Hal lain adalah penempatan komisaris di bank-bank dan BUMN lain di mana “orang-orang politik” yang pernah dianggap berjasa menaikkan Jokowi menjadi presiden. Hal ini normal tapi tetap harus mempertimbangkan kompetensi dan jam terbang. Paling tidak yang duduk di bank BUMN mereka yang paham akan perbankan dan ekonomi.
Hal lain banyak orang Kementerian BUMN yang juga duduk manis di BUMN-BUMN. Zaman rezim sebelumnya dilarang karena hendak memisahkan antara regulasi dan yang diawasi agar tidak terjadi konflik.
Pola rotasi yang tidak punya pola ini akhirnya menimbulkan banyak prasangka dan duga-duga. Apakah memang pejabat-pejabat ini akan diminta untuk menyukseskan Pemilu 2019 dengan program CSR BUMN yang melibatkan banyak dana?
Tapi pelajaran yang dapat dipetik dari penempatan pejabat BUMN ini, karir di BUMN tidaklah lama dan juga bisa sangat lama tergantung siapa bohir kita.
Untuk para profesional tetaplah hati-hati. Tidak usah bermain politik tapi cukup paham peta politik — karena banyak ranjau menjelang Pemilu 2019. Apalagi kini sudah ada 21 relawan Jokowi yang menjadi komisaris di BUMN. Mereka sudah pasti akan menjadi tim sukses Jokowi lagi karena memang nikmat jadi komisaris BUMN yang tak banyak kerjaannya.
Pola penempatan eksekutif BUMN memang tidak jelas. Dan, seharusnya mengacu pada tujuan besar pengelolaan BUMN yang sehat dan memperhitungkan kapasitas pengelolanya. Bukan hanya unsur “kedekatan” sehingga bias dalam mengawasi BUMN.
Baca juga : Tiga Bank BUMN Siap Edarkan Kartu Tani ke Beberapa Wilayah
Untuk itu, selalu kita mengingat, BUMN itu bukan Badan Usaha Milik Nenek-Moyang, tapi milik negara dan bukan milik rezim pula. BUMN harus memberi manfaat bagi kehidupan kesejahteraan rakyat Indonesia. Bukan memberi manfaat kepada orang orang yang dekat dengan kekuasaan.
Penulis adalah pengamat ekonomi politik