yang berarti melandaikan inflasi).
Disadari bahwa inflasi tinggi yang persisten secara regional dan di negara-negara maju tetap menjadi risiko sehingga dapat mendorong bank-bank sentralnya untuk melanjutkan kenaikan suku bunga acuan yang berujung memperburuk volatilitas pasar.
Sektor perbankan tentu akan merespons tinggi suku bunga acuan dengan menaikkan suku bunga komersial perbankan sehingga berpotensi menahan permintaan pinjaman. Alhasil, fungsi intermediasi perbankan akan sedikit terganggu. Setidaknya sampai dengan arah suku bunga acuan mulai melandai seiring dengan melemahnya inflasi di semester kedua 2023 atau di akhir tahun ini.
Outlook Perbankan Indonesia
Sejauh ini perkembangan kinerja sektor perbankan Indonesia terpantau baik-baik saja. Penilaian ini mengacu pada rilis hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 29 Maret 2023 lalu.
OJK menilai stabilitas sektor jasa keuangan tetap terjaga dengan kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan (LJK) meningkat dengan permodalan dan likuiditas di level yang memadai. Kondisi tersebut menjadi modalitas penting dalam menghadapi dinamika global.
OJK juga menilai laju pengetatan kebijakan moneter yang cepat mulai menekan stabilitas sistem keuangan global dengan bergejolaknya sistem perbankan global akibat penutupan beberapa bank di AS dan Eropa. Otoritas negara-negara itu telah bertindak cepat untuk mengatasi permasalahan tersebut dan mencegah merambatnya penularan risiko.
Di sektor perbankan, kredit perbankan pada Februari 2023 tumbuh sebesar 10,64% year on year (yoy) atau naik tipis dibandingkan dengan Januari 2023 yang sebesar 10,53% yoy, menjadi Rp6.375,3 triliun. Penguatan kredit tersebut utamanya ditopang oleh kredit investasi yang tumbuh 13,01% yoy.
Secara month to month (mtm), nominal kredit perbankan Februari 2023 meningkat 1,02% atau naik sebesar Rp64,44 triliun. Dengan demikian, ruang ekspansi kredit masih terbuka cukup lebar mengingat outlook perekonomian Indonesia di tahun ini masih terjaga baik dengan perkiraan pertumbuhan sebesar 4,7%-5,3% dan inflasi berkisar 3,5%.
Apalagi belakangan ini juga muncul perkiraan bahwa Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar akan menahan atau tidak akan lagi menaikkan suku bunga acuan (BI7DRR) di semester kedua tahun ini sebagai “masa jeda” (pause) sehingga pergerakan suku bunga perbankan akan lebih akomodatif.
Permintaan kredit pun tidak akan terkendala dengan adanya berbagai kegiatan menjelang pesta demokrasi (Pemilihan Umum Presiden 2024/Pilpres 2024). Bahkan, jelang perhelatan Pilpres 2024, permintaan kredit mungkin saja malah berpotensi melonjak mengiringi berbagai ragam aktivitas politik. Maka, proyeksi pertumbuhan kredit sebesar 9%-12% tahun ini cukup logis.
Di lain sisi, dana pihak ketiga (DPK) pada Februari 2023 tumbuh sebesar 8,18% yoy, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pada Januari 2023 yang sebesar 8,03% yoy, menjadi Rp7.989 triliun, dengan giro dan deposito sebagai pendorong utamanya.
Masih secara mtm, DPK Januari 2023 tumbuh 0,44% atau setara Rp34,89 triliun. Komposisi DPK didominasi oleh kelompok dana murah atau current account saving account (CASA) yang relatif stabil dan tidak terlalu terpengaruh terhadap pergerakan suku bunga. Kondisi tersebut mendukung terjaganya kinerja likuiditas perbankan, antara lain tecermin dari rasio-rasio likuiditas yang berada di atas ambang batas (threshold).
Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) pada Februari 2023 masing-masing tercatat sebesar 129,58% dan 29,09%, yang berarti jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50% dan 10%. Adapun, Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) per Desember 2022 masing-masing sebesar 244,20% dan 140,42%, yang berarti jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 100%.
Risiko kredit di Februari 2023 terjaga dengan rasio non performing loan (NPL) net sebesar 0,75% dan NPL gross sebesar 2,58%. Di lain sisi, kredit restrukturisasi terdampak pandemi COVID-19 pada Februari 2023 terus menurun menjadi Rp427,7 triliun dibandingkan dengan Januari 2023 yang sebesar Rp435,74 triliun, dengan jumlah debitur yang juga terus menurun menjadi 1,93 juta nasabah dibandingkan dengan Januari 2023 yang sebanyak 2,02 juta nasabah.
Sementara, untuk risiko pasar, Posisi Devisa Neto (PDN) tercatat sebesar 1,47%, jauh di bawah threshold yang sebesar 20%. Di sisi permodalan, capital adequacy ratio (CAR) perbankan berada di level yang cukup tinggi dan menguat menjadi sebesar 26,1%, yang mengindikasikan kesiapan perbankan dalam melakukan ekspansi kredit.
Catatan Penutup
Menyikapi perkembangan ekonomi dan perbankan global yang dinamis akhir-akhir ini, terdapat sejumlah catatan penting yang patut dicermati kalangan perbankan Indonesia. Lebih kurangnya catatan penting ini pun sudah termaktub di dalam arah kebijakan menjaga stabilitas sistem keuangan yang dirilis oleh OJK.
Pertama, meskipun dampak permasalahan perbankan di AS dan Eropa relatif terbatas terhadap industri perbankan Indonesia, mengingat tidak terdapat eksposur langsung bank-bank yang ditutup di negara-negara itu dan kondisi stabilitas keuangan domestik yang terjaga, namun pelaku perbankan Indonesia tetap dituntut untuk selalu menekankan implementasi prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.
Kedua, untuk meningkatkan resiliensi perbankan Indonesia baik secara industri maupun individual sehingga juga mampu mengantisipasi downside risks dari dinamika global, pelaku perbankan Indonesia wajib menerapkan tata kelola yang baik dan benar (good corporate governance/GCG principles), diperkuat dengan sistem kepatuhan manajemen risiko yang andal.
Ketiga, pelaku perbankan Indonesia dengan kesadaran sendiri harus melakukan uji keandalan (stress testing) secara berkala dengan berbagai skenario terhadap daya tahan bank dalam menghadapi berbagai risiko sehingga mampu menyiapkan langkah mitigasi risiko dengan baik dan presisi.
Keempat, pelaku perbankan Indonesia harus melakukan perencanaan pemenuhan permodalan dan likuiditas yang memadai sesuai yang dipersyaratkan oleh otoritas keuangan sekaligus menghindari praktik-praktik dan perilaku spekulatif (excessive risk-taking behaviour). (*)