Oleh Sigit Pramono, Ketua Perbanas 2006-2016.
Dari pengalaman berbagai negara, kita belajar bagaimana mereka menangani pandemi Covid 19. Negeri-negeri yang menganut sistem demokrasi ternyata tidak menunjukkan tanda-tanda keunggulan sistem itu dalam menangani pandemi.
Italia menetapkan negerinya digembok total (lockdown) tetapi ternyata terlambat karena penderita Covid 19 sudah banyak. Akhirnya tidak lama kemudian Italia langsung ambruk terpuruk, dan terpaksa melempar handuk dan minta bantuan China.
Disisi lain, India setelah mengumumkan “lock down” tanpa persiapan sama sekali, menjadi kacau balau. India kemungkinan besar akan menghadapi lingkaran setan tanpa ujung. Mungkin akan berputar putar seperti penari yang mengitari pohon seperti di film Bollywood.
Amerika Serikat yang nota bene negara demokrasi dan adidaya, awalnya menyalahkan China dan siapa saja sebagai penyebab pandemi Covid 19. AS terlihat limbung dan bingung dalam menangani pandemi. Persis seperti raksasa tambun yang diserang ribuan lebah dalam sebuah film animasi mereka.
China di lain pihak, sebuah negara komunis yang pemerintahannya tersentralisasi, negeri dengan penduduk terbesar di dunia, tampil bak pahlawan, muncul seperti “superhero”.
Wartawan senior Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir Majalah Tempo berjudul Wei Qi menulis, “Epidemi Covid-19 adalah proses rebranding RRT: semula terkesan sebagai negeri yang tertutup, tak maju, dan terancam, kini ia tampak sebagai kekuatan positif yang perkasa. Ia bisa mengalahkan wabah dengan rapi dan tak hanya itu, ia mengulurkan bantuan dan tauladan ke seantero dunia. Kadang-kadang disertai sepotong puisi”.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah salah satu negara demokrasi dengan penduduk terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Dalam penanganan pandemi Covid 19 ini Indonesia juga dinilai terkesan lamban, tidak terarah, dan tumpang tindih. Tidak terlihat adanya suatu strategi nasional dan rencana tindakan yang jelas. Seharusnya kita punya suatu Strategi dan Rencana Tindakan tingkat Nasional yang kemudian diturunkan ke daerah-daerah, sesuai asas desentralisasi dan otonomi daerah.
Betul kita sudah punya Perpu dan Permenkes PSBB, tetapi produk hukum ini tidak bisa jalan tanpa strategi nasional yang jelas.
Di lapangan, semangat otonomi daerah dan desentralisasi terekam dari munculnya inisiatif para pemimpin daerah untuk menangani pageblug ini. Ini sesuatu yang memang tidak sepenuhnya bisa dihindarkan, karena setiap pemimpin daerah pasti ingin rakyatnya aman dan selamat. Dan ada berita bagusnya, di daerah bahkan muncul semangat demokrasi dan gotong royong dari anggota masyarakat di berbagai daerah yang muncul dan diwujudkan dengan peran serta yang spontan, kadang naif dan jenaka. Seperti banyak diwartakan ada warga kampung yang menutup kampungnya dengan lokdon, laukdaun, lock don’t, love down dan down load.
Kalau kita jujur dalam mencermati keadaan, sesungguhnya masyarakat awam banyak yang belum tahu bedanya isolasi wilayah total atau lokdon dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dari anjuran tinggal di rumah hingga yang terakhir ketentuan PSBB, banyak dilanggar oleh warga.
Lihat saja di pasar-pasar, di jalan-jalan kecil non protokol, masih terlihat kerumunan warga tanpa rasa khawatir, tanpa rasa salah. Pemerintah harus melakukan sosialisasi dan penjelasan kepada masyarakat secara intensif agar masyarakat betul-betul paham.
Ketidak jelasan kebijakan soal mudikpun menambah runyam kebijakan PSBB. Terkesan ada silang pendapat pejabat Pemerintah. Masyarakat jadi bingung, sebetulnya mudik dilarang apa tidak?
