Menyoal Kriminalisasi Kebijakan Dan Biaya Krisis

Menyoal Kriminalisasi Kebijakan Dan Biaya Krisis

Oleh : Eko B. Supriyanto

Tahun 2018/2019 merupakan tahun politik dengan banyak kegaduhan. Harusnya, proses politik jangan sampai masuk ke ranah ekonomi. Namun, siapa yang berani jamin tidak kebawa-bawa. Dan, publik pun seperti menikmati.

Kasus pengambilalihan Bank Century 10 tahun lalu kini hidup lagi dengan cerita yang lebih dramatis. Sebelumnya, kebijakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dipidanakan kembali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, BPPN sudah bubar—secara politik juga sudah selesai karena sudah diterima pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Tap MPR dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tanpa masalah.

Belajar dari kasus Bank Century, siapa yang berani memulai mengambil keputusan pertama untuk menetapkan bank gagal atau hari ini ada krisis, maka kita akan mengambil langkah-langkah penyelamatan. Siapa yang berani?

Tak henti-hentinya majalah ini mendukung penuh kebijakan penyelamatan Bank Century pada 2008—yang waktu itu terjadi krisis. Kebijakan penyelamatan bank yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dan kemudian Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) adalah sesuatu yang tepat.

Berdasarkan pengalaman, sekecil apa pun bank yang bermasalah ketika terjadi krisis dan khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, tentu punya risiko sistemik. Apalagi, program penjaminan tidak full alias hanya Rp2 miliar, yang baru dinaikkan dari Rp100 juta ketika krisis pada 2008 itu.

Indonesia pernah punya pengalaman buruk ketika menutup 16 bank kecil pada 1997. Waktu itu International Monetary Fund (IMF) meminta pemerintah untuk menutup bank. Penutupan bank itu merembet ke bank-bank besar lainnya hingga akhirnya biaya krisis membengkak jadi Rp650 triliun. Kebijakan pengambilalihan Bank Century dilakukan untuk menangani krisis agar tak terjadi seperti 1997.

Apa yang harus dilakukan ketika sedang menghadapi krisis? Jika melihat gemuruh selama 10 tahun ini, ada dua kutub, yaitu diselamatkan atau ditutup. Kita bersimulasi saja, seandainya Bank Century ditutup, apakah pemerintah tidak mengeluarkan ongkos atau biaya?

Jawabannya, tentu tetap mengeluarkan biaya. Biaya untuk mengganti dana-dana nasabah di bawah Rp2 miliar. Dana yang di bawah Rp2 miliar sebesar Rp6,4 triliun dengan asumsi penjualan aset gedung dan kredit Rp600 miliar, maka biaya yang dikeluarkan akan sebesar Rp5,8 triliun.

Itu pun apakah efektif atau tidak. Soalnya, tidak ada yang bisa memastikan bahwa kalau benar-benar Bank Century ditutup akan menimbulkan dampak ke bank-bank lain. Hal ini karena benar-benar tidak dilakukan—hanya asumsi-asumsi soal kecil atau size bank. Hal-hal buruk bisa saja terjadi dan bisa saja tidak terjadi. Namun, karena pengalaman buruk pada krisis 1997, maka pemerintah lebih baik menyelamatkan.

Jika diselamatkan dengan biaya Rp6,7 triliun dengan asumsi Rp3,5 triliun, ternyata penjualan Bank Century menembus Rp4,5 triliun dengan price book value (PBV) terbaik untuk bank seukurannya dan tidak bagus-bagus amat kinerjanya. Jika memperhitungkan penambahan modal kedua, biaya krisis Rp7,8 triliun dikurangi Rp4,5 triliun. Dari sisi ini saja, biaya krisis yang dapat dihemat lebih baik jika dilakukan penyelamatan.

Kebijakan yang diambil waktu krisis, setidaknya seberapa kecil biaya yang harus dikeluarkan jika mengambil suatu langkah. Jadi, dari sisi rupiah, pengambilalihan Bank Century jauh lebih baik daripada jika ditutup. Faedah lain, tidak terjadi krisis, dalam enam bulan harga saham kembali meroket, tidak terjadi penutupan bank. Padahal, ada 18 bank dengan aset total Rp30 triliun yang kondisinya sama dengan Bank Century.
Bank-bank kembali mengucurkan kredit. Terjadi fungsi intermediasi, ekonomi kembali bergairah, dan pajak dapat dipungut dengan lapangan kerja yang tentunya tercipta. Bandingkan jika terjadi krisis berlanjut, biaya krisis tentu akan makin besar. Bank-bank akan ditutup.

Pada awal pengambilalihan, BPK pun melihat langkah yang diambil tidak menjadi masalah. Nah, baru ketika Ketua BPK berganti, kondisi berubah 180 derajat. Namun, itulah pepesan kosong Bank Century. Tiga Ketua KPK pun tak pernah menemukan keterlibatan dan dua alat bukti bahwa kebijakan itu sebuah korupsi.

Harusnya kalangan perbankan merasa berutang besar terhadap Boediono dan kawan-kawan atas langkah yang diambilnya. Keyakinan Boediono perlu mendapat apresiasi dari kalangan perbankan. Langkah yang diambilnya tidak membuat bank-bank sempoyongan, yang pada saat itu BI juga mengguyurkan Rp4,5 triliun melalui operasi pasar terbuka. Tiga bank besar mengalami kekeringan likuiditas.

Apa yang terjadi selama 10 tahun sejatinya adalah opera sabun politik. Seolah-olah ada perampokan, padahal BPK sendiri tidak menemukan uang yang tercecer di jalan karena uangnya masuk ke Bank Century untuk membayar dana punya nasabah dan memperbaiki permodalannya. Kasus Bank Century itu kasus politik karena Boediono menjadi wakil presiden, di mana Boediono bukanlah orang partai dan bukan orang yang punya uang besar untuk menjadi presiden pada 2008 lalu.

Jadi, praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang meminta KPK untuk menjadikan tersangka sejatinya menzalimi Boediono dan kawan-kawan. Kami menganggap, kalangan perbankan berutang besar terhadap Boediono yang mengambil langkah berani pada 2008.

Majalah ini bertaruh, jika ada krisis, dipastikan tidak akan ada yang berani pasang badan, meski ada KKSK yang sudah diundangkan pula. Termasuk Sri Mulyani pun tak akan berani lagi membuat kebijakan, yang dirinya sendiri sangat trauma ketika 2008 ada dalam pengambilan kebijakan.

Politik telah mengalahkan segalanya. Kebijakan sudah sepantasnya tidak dipolitisasi dan dikriminalisasi. (*)

 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Majalah Infobank. 

Related Posts

News Update

Top News