Oleh Randi Anto, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia
APRESIASI setinggi-tingginya pantas diberikan kepada para tenaga medis seperti dokter dan perawat sedang berjuang di garda depan, untuk menyelamatkan masyarakat yang terinfeksi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Begitu juga kepada anggota Tenaga Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Indonesia (Polri) yang juga ikut berperan dalam penanganan wabah Covid-19 seperti penjemputan para tenaga kerja dari luar negeri untuk dikarantina maupun penjagaan keamanan masyarakat dan mengawal melaksanakan kebijakan social distancing yang dibuat pemerintah.
Namun adalah profesi lain yang juga berperan penting untuk berhasil melewati pandemic COVID-19, yaitu para petani. Perlu dicatat, risiko lain dari datangnya pandemi adalah menurunnya ketahanan pangan, terutama negara yang ekonominya sedang krisis maupun negara yang menggantungkan pasokan pangannya dari impor.
Food and Agriculture Organization (FAO) sudah memberikan peringatan keras kepada negara-negara di dunia bahwa pandemi yang berkepanjangan menimbulkan kelangkaan atau krisis pangan dunia. Oleh sebab itu, para petani yang menjadi ujung tombak untuk mencegah terjadinya kelangkaan pangan juga harus mendapatkan perhatian dalam menghadapi masa pandemi ini.
Selama ini, tanda-tanda memudarnya sektor pertanian pangan di Indonesia sudah lama terlihat dan para petani seperti terpinggirkan dari hingar-bingar pembangun ekonomi.
Pertama, lahan pertanian makin menyusut dan makin berkurangnya keluarga petani. Porsi orang yang bekerja di sektor pertanian menyusut dari 55% pada 1980, 45% pada 2000, 38% pada 2010, dan 29,68% pada 2017.
Sepanjang 2019, luas lahan pertanian pangan menyusut 700 ribu ha menjadi 10,677 juta ha. Produksinya menurun dari 59,200 juta menjadi 54,604 juta ton. Dengan kata lain, produktivitasnya menyusut dari 52,03 (ku/ha) menjadi 51,14 per ha.
Dua, program akselerasi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan ekonomi telah membawa implikasi terjadinya konversi lahan pertanian secara masif, umumnya terjadi karena pembangunan infrastruktur, kawasan permukiman, industri, dan prasarana perhubungan.
Tiga, masalah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan pangan pun membebani ekonomi makro, dimana impor pangan ikut menyumbang terjadinya defisit yang mewarnai transaksi berjalan Indonesa sejak akhir 2012 sampai sekarang.
Dalam peta ketahanan pangan dunia, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang rentan. Menurut Global Food Security Index tahun 2019, Indonesia berada di urutan ke-62 dunia dari 113 negara. Bandingkan dengan Italia yang sekarang sedang susah payah diterjang virus Covid-19 yang berada di urutan 30.
Kendati indeks ketahanan pangannya lebih bagus, Italia mengalami penjarahan toko di beberapa tempat akibat pandemi. Dalam Global Hunger Index tahun 2019 atau Indeks Kelaparan Dunia, posisi Indonesia juga berada di urutan ke-70, lebih buruk dari Vietnam, Mesir, bahkan Iran, negara yang terkena sanksi AS.
Tentu saja, masalah struktural yang ada di sektor pertanian pangan tidak bisa diatasi pada saat pemerintah sedang bergulat mengatasi pandemi yang prioritasnya adalah penyelamatan kesehatan dan nyawa masyarakat. Namun, langkah-langkah pencegahan krisis pangan tetap harus dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada, misalnya fiskal, lembaga keuangan dan perbankan, lahan, dan masyarakat.
Langkah pemerintah mengeluarkan stimulus fiskal yang diantaranya membantu sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sangat membantu. Begitu juga kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengeluarkan program relaksasi restrukturisasi kredit bagi UMKM yang mengalami kesulitan, termasuk mekanisme bantuan untuk kredit UMKM untuk nilai di bawah Rp10 miliar, baik subsidi bunga maupun penundaan pembayaran pokok.
Perlu diketahui, separoh dari 60 juta pelaku UMKM itu berada di sektor pertanian. Di tengah pandemi yang membuat perbankan menjadi lebih ketat dan berhati-hati, pemerintah juga terus mendorong pencairan tambahan kredit bagi UMKM agar tetap survive dan berkontribusi dalam dalam pertumbuhan produk domestic bruto (PDB). Apalagi, UMKM memberi kontribusi hingga 60% dari PDB dan menyerap hingga 97% dari tenaga kerja di Indonesia.
Namun, pada saat terjadi krisis sudah biasa terjadi pengetatan likuiditas dan perbankan berusaha menahan kucuran kredit. Melalui sistem penjaminan kondisi ini bisa diatasi, karena risiko kredit yang dikucurkan lembaga perbankan terutama ke sektor UMKM di-back-up oleh lembaga penjamin kredit seperti PT Jamkrindo. Pada 2019, Jamkrindo mencatat penjaminan kredit ke pelaku UMKM yang terkait dengan pertanian hingga Rp18,8 triliun dengan jumlah terjamin 826 ribu.
Selain melibatkan peran pembiayaan dari lembaga keuangan, memotivasi para petani melalui berbagai dukungan dan insentif juga sangat penting agar keluarga petani Indonesia tidak terus berkurang. Kendati stok beras komoditas pangan terpenting dinyatakan aman hingga Oktober 2020, tapi potensi penurunan produksi padi tahun ini tetap harus dicermati karena impor bahan pangan di masa pandemi tak mudah dilakukan seperti dalam kondisi normal.
Dampak wabah COVID-19 yang membuat masyarakat kehilangan pekerjaan di kota dan kembali ke desa bisa diambil sisi positifnya untuk mendorong terjadinya deurbanisasi dan mengajak masyarakat mengembangkan mekanisme ”self help”-nya dengan memanfaatkan sawah, kebun, atau pekarangannya untuk ditanami tanaman pangan seperti ubi-ubian. Jadi ancaman pengangguran bisa dikurangi dengan mendorong masyarakat memanfaatkan lahan-lahan yang tak produktif. Selain untuk penanggulangan wabah COVID-19, dana desa bisa didorong untuk pemberdayaan petani. Pembangunan infrastruktur bisa terus dijalankan untuk menyediakan lapangan kerja tapi diarahkan untuk pembangunan sarana dan prasarana pertanian seperti irigasi.
Setelah pandemi bisa diatasi, Indonesia harus lebih serius mengembangkan sektor pertanian pangan. Apa yang menjadi visi pemerintah dalam pengembangan sektor pertanian dan memperkuat ketahanan pangan harus didukung oleh semua elemen di negara ini, mulai dari legislatif, pemerintah daerah, dunia usaha, hingga organisasi masyarakat.
Misalnya kebijakan moratorium alih fungsi lahan pertanian produktif yang pernah digaungkan pemerintah pusat harus segera direalisasikan dan dijalankan secara efektif oleh pemerintah daerah. Sistem pertanian modern bisa digalakkan untuk mengatasi kecilnya kepemilikan lahan oleh petani.
Indonesia pernah dicatat sebagai negeri agraris dan karena kesuburan tanahnya memiliki competitive advantage di bidang agrobisnis. Sayang sekali kalau lahan pertanian terus menyusut sementara jumlah penduduk terus bertambah. (*)