Melihat semua yang terjadi di tengah masyarakat, mau tidak mau Indonesia harus berbenah dalam menangani pandemi Covid 19 ini. Kita perlu mencari strategi alternatif dan kebijakan yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami masyarakat, sehingga mereka bisa mematuhinya.
Virus Corona sebetulnya menyerang manusia tanpa mengenal batas imajiner yang diciptakan manusia yang berupa batas negara, batas provinsi, batas kota maupun batas desa. Dia menyerang siapa saja, di mana saja, kapan saja. Tanpa pandang tempat, tanpa pandang bulu, tanpa pandang waktu.
Dan terbukti, kebijakan isolasi berdasarkan batas provinsi, kota, kabupaten atau desa tidak efektif dan membingungkan karena batas itu tidak nyata. Apalagi jika kebijakan kebijakan pembatasan sosial untuk wilayah yang berdekatan ternyata tidak sama, bisa membingungkan masyarakat.
Perlu dipikirkan alternatif kebijakan isolasi wilayah secara terbatas atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) berdasarkan batas yang jelas.
Selain strategi nasional dan rencana tindakan yang jelas perlu manajemen pengorganisasian penanganan pandemi Covid 19 yang rapi, di bawah satu komando dari Pemerintah Pusat, tetapi pelaksanaannya tetap berdasarkan asas desentralisasi dan otonomi daerah.
Salah satu manajemen penanganan pandemi yang sangat layak untuk diterapkan adalah PSBB berdasarkan pulau yang batasnya jelas, yaitu laut. Sebetulnya pilihan paling ekstrim adalah isolasi total pulau atau lokdon pulau. Tetapi kita sudah memutuskan bahwa lokdon (lockdown) bukan pilihan.
Dengan PSBB berdasarkan pulau per pulau, masyarakat mudah sekali memahaminya. Pokoknya tidak boleh menyeberang laut. Titik. Kecuali untuk urusan yang sangat penting yang dibolehkan sesuai ketentuan yang berlaku.
Tentu tidak semua dari 17 ribu pulau di Indonesia akan kita tangani atau diberlakukan PSBB. Kita fokus kepada 10-20 pulau terbesar dan terbanyak penduduknya di Indonesia, seperti pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Batam, Bali, Lombok, Sumba- Sumbawa, Flores, Halmahera dan pulau- pulau lainnya. Pulau Jawa, karena merupakan pulau terpadat penduduknya, yaitu 150 juta, maka diperlukan strategi khusus.
Pendekatan pencegahan penularan virus Corona tetap berdasarkan PSBB pulau tetapi karena penduduk pulau Jawa besar maka terpaksa penanganannya harus khusus pula. Perlu dipertimbangkan Presiden memberikan pendelegasian wewenang tertentu kepada 6 gubernur, 85 bupati dan 34 walikota di pulau Jawa agar mereka bisa membantu Presiden.
Beberapa kepala daerah sudah menunjukkan kepemimpinan yang dibutuhkan untuk menangani krisis akibat pandemi Covid 19 akhir- akhir ini. Jangan dilupakan, mereka dipilih langsung oleh rakyat di daerah itu, jadi mayoritas rakyat akan patuh terhadap kebijakan pemimpin daerahnya. Khusus provinsi dan kabupaten yang mempunyai pulau cukup banyak jumlahnya, Pemerintah Pusat harus membantu mereka.
Pemerintah harus segera membentuk satgas di seluruh pulau berpenduduk besar di Indonesia, seperti Satgas Jawa, Satgas Bali, Satgas Sumatra, Satgas Sulawesi, Satgas Kalimantan dan seterusnya, dengan memanfaatkan aparat pemerintah sipil yang ada dan melibatkan peran aktif TNI dan Polri. Sekali lagi, kali ini Satgasnya berdasarkan pulau.
Dalam manajemen penanganan pandemi Covid 19, para bupati dan walikota melaporkan ke gubernur, gubernur lapor kepada Ketua Satgas Pulau. Kemudian Ketua Satgas Pulau melapor ke Ketua Satgas Nasional atau Presiden.
Berikut ini usulan langkah-langkah penanganan krisis pandemi Covid 19 :
Pertama, umumkan kebijakan PSBB berdasarkan pulau), untuk jangka waktu tertentu dimulai dengan 14 hari pertama. Di mulai dengan PSBB di Pulau Jawa diikuti segera oleh PSBB pulau-pulau besar lainnya yang padat penduduk.
Kedua, penduduk suatu pulau dilarang ke luar masuk pulau masing-masing. Yang boleh keluar masuk hanya mereka yang berkaitan dengan distribusi bahan pangan, obat dan BBM dan hal lain sesuai ketentuan. Semua pelabuhan udara dan laut baik yang besar maupun kecil harus dijaga ketat.
Ketiga, lakukan test masif massal dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction), dimulai dari Jakarta, pulau Jawa dan seluruh pulau di Indonesia.
Keempat, distribusikan secara merata, masker, APD ( Alat Pelindung Diri), perlengkapan kesehatan untuk para tenaga medis, ventilator, dan PCR ke seluruh daerah dan rumah sakit yang ada di pulau-pulau di daerah.
Pemerintah harus segera meluncurkan program cepat (crash program) membangun rumah sakit dalam waktu singkat, di pulau2 yang tidak punya rumah sakit atau yang rumah sakitnya kurang jumlahnya. Kali ini sumber daya Kementerian PUPR bisa difokuskan membangun rumah sakit. Dalam jangka panjang keberadaan rumah sakit ini akan membantu program pemerintah dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
Sebagian dana penanganan pandemi Covid 19 sebaiknya dialokasikan untuk program langkah ke tiga ini.
Kelima, orang-orang yang teridentifikasi positif terinfeksi virus Corona segera dimasukkan ke rumah sakit dan dirawat secara intensif.
Keenam, orang-orang yang sehat diarahkan dan diperbolehkan bekerja kembali di kantor, di pabrik, di pasar dan tempat- tempat kegiatan ekonomi yang lain sehingga kelompok masyarakat yang sehat dan usia produktif bisa menghasilkan barang dan jasa sehingga ekonomi bergerak. Tetapi tentu ada syaratnya. Mereka harus mematuhi protokol pencegahan penularan virus Covid 19 secara ketat.
Ketujuh, segera keluarkan peraturan agar para pengusaha, pemilik pabrik, perkantoran, mal, hotel, restoran, pasar, tempat hiburan, harus menyediakan fasilitas pendeteksi suhu, pendeteksi infeksi, melakukan pengetesan cepat dan lain-lain untuk membantu pencegahan penularan virus Covid 19. Pelanggaran atas kesalahan dan kelalaian dalam ihwal ini harus dikenakan sanksi tegas dan keras sampai pada pencabutan izin usaha.
Itulah usulan-usulan yang bisa dipertimbangkan oleh Pemerintah.
Masyarakat berharap agar Presiden memegang tongkat komando untuk penanganan pandemi Covid 19 ini.
Soal penyelamatan perekonomian, serahkan saja kepada Menteri Sri Mulyani Indrawati bersama tim ekonomi karena mereka sudah tahu apa-apa yang harus dilakukan. Paket kebijakan penyelamatan perekonomian senilai Rp 405,1 trilyun, untuk sementara sudah cukup lengkap dan memadai. Tinggal eksekusinya yang harus disegerakan. Hanya ada beberapa catatan kecil untuk program penyelamatan perekonomian ini.
Yang pertama, semakin lama kita menangani pandemi, biaya krisis ini akan semakin besar.
Kedua, program ini “moral hazard”nya tinggi, rawan korupsi, oleh karena itu tata kelolanya harus bagus dan dikawal sejak awal.
Ketiga, dana pusat dalam penanganan krisis harus disinergikan dengan dana daerah agar penanganan pandemi di daerah hasilnya optimal.
Penanganan krisis pandemi ini harus di bawah kendali Presiden langsung.
Masyarakat bisa memahami jika Presiden bukan seorang epidemiolog. Tetapi karena Presiden memegang mandat 267 juta orang Indonesia, baik yang memilih maupun yang tidak memilihnya, Presiden bisa menggunakan wewenang untuk membentuk tim yang ahli menangani pandemi.
Para ahli kesehatan masyarakat, para dan para epidemiolog yang bekerja dengan ilmu mereka, dengan data, dengan perhitungan dan model matematika yang akan memudahkan kita menyusun strategi penanganan pandemi.
Semua orang paham bahwa seorang dokter apakah dia dokter spesialis syaraf, jantung, THT, kandungan, mata, termasuk dokter kulit dan kelamin, mereka itu hanya ahli masalah penyakit sesuai spesialisasinya.
Kalau dianalogikan dalam keahlian ilmu ekonomi, dokter-dokter spesialis itu adalah ahli ekonomi mikro. Kita memerlukan semacam “ahli ekonomi makro”.
Mereka itu adalah para ahli kesehatan masyarakat dan para epidemiolog, para ahli pencegahan penyakit menular. Kita harus selalu ingat bahwa urusan kesehatan masyarakat adalah urusan nyawa. Di tengah berkecamuknya wabah penyakit ini urusan nyawa yang jumlahnya bisa sangat banyak.
Rakyat sebenarnya tidak bermaksud menuntut banyak kepada Presiden. Mereka hanya rindu seorang Jokowi yang sangat “decisive”, presisten, tampil percaya diri memimpin di depan. Mereka rindu seorang Jokowi yang pernah mendobrak segala persoalan yang menghambat pembangunan infrastruktur di negeri ini.
Berbuat salah adalah jamak, karena persoalan krisis pandemi global ini belum pernah terjadi sebelumnya. Yang paling penting sekarang adalah bertindak.
Karena tidak mungkin ada yang bisa jadi Presiden 3 periode, sebaiknya Presiden Jokowi bertindak cepat. Jangan sia-siakan kesempatan emas periode jabatan kedua.
Jangan sampai menyesal seperti presiden sebelumnya yang kehilangan peluang pada periode kedua jabatan, karena tidak sempat berbuat sesuatu yang lebih baik, lebih besar, lebih bermakna yang akan dicatat dengan tinta emas sejarah negeri ini.
Kita dikejar waktu bung, karena dalam menangani krisis, tindakan cepat (prompt action) sangat menentukan keberhasilan. Ini krisis. Bukan keadaan biasa. Keadaan yang luar biasa perlu tindakan luar biasa.
Cara bangsa kita menangani pandemi Covid 19 ini juga menjadi sorotan masyarakat internasional. Jika strategi nasional dan rencana tindakan kita benar, kita tidak perlu memusingkan hasilnya karena hasil akan datang mengikuti.
Tetapi yang penting persepsi dunia internasional akan sangat positif terhadap Indonesia. Karena mereka tahu bahwa Indonesia mempunyai strategi nasional dan rencana tindakan penanganan pandemi Covid 19 yang jelas. Dan ini lebih penting bagi para investor, pengusaha, juga wisatawan, sehingga mereka akan tanpa ragu lagi datang kembali ke Indonesia.
Kita memang tidak bisa mengikuti semua strategi dan cara RRT menangani pandemi Covid 19. Tetapi kita bisa meniru mereka dalam memanfaatkan penanganan pandemi Covid 19 ini untuk melakukan rebranding, membangun citra baru Indonesia. Mengubah musibah menjadi anugerah. Kita jangan takut gagal.
Seperti kata seorang jurnalis senior,
“Jika kita bertindak dan salah, kita gagal sekali. Jika kita bertindak dan salah lagi, kita gagal dua kali. Tetapi jika kita tidak berani bertindak maka kita gagal seumur hidup”. (*